Oleh Jusman Dalle
Humas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Makassar 2009/2011 dan Analis Society Research And Humanity Developmnet (SERUM) Institute. Penulis tinggal di Makassar. E-mail: jusmandalle@rocketmail.com
Badai demokrasi benar-benar telah melanda sekaligus mengubah wajah dunia Arab. Dari artikuasi di mimbar-mimbar demonstrasi, hingga bermetamorfosa menjadi bahasa moncong-moncong senjata. Pun kini Libya yang tak jua berhenti bergolak. Setelah diamuk pemberontak pro demokrasi dari rakyatnya sendiri, Muammar Khadafi harus menghadapi kolaborasi Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Inggris dan NATO.
Bukan tanpa alasan negara-negara barat tersebut turun tagan. Tapi aksi Khadafi yang secara sporadis menyerang warganya, para pemrotes pro demokrasi hingga menghilangkan 6.000 jiwa. Pemimpin despotik yang telah berkuasa selama empat dekade itu, menganggap pemberontak sebagai kelompok Al Qaeda yang harus ditumpas.
Perang saudara pecah, antara yang pro dan anti Khadafi. Melihat banyaknya korban rakyat sipil, Jumat (18/3), Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk menegakkan zona larangan terbang dan menempuh semua langkah-langkah yang memungkinkan penyelamatan nyawa rakyat sipil dari serangan pasukan Khadafi . Penegakan zona lapangan terbang ini dimaksudkan untuk mencegah serangan udara oleh pasukan Khadafi.
Berbekal resolusi PBB yang diikuti oleh restu dari 22 pemimpin negara dari AS, Uni Eropa dan Arab tersebut, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Jerman yang kemudian di iikuti oleh Nato, menyerang markas-markas militer Khadafi. Satu tujuan, melumpuhkan kekuatan militer yang sebelumnya membabibuta, menyerang rakyat sipil anti Khadafi.
Melalui elaborasi serangan udara dan laut, aksi militer secara perdana oleh Prancis berlangsung pada Sabtu (19/3) malam. Dengan 12 jet tempur selama dua jam, tak kurang dari 110 rudal anti baja dihujankan kearah markas-markas milter Libya.
Dalam logika perang, yang pasti bahwa akan ada korban baik harta maupun nyawa, terlebih lagi masa depan bangsa yang menjadi arena perang tersebut. Lima hari pasca serangan, tercatat korban berjatuhan, baik oleh agresor AS Cs, terlebih lagi bagi Libya. Dari pihak agresor, satu pesawat Prancis dan satu Pesawat AS diberitakan ditembak jatuh oleh pasukan Khadafi di wilayah Njela, Tripoli dan Sirte 600 kilometer sebelah timur Tripoli.
www.detiknews.com memberitakan bahwa hingga Jumat (25/3) korban yang banyak jatuh justru dari masyarakat sipil. Tercatat lebih 100 warga Libya menjadi korban serangan pasukan kolaisi sejak 6 hari melancarkan serangan, seperti disampaikan juru bicara pemerintah Libya, Moussa Ibrahim.
Walau mendapat kecaman dari berbagai negara, di antaranya dari Rusia, Cina, Iran dan anggota Organisasi Konferensi Islam, serangan angkatan perang koalisi ke negeri Muammar Khadafi tersebut, tak jua dihentikan. Bagai angin lalu. Bahwa telah ada legitimasi dari Dewan Keamanan PBB atas serangan tersebut. Perang, menjadi bahasa pergaulan Barat pada mereka yang tak patuh dengan titah Paman Sam.
Akhirnya, rakyat Libya yang ingin kebebebasan berdemokrasi, harus menyaksikan tanahnya bersimbah darah dan malamnya diwarnai desingan peluru. Ongkos demokrasi memang mahal. Dan hasilnya tak selalu indah seperti yang melayang di dalam angan.
Kepentingan Ekonomi
Masih lekang di ingatan kita, dan bahkan jejak bayangan serta wujud aslinya kini masih ada di Irak dan Afganistan. Dua negara itu terus bergolak dan terpuruk. Afganistan yang diduduki oleh Agresor dibawah komando NATO, hampir setiap hari meminta tumbal nyawa dari rakyat sipil.
Sejak di duduki angkatan militer Barat pada dekade awal tahun 2.000, kehidupan bangsa itu pun kian buram, tak tentu arah dan masa depan. Setali tiga uang, Irak hingga kini masih terus bergolak. Pasca tumbangnya rezim Saddam Husein yang di tuding menyimpan senjata pemusnah massal –walau dikemudian hari, terang-terangan tudingan itu tidak terbukti-, negeri kayak minyak itu dilanda perang saudara, perang antar suku.
Bahwa mengobarkan perang, mencipta konflik, dengan dalih demokrasi dan membela hak-hak sipil sudah merupakan strategi AS untuk mengangkangi kekayaan alam di suatu negara. Sederhana saja, "biarkan mereka terus berperang, fasilitasi dengan senjata dan susupkan intel untuk melakukan provokasi, memperpanjag durasi perang dan kesibukan mereka. Pada akhirnya kita bebas menjarah dengan datang sebagai pahlawan". Logika sederhana yang menjadi grand strategi pengusaan suatu wilayah oleh AS.
Kita bisa menyaksikan buktinya. Di Irak, setelah jatuhnya Saddam, dibuka tender bagi ladang-ladang minyak. Tercatat 120 perusahaan berpartisipasi dalam tender. Hasilnya 1/3 dari total perusahaan tersebut, yaitu sekitar 35 perusahaan asing yang lolos. Bisa ditebak, bahwa raksasa minyak global yang menyumbang pajak bagi kas Barat, khususnya AS dan sekutunya mendominasi. Di antaranya, BP PLC, Chevron Corp., Exxon Mobil Corp., Royal DutschShell PLC, Lukolil Holdings, Edison International SpA, dan lain-lain.
Negara-negara yang mbalelo dari titah Paman Sam, yang tidak bisa ditelikung, hanya memiliki satu opsi, yaitu perang. Perang yang dilakukan tentu melalui legitimasi lembaga Internasional semacam PBB yang disetting untuk kepentingan mereka.
Beberapa negara Timur Tengah yang pemerintahnya despotik, diktator dan jauh dari nilai-nilai demokrasi, namun tunduk pada keinginan Paman Sam, tetap saja dibiarkan. Misalnya Arab Saudi, Bahrain, Yaman, Suriah, Kuwait, Mesir (era Mubarak), dan Tunisia (era Ben Ali). Perlakuan berbeda terjadi dengan Irak (era Saddam Husein), Iran dan Libya serta negara-negara yang tak mudah ditelikung.
Menarik apa yang dikatakan oleh ketua MPR Taufik Kiemas, bahwa kedatangan angakatan perang AS Cs ke Libya murni dilatar belakangi oleh emas hitam (baca: minyak). Dicontohkan, bahwa saat ini masih banyak negara lain yang tidak demokratis dan terus dilanda konflik sosial, namun luput dari perhatian AS Cs, karena negara-negara tersebut merupakan negara miskin. Seperti Zimbabwe, Somalia, dan Rwanda.
Kita ketahui, bahwa Libya merupakan salah satu negara pengekspor dan pemiliki cadangan emas hitam (baca : minyak) terbesar di Afrika. Dengan kapasitas produksi 1,7 juta barel per hari, Libya masih memiliki cadangan minyak sebesar 44 miliar barel.
Tanpa maksud untuk menggeneralisir, namun fakta telah terpampang. Di depan mata dunia, AS Cs melakon ganda. Berkawan dengan yang manut dan murka pada yang dianggap membangkang. Apatah lagi, pasca rontoknya ekonomi AS dan barat secara umum oleh krisis 2008 yang lalu, mereka butuh dana segar untuk proses akselerasi ekonomi ditengah kebangkitan ekonomi Cina (negara komunis) yang awal tahun ini menjadi Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. China sukses mengerser Jepang yang selama ini merupakan sektu AS.
Kepentingan Ideologi
Di sisi lain, kepentingan ideologi juga menjadi hantu bagi AS. Bahwa Negara-negara yang kini bergerak menguasai ekonomi global, adalah mereka yang anti kapitalis. Atau paling tidak, mandiri secara ideologi. Misalnya Cina dengan ideology komunis, atau Indonesia yang menjadi Negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat ke 3 setelah Cina dan India, yang mayoritas masyarakatnya adalah Islam. Seperti juga Libya yang kaya minyak, namun dipimpin oleh penganut sosialisme yang anti kapitalis.
Selama ini, kebutuhan energy AS banyak dipasok oleh negara berkembang, yang kini perlahan menjadi negara maju. Artinya bahwa AS akan kehabisan pasokan energi untuk menjalankan laju industrinya, jika tidak segera mencari ladang-ladang segar dan baru. Kekhawatiran AS pastinya menjadi stimulus atas berbagi jalan untuk melanggengkan hegemoni. Maka perang atas nama demokrasi telah dibajak oleh kepentingan ideologi, ekonomi dan politik (ideotik).
Gold and glory. Karena memang, selayaknya demokrasi menihilkan perang. Bukankah demokrasi harus dicapai secara humanis dengan tetap menghargai hak-hak hidup manusia lain?
Bukan tanpa alasan negara-negara barat tersebut turun tagan. Tapi aksi Khadafi yang secara sporadis menyerang warganya, para pemrotes pro demokrasi hingga menghilangkan 6.000 jiwa. Pemimpin despotik yang telah berkuasa selama empat dekade itu, menganggap pemberontak sebagai kelompok Al Qaeda yang harus ditumpas.
Perang saudara pecah, antara yang pro dan anti Khadafi. Melihat banyaknya korban rakyat sipil, Jumat (18/3), Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk menegakkan zona larangan terbang dan menempuh semua langkah-langkah yang memungkinkan penyelamatan nyawa rakyat sipil dari serangan pasukan Khadafi . Penegakan zona lapangan terbang ini dimaksudkan untuk mencegah serangan udara oleh pasukan Khadafi.
Berbekal resolusi PBB yang diikuti oleh restu dari 22 pemimpin negara dari AS, Uni Eropa dan Arab tersebut, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Jerman yang kemudian di iikuti oleh Nato, menyerang markas-markas militer Khadafi. Satu tujuan, melumpuhkan kekuatan militer yang sebelumnya membabibuta, menyerang rakyat sipil anti Khadafi.
Melalui elaborasi serangan udara dan laut, aksi militer secara perdana oleh Prancis berlangsung pada Sabtu (19/3) malam. Dengan 12 jet tempur selama dua jam, tak kurang dari 110 rudal anti baja dihujankan kearah markas-markas milter Libya.
Dalam logika perang, yang pasti bahwa akan ada korban baik harta maupun nyawa, terlebih lagi masa depan bangsa yang menjadi arena perang tersebut. Lima hari pasca serangan, tercatat korban berjatuhan, baik oleh agresor AS Cs, terlebih lagi bagi Libya. Dari pihak agresor, satu pesawat Prancis dan satu Pesawat AS diberitakan ditembak jatuh oleh pasukan Khadafi di wilayah Njela, Tripoli dan Sirte 600 kilometer sebelah timur Tripoli.
www.detiknews.com memberitakan bahwa hingga Jumat (25/3) korban yang banyak jatuh justru dari masyarakat sipil. Tercatat lebih 100 warga Libya menjadi korban serangan pasukan kolaisi sejak 6 hari melancarkan serangan, seperti disampaikan juru bicara pemerintah Libya, Moussa Ibrahim.
Walau mendapat kecaman dari berbagai negara, di antaranya dari Rusia, Cina, Iran dan anggota Organisasi Konferensi Islam, serangan angkatan perang koalisi ke negeri Muammar Khadafi tersebut, tak jua dihentikan. Bagai angin lalu. Bahwa telah ada legitimasi dari Dewan Keamanan PBB atas serangan tersebut. Perang, menjadi bahasa pergaulan Barat pada mereka yang tak patuh dengan titah Paman Sam.
Akhirnya, rakyat Libya yang ingin kebebebasan berdemokrasi, harus menyaksikan tanahnya bersimbah darah dan malamnya diwarnai desingan peluru. Ongkos demokrasi memang mahal. Dan hasilnya tak selalu indah seperti yang melayang di dalam angan.
Kepentingan Ekonomi
Masih lekang di ingatan kita, dan bahkan jejak bayangan serta wujud aslinya kini masih ada di Irak dan Afganistan. Dua negara itu terus bergolak dan terpuruk. Afganistan yang diduduki oleh Agresor dibawah komando NATO, hampir setiap hari meminta tumbal nyawa dari rakyat sipil.
Sejak di duduki angkatan militer Barat pada dekade awal tahun 2.000, kehidupan bangsa itu pun kian buram, tak tentu arah dan masa depan. Setali tiga uang, Irak hingga kini masih terus bergolak. Pasca tumbangnya rezim Saddam Husein yang di tuding menyimpan senjata pemusnah massal –walau dikemudian hari, terang-terangan tudingan itu tidak terbukti-, negeri kayak minyak itu dilanda perang saudara, perang antar suku.
Bahwa mengobarkan perang, mencipta konflik, dengan dalih demokrasi dan membela hak-hak sipil sudah merupakan strategi AS untuk mengangkangi kekayaan alam di suatu negara. Sederhana saja, "biarkan mereka terus berperang, fasilitasi dengan senjata dan susupkan intel untuk melakukan provokasi, memperpanjag durasi perang dan kesibukan mereka. Pada akhirnya kita bebas menjarah dengan datang sebagai pahlawan". Logika sederhana yang menjadi grand strategi pengusaan suatu wilayah oleh AS.
Kita bisa menyaksikan buktinya. Di Irak, setelah jatuhnya Saddam, dibuka tender bagi ladang-ladang minyak. Tercatat 120 perusahaan berpartisipasi dalam tender. Hasilnya 1/3 dari total perusahaan tersebut, yaitu sekitar 35 perusahaan asing yang lolos. Bisa ditebak, bahwa raksasa minyak global yang menyumbang pajak bagi kas Barat, khususnya AS dan sekutunya mendominasi. Di antaranya, BP PLC, Chevron Corp., Exxon Mobil Corp., Royal DutschShell PLC, Lukolil Holdings, Edison International SpA, dan lain-lain.
Negara-negara yang mbalelo dari titah Paman Sam, yang tidak bisa ditelikung, hanya memiliki satu opsi, yaitu perang. Perang yang dilakukan tentu melalui legitimasi lembaga Internasional semacam PBB yang disetting untuk kepentingan mereka.
Beberapa negara Timur Tengah yang pemerintahnya despotik, diktator dan jauh dari nilai-nilai demokrasi, namun tunduk pada keinginan Paman Sam, tetap saja dibiarkan. Misalnya Arab Saudi, Bahrain, Yaman, Suriah, Kuwait, Mesir (era Mubarak), dan Tunisia (era Ben Ali). Perlakuan berbeda terjadi dengan Irak (era Saddam Husein), Iran dan Libya serta negara-negara yang tak mudah ditelikung.
Menarik apa yang dikatakan oleh ketua MPR Taufik Kiemas, bahwa kedatangan angakatan perang AS Cs ke Libya murni dilatar belakangi oleh emas hitam (baca: minyak). Dicontohkan, bahwa saat ini masih banyak negara lain yang tidak demokratis dan terus dilanda konflik sosial, namun luput dari perhatian AS Cs, karena negara-negara tersebut merupakan negara miskin. Seperti Zimbabwe, Somalia, dan Rwanda.
Kita ketahui, bahwa Libya merupakan salah satu negara pengekspor dan pemiliki cadangan emas hitam (baca : minyak) terbesar di Afrika. Dengan kapasitas produksi 1,7 juta barel per hari, Libya masih memiliki cadangan minyak sebesar 44 miliar barel.
Tanpa maksud untuk menggeneralisir, namun fakta telah terpampang. Di depan mata dunia, AS Cs melakon ganda. Berkawan dengan yang manut dan murka pada yang dianggap membangkang. Apatah lagi, pasca rontoknya ekonomi AS dan barat secara umum oleh krisis 2008 yang lalu, mereka butuh dana segar untuk proses akselerasi ekonomi ditengah kebangkitan ekonomi Cina (negara komunis) yang awal tahun ini menjadi Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. China sukses mengerser Jepang yang selama ini merupakan sektu AS.
Kepentingan Ideologi
Di sisi lain, kepentingan ideologi juga menjadi hantu bagi AS. Bahwa Negara-negara yang kini bergerak menguasai ekonomi global, adalah mereka yang anti kapitalis. Atau paling tidak, mandiri secara ideologi. Misalnya Cina dengan ideology komunis, atau Indonesia yang menjadi Negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat ke 3 setelah Cina dan India, yang mayoritas masyarakatnya adalah Islam. Seperti juga Libya yang kaya minyak, namun dipimpin oleh penganut sosialisme yang anti kapitalis.
Selama ini, kebutuhan energy AS banyak dipasok oleh negara berkembang, yang kini perlahan menjadi negara maju. Artinya bahwa AS akan kehabisan pasokan energi untuk menjalankan laju industrinya, jika tidak segera mencari ladang-ladang segar dan baru. Kekhawatiran AS pastinya menjadi stimulus atas berbagi jalan untuk melanggengkan hegemoni. Maka perang atas nama demokrasi telah dibajak oleh kepentingan ideologi, ekonomi dan politik (ideotik).
Gold and glory. Karena memang, selayaknya demokrasi menihilkan perang. Bukankah demokrasi harus dicapai secara humanis dengan tetap menghargai hak-hak hidup manusia lain?
Sumber: detik.com, 28 Maret 2011
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletemakasih, bung. semoga bermanfaat. salam
ReplyDelete