Lulusan
Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum;
Bekerja dalam Dewan
Kongregasi MSF di Roma, Italia
Wacana publik belakangan ini
menampilkan gambaran memilukan tentang uang rakyat yang dirampok melalui partai
politik atau birokrasi.
Korupsi partai politik dan
penyalahgunaan uang rakyat menjadi penyakit kronis yang sulit diberantas. Belum
ada pengawasan efektif dan tindakan hukum memadai untuk menghentikan kejahatan
ini. Politisi seharusnya berjuang mempertahankan kesejahteraan umum dan rakyat
kecil dengan memangkas kerakusan para koruptor. Ironisnya, di negara-negara
demokratis para politisi justru menjadi perampok utama uang rakyat. Sekelompok
orang yang menamakan diri wakil rakyat bisa berfoya-foya atas nama demokrasi.
Korupsi tak hanya di
Indonesia. Rakyat Italia bulan-bulan terakhir juga gerah menghadapi tabiat
sebagian politisi yang kotor. Krisis finansial yang melanda Eropa telah memaksa
pemerintah mengambil langkah-langkah pahit pembenahan ekonomi. Pajak kian
membebani, banyak orang kehilangan pekerjaan dan banyak pengusaha bunuh diri
karena kesulitan ekonomi.
Dengan alasan memperkuat
demokrasi sejak 1974, parlemen Italia memutuskan mendanai partai-partai
politik. Saat itu setiap partai menerima 60 miliar lira (mata uang Italia lama)
atau 380 juta euro. Keputusan itu merupakan usaha menghindarkan partai-partai
dari korupsi. Pada tahun itu banyak partai terjerat "skandal minyak".
Partai-partai berlomba menyedot uang dari perusahaan minyak nasional untuk
pembiayaan partai.
Menarik mandat
Dalam referendum tahun
1993, rakyat Italia menarik kembali mandatnya untuk membiayai sepenuhnya partai
politik dengan uang rakyat. Setelah referendum, muncul undang-undang baru yang
memungkinkan partai-partai politik menerima uang "pembayaran kembali"
(rimborsi elettorali) yang dikeluarkan dalam pemilu. Jumlah yang diterima
setiap tahun sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh partai dalam pemilihan
umum.
Tekad Italia membersihkan
tangan partai politik dari uang rakyat sulit terwujud. Tunjangan yang berasal
dari uang rakyat ternyata diselewengkan. Korupsi oleh partai politik kini
mencapai 600 miliar euro setiap tahun. Dalam skandal-skandal terakhir yang
sedang gencar diungkap di pengadilan Italia, uang rakyat tidak hanya untuk
membeli berlian, emas, atau membangun gedung mewah, tetapi juga untuk menanam
saham, berlibur, dan mentraktir kerabat anggota partai (bdk. Famiglia
Cristiana, April 2012, 36-37).
Di Tanah Air ada wacana
membiayai partai-partai politik agar para politisi tidak tersandera oleh
kepentingan bisnis dan tidak lagi mencuri uang rakyat. Pengalaman mengajarkan
bahwa setelah pemilu biasanya terungkap skandal besar terkait kebutuhan
pendanaan politik. Menurut logika itu, kemandirian partai akan menghindarkan
kader partai yang menjabat di lembaga-lembaga negara dari korupsi.
Banyak orang yakin
transparansi pendanaan kegiatan partai politik menjadi titik awal penuntasan
korupsi. Namun, hal
itu tak mudah. Indonesia Corruption Watch merasa kesulitan mendapat laporan
pendanaan partai politik. Undang-Undang Partai Politik ternyata tidak mengatur
transparansi dana partai sehingga sulit mengawasi aliran dana ilegal untuk
partai politik.
Pengalaman Italia memberi pembelajaran bahwa
kemandirian keuangan partai-partai politik saja tidak mencukupi untuk
mengakhiri praktik penyelewengan uang rakyat. Diperlukan transparansi dan
mekanisme untuk mengontrol keuangan partai-partai politik. Selain itu, sistem
hukum yang kuat akan mengefektifkan kontrol publik. Contohlah Italia, di mana
pimpinan partai di Italia utara mundur dari jabatan dan menghadapi sidang
pengadilan karena skandal keuangan partai. Sejumlah bendahara partai juga
dipecat dan diseret ke pengadilan.
Menghadapi perampokan uang rakyat ini, perlu
gerakan sosial agar tercipta budaya transparansi, kontrol publik, dan penegakan
hukum. Rakyat di Yunani, Spanyol, Italia, dan Perancis sudah memperlihatkan
kegerahannya dengan menolak untuk berkorban terus-menerus. Mereka ingin
melihat pengorbanan dan tanggung jawab para pemimpin dan politisinya.
Jika kesejahteraan rakyat terus dirampok, cepat
atau lambat akan terjadi pembangkangan. Rakyat yang merasa hanya ditunggangi
oleh elite untuk memperkaya diri akan melawan. Maka, demokrasi yang berselimut
kemewahan atas nama rakyat cepat atau lambat akan runtuh karena kehilangan
legitimasi.
Sumber: Kompas, 24 Mei
2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!