Wartawan; tinggal di Yogyakarta
Di mana-mana
kini banyak orang, termasuk anak- anak, lebih suka menonton pertandingan sepak
bola daripada pergi ke gereja pada akhir pekan. Di Jerman ada anekdot, seorang
pastor bertanya kepada Peter, seorang anak, anggota jemaatnya.
”Tahukah kamu,
apa yang akan terjadi pada anak laki-laki yang lebih suka bermain sepak bola
pada hari Minggu daripada ke gereja?”
”Jelas. Suatu
saat, anak-anak itu akan bermain di Bundesliga dan memperoleh uang miliaran,”
ucap Peter tegas.
Bola dengan
segala gebyarnya memang menggoda. Banyak orang lebih memilih menonton bola
daripada ke gereja. Bola seakan melindas ibadat keagamaan. Namun, apakah dengan
demikian Tuhan juga menghilang karena bola?
Menarik menyimak
komentar Christopher Jamison OSB yang dituangkan dalam Tablet, 24 Maret 2012.
Jamison adalah pastor, anggota tarekat kontemplatif Benediktin, dan seorang
direktur dari salah satu kesekretariatan Konferensi Wali Gereja di Inggris dan
Wales. Komentarnya itu ditulis terkait laga Piala FA, Tottenham Hotspur versus
Bolton Wanderers, di Stadion White Hart Lane, London, 17 Maret 2012.
Bolton unggul
lebih dahulu lewat gol Darren Pratley. Tak lama kemudian pemain Spurs, Kyle
Walker, menyamakan kedudukan, 1-1. Sampai pada menit ke-41, tiba-tiba para
penonton menutup mukanya, seperti orang-orang yang tiba-tiba terbenam dalam
doa.
Pemandangan ini
menyusul kejadian tak terduga, pemain Bolton, Fabrice Muamba, mendadak terjatuh
lalu tergeletak. Dia terkena gagal jantung.
Makin para
penonton di White Hart Lane tak percaya pemain berusia 23 tahun itu tergeletak
tanpa alasan jelas, makin mereka khusyuk berdoa.
Kata Pastor
Jamison, ”Sebanyak 30.000 fans bola penonton pertandingan Piala FA antara Spurs
dan Bolton itu secara spontan menciptakan sebuah liturgi. Begitu mereka tahu
petaka itu bukanlah cedera yang umum terjadi dalam sepak bola, mereka terdiam.
Kemudian, ribuan tangan dan mulut bergerak dalam doa hening. Sesudah itu, bagai terbawa daya ritual yang dahsyat, fans dari kedua belah pihak melantunkan lagu. Fa-bri-ce Mu-am-ba. Ini adalah layanan kesembuhan dari 30.000 orang yang melayangkan doanya ’ke atas’ bagi seorang yang sedang sakit.”
Kemudian, ribuan tangan dan mulut bergerak dalam doa hening. Sesudah itu, bagai terbawa daya ritual yang dahsyat, fans dari kedua belah pihak melantunkan lagu. Fa-bri-ce Mu-am-ba. Ini adalah layanan kesembuhan dari 30.000 orang yang melayangkan doanya ’ke atas’ bagi seorang yang sedang sakit.”
Memakai bahasa
ritual Kristiani, Jamison menyebut kejadian itu sebagai ”liturgi Sabtu sore di
White Hart Lane”.
Tak berhenti di
situ. Berita utama koran The Sun, Senin, mencantumkan, ”Praying for Muamba…
God is in Control”. Twitter juga penuh dengan undangan #praying for
fabrice. Para pemain, fans bola, dan para selebritas juga ikut berdoa bagi
kesembuhan Muamba.
Ditambah dengan
ekshibisi pemain Chelsea yang, setelah menciptakan gol, menyingkapkan
kostumnya. Di situ tertulis ”Pray 4 Muamba”. Bahkan, selebaran Metro dua
hari kemudian keluar dengan berita utama, ”Your Prayers are Working”.
Mengapa orang
tergerak berdoa bagi Muamba? Kata Jamison, itu tentu tak terlepas dari iman
Muamba sendiri. Muamba dikenal sebagai ”pribadi yang sangat percaya kepada
Tuhan.” Dia bilang, Tuhan adalah alasan dan sebab dari segala sesuatu yang dia
kerjakan dan dia raih. Orang-orang tahu tentang imannya. Karena itu, mereka
ikut terbawa dan mendoakannya.
Menurut Jamison,
peristiwa Muamba diam-diam menjadi fenomena yang mengingatkan bahwa di dunia
yang sekuler ini ternyata masih ada iman walaupun di sana orang sinis terhadap
agama.
Peristiwa Muamba juga menyentakkan bahwa Tuhan pun ternyata masih ada dan diakui ada-Nya di tengah ingar-bingarnya lapangan hijau. Sekaligus peristiwa itu juga mengatakan bahwa doa adalah insting manusiawi yang ada dalam setiap orang. Sayangnya, agama tidak lagi bisa mengajarkan bagaimana berdoa sesuai dengan insting tersebut.
Peristiwa Muamba juga menyentakkan bahwa Tuhan pun ternyata masih ada dan diakui ada-Nya di tengah ingar-bingarnya lapangan hijau. Sekaligus peristiwa itu juga mengatakan bahwa doa adalah insting manusiawi yang ada dalam setiap orang. Sayangnya, agama tidak lagi bisa mengajarkan bagaimana berdoa sesuai dengan insting tersebut.
Singkatnya,
peristiwa Muamba menyadarkan akan kebenaran kata-kata yang sering diucapkan
orang di tengah dunia sekuler ini. ”Saya ini spiritual, tetapi bukan religius.”
Maksudnya,
pengalaman spiritual orang zaman sekarang tak lagi bisa ditangkap oleh
wadah-wadah kereligiusan yang institusional. Sangatlah tidak bijaksana mengecap
mereka tidak lagi mengenal Tuhan, melulu dari kacamata agama formal belaka. Sebaliknya,
lembaga-lembaga agama mesti mencari mana cara-cara beriman yang kiranya cocok
dengan situasi orang zaman sekarang.
Itulah
sesungguhnya keprihatinan Thomas Merton, rahib biara Trapis, yang dikenal
sebagai guru doa zaman modern. Tuhan memang transendental dan berada di luar
jangkauan kita.
Menurut Merton, dalam ketidakmampuan manusia untuk menjangkau Tuhan, Tuhan tetap dekat dengan kita, dan berada dalam setiap situasi hidup kita. Perjumpaan dan persatuan Tuhan dalam doa adalah mungkin. Doa bukanlah suatu yang mustahil di tengah dunia sekuler ini.
Menurut Merton, dalam ketidakmampuan manusia untuk menjangkau Tuhan, Tuhan tetap dekat dengan kita, dan berada dalam setiap situasi hidup kita. Perjumpaan dan persatuan Tuhan dalam doa adalah mungkin. Doa bukanlah suatu yang mustahil di tengah dunia sekuler ini.
Merton
mengatakan, jika kita mengalami Tuhan, kita mengalami-Nya bukan untuk kita
sendiri, tapi untuk orang lain. Jadi, doa yang baik adalah doa yang mengarah
pada sesama.
Jadi, orang
modern ini masih bisa berdoa juga. Ternyata mereka mau diminta berdoa untuk
Muamba. Namun, maukah mereka, misalnya, diminta berdoa bagi para politikus,
yang berkampanye untuk memperoleh kursi kekuasaan?
Jawab Jamison,
rasanya tidak. Malah mereka akan menolaknya dengan sinis. Mungkin, karena
mereka tahu, doa baru bisa efektif hanya jika ditujukan bagi mereka yang mau
membagi diri bagi sesamanya, bukan bagi mereka yang hanya ingat kepentingan
dirinya sendiri, seperti biasa terjadi pada para politikus.
Sumber: Kompas,
28 April 2012

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!