Pemerhati Sosial
SETIAP sistem
pemilihan memiliki kelemahan dan keunggulan. Para wakil rakyat bertugas memilih
sistem pemilihan yang lebih menekankan pendewasaan demokrasi, bukan semata-mata
untuk kepentingan politik jangka pendek.
Pembahasan topik
akhir-akhir ini pada akhirnya dapat dikatakan tidak memberikan harapan
signifikan atas kemajuan demokrasi. Kepentingan politik partai dalam jangka
pendek lebih diutamakan daripada proses membangun demokrasi yang lebih sehat.
Dapat dilihat, demokrasi lebih dikendalikan para pemilik kapital daripada
mengedepankan figur yang cerdas dan merupakan representasi rakyat.
Harapan akan kemajuan
demokrasi akhirnya kabur. Perkembangan dan proses menuju demokrasi substansial
masih jauh panggang daripada api. Berbagai kesalahan masa lalu berpotensi kita
ulangi kembali. Demokrasi pada akhirnya kembali menjauh dari nalar sehat dalam
mengelola kehidupan bersama.
Padahal, esensi utama demokrasi ialah kedaulatan rakyat sebagai pemegang mandat. Tentu saja daulat rakyat dan penghormatan atas hak dan martabat bukan soal menang atau kalah belaka.
Padahal, esensi utama demokrasi ialah kedaulatan rakyat sebagai pemegang mandat. Tentu saja daulat rakyat dan penghormatan atas hak dan martabat bukan soal menang atau kalah belaka.
Dikendalikan Materi
Harga dalam
berdemokrasi menjadi mahal karena tata nilai politik lebih banyak direduksi
untuk kepentingan material belaka. Ongkos politik semakin mahal dan dapat
diyakini sangat jauh dalam menghasilkan kualitas parlemen yang memadai.
Parlemen yang memiliki kecakapan dan kemampuan dalam proses menjalankan
kedaulatan rakyat masih menjadi sebuah mimpi.
Itu semua karena
sebagian besar kelompok politik lebih menyukai desain sistem pemilihan yang
memihak mereka yang berkemampuan finansial dan memiliki popularitas lebih.
Walaupun kecakapan dan kapabilitas mereka dipertanyakan, asal punya uang dan
terkenal, mereka akan mampu mengendalikan demokrasi negeri ini.
Tanpa kita sadari,
itu semua justru membuat demokrasi kita selama ini terdengar begitu gaduh dan
penuh dengan perdebatan tanpa substansi. Kegaduhan itu terjadi saat politik
lebih banyak jargon dan janji daripada bukti nyata di tengah rakyat. Partai
politik lebih mendengarkan suara pemilik kapital daripada konstituen mereka.
Itulah ironi
demokrasi itu. Sebuah demokrasi yang tidak berkarakter. Itu semua membuat
bangsa ini semakin tidak memiliki jati diri dan visi masa depan. Kita
kehilangan nilai-nilai sejati yang luhur. Kita melihat partai politik yang
tidak bervisi akibat mereka tidak memiliki cakrawala ke depan untuk berpikir,
bernalar, dan bertindak.
Demokrasi pun tak
ubahnya aksesori belaka. Ia ditempelkan dalam berbagai baju, tetapi sesungguh
tetapi sesungguh nya sudah kehi langan karakternya.
Dalam proses
pembahasan sistem pemilihan (UU Pemilu), dapat kita rasakan betapa para
kelompok politik tersandera dan terjebak dalam beragam kepentingan
transaksional. Atas hal itu, kita meragukan mampukah pemilu ke depan melahirkan
kualitas anggota parlemen yang betul-betul berjuang untuk rakyat?
Demokrasi yang begitu
kental dikendalikan kekuatan kapital akan menghancurkan kesetiaan kepada garis
ideologi dan visi politik. Kader partai pun hanya berpikir dengan logika
`jual-beli'. Semua tindakan politik dilakukan secara transaksional, rugi dan
untung berapa. Itu lantaran politisi terdidik oleh budaya bahwa aktivitas
politik merupakan kegiatan untuk mengubah status hidup secara ekonomis.
Politik Oportunis
Kenyataan tersebut
membenarkan argumen yang menyatakan secara umum proses transisi politik dari
otoriter menuju demokratis saat ini masih terperangkap dalam sistem oligarki.
Itu terjadi baik di lingkungan partai politik maupun di lembaga-lembaga
politik, terutama parlemen mulai tingkat pusat hingga daerah.
Politik oligarki
telah oligarki telah menghasilkan aturan UU Pemilu yang didasarkan pada
kompromi-kom promi politik yang nyaris bersifat oportunis. Kebijakan politik
yang demikian pada akhirnya hanya akan menghasilkan elite politik baru yang
kepeduliannya diragukan untuk memihak kepentingan rakyat banyak.
Cukup beralasan pula
bila ada pihak yang meragukan apakah setelah pemilu akan menghasilkan perubahan
terhadap mutu politik di Senayan dan bahkan penyelenggaraan negara secara luas.
Arti dari semua ini ialah bahwa kita masih menunggu seki an waktu untuk
`bersabar' dan ebih tahan terha dap penderitaan yang berkepan jang an akibat
elite politik yang tidak pro rakyat.
Bisa jadi politik
uang memang tidak terlalu tampak dalam modus-modus lama. Namun jika kita
melihat begitu besar anggaran yang harus dikeluarkan seorang caleg untuk
dipilih sebagai anggota dewan, itu berarti kita sedang menonton pertunjukan
lain bagaimana politik di Indonesia begitu dekat dengan aroma uang.
Mereka yang memiliki
dana besar bisa melakukan apa saja untuk merebut simpati rakyat, dan
sebaliknya. Arti yang lain, simpati rakyat tumbuh akibat citra dan iklan, bukan
dari sikap, perilaku, dan tanggung jawab seorang calon wakil rakyat.
Manipulasi Uang
Realitas ini
menggambarkan betapa mudahnya uang memanipulasi sebuah kebenaran. Di situlah
kita melihat peranan para calo. Tidak hanya calo politik, tetapi juga calo
media massa yang mampu menghipnosis publik seolah-olah mereka pantas menjadi
pemimpin.
Gejala ini
menggambarkan proses transisi demokrasi sebagaimana dikatakan Schmitter,
terlalu banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan dari ketidakpastian
era transisi. Mereka sekarang sangat banyak kita jumpai di publik dengan
berbagai kedok, sok reformis, sok mengkritik, dan provokatif. Di balik itu
semua, ujung-ujungnya rakyat dijadikan objek pelengkap penderita dalam berbagai
permainan politik.
Rakyat tetaplah
rakyat yang tidak punya kedaulatannya, tetap termarjinalisasi dari akses-akses
politik dan ekonomi. Itu semua terjadi karena kultur politik kita masih kultur
centeng, sok priyayi meski karbitan. Itulah yang menguasai sendi-sendi kehidupan
politik kita. Disadari atau tidak, kita ini sebenarnya dikuasai para calo
politik, bukan negarawan.
Kita perlu membangun
budaya baru yang didasarkan pada pertimbangan rasionalitas dalam pemilihan.
Bukan lagi pada mitos dan politik aliran, melainkan pada pertimbangan
integritas, kepribadian, dan moralitas calon. Elite politik kita terbukti lebih
suka mengandalkan uang dan terbukti sekadar mengeksploitasi emosi rakyat serta
tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke depan.
Sumber: Media Indonesia, 17 April 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!