Headlines News :
Home » » Kritik Sosial Konser Lady Gaga

Kritik Sosial Konser Lady Gaga

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, May 23, 2012 | 7:22 AM

Oleh Paulus Mujiran
Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang

PUBLIK hangat memperbincangkan rencana konser artis pop Amerika Serikat yang dikenal dengan nama Lady Gaga. Kepolisian Daerah Metro Jaya, menurut keterangan Kadiv Humasnya Komisaris Besar Rikwanto, sudah final tidak memberikan rekomendasi konser tersebut. Namun, bukan berarti konser tersebut benar-benar dibatalkan. Seperti pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, pemerintah pusat dan Mabes Polri tengah mengkaji peluang konser tersebut tetap diadakan.

Yang menarik, banyak kalangan mengkritik tindakan Polri yang tidak memberikan rekomendasi hanya atas desakan sekelompok kecil dalam masyarakat. Sekelompok kecil justru lebih ditakutkan ketimbang mayoritas masyarakat lain. Tak pelak di masyarakat terbelah antara mendukung konser Lady Gaga dan menolak. Mereka yang menolak menganggap konser seperti itu tidak layak digelar di Indonesia. Apalagi citra Lady Gaga kurang positif untuk ukuran budaya Indonesia.

Sementara pihak yang mendukung baik tidaknya sebuah konser sebagai karya seni tidak ada kaitan dengan persoalan moralitas sebuah bangsa. Konser tetaplah konser sebagai seni pertunjukan tidak berkaitan langsung dengan pesan moral yang hendak dibawanya. Dan Polri rupanya memilih jalan aman untuk tidak memberikan rekomendasi. Karena bukan tidak mungkin mereka yang pro dan kontra terpancing dalam bentrokan yang mengganggu ketertiban sosial.

Sekelompok kecil dalam masyarakat yang sering memaksakan kehendaknya mengingatkan kita munculnya civil disobedience yang dapat dimengerti sebagai pengakuan hak-hak sipil. Yang menjadi persoalan adalah ketika negara kalah atau mengalahkan diri dengan kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang seringkali mengusung bendera agama.

John Locke (1632-1704) mengatakan, manusia mempunyai hak-hak dasar yang menjadi nyata dalam kehidupan bersama. Hak itu meliputi kebebasan (liberty), hak milik (property), dan hak hidup (life) yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia. Atas dasar itu manusia merasakan perlunya kewajiban satu sama lain untuk saling menghormati dan tidak melanggar hak-hak itu.

Untuk menjamin hak manusia tetap terpelihara, menurut Locke, manusia setuju mendirikan negara. Harus diakui, pengakuan adanya hak-hak pribadi menimbulkan hambatan satu sama lain dalam kehidupan bersama. Seing orang mengatakan bahwa negara kita adalah negara hukum. Dan semua orang tunduk kepada hukum yang masih berlaku. Masalahnya, negara sering kalah dan membiarkan dirinya diperbudak oleh sekelompok kecil dalam masyarakat.

Franz Magnis Suseno dalam buku Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Keagamaan (1987) menulis, negara yang mempunyai sistem hukum memiliki empat ciri. Pertama, keberlakuan hukum positif. Kedua, dijalankannya kontrol oleh kekuasaan kehakiman yang efektif. Ketiga, pendasaran negara pada undang-undang dasar yang menjamin hak asasi manusia. Keempat, adanya pembagian kekuasaan.

Kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Segala macam penyelewengan dalam bentuk manipulasi dan pelecehan hukum harus ditindak karena dapat melemahkan kedudukan dan wibawa negara hukum. Dalam konteks sosial politik, ketaatan pada hukum dapat saja menjadi masalah. Dengan demikian, hukum yang menjadi ciri keteraturan negara modern harus ditaati. Hukum yang tidak ditaati akan kehilangan wibawa yang berakibat kekuasaan pemerintah atau negara menjadi lemah.

Tidak efektifnya sistem pengendali keamanan dan merajalelanya kekerasan di negeri ini merupakan bukti lemahnya hukum. Hukum tidak lagi menakutkan karena kehilangan wibawa. Dengan demikian, keadaan ini diambil alih oleh rakyat sipil untuk boleh bertindak sendiri atas nama negara karena negara lemah. Mereka melakukan kekerasan atas nama agama, melakukan kekerasan terhadap aparat keamanan, merusak tempat ibadah lain. Hukum dengan demikian sudah tidak suci lagi karena sering diperalat bahkan dilecehkan.

Meski begitu, penolakan terhadap konser Lady Gaga dan aksi penolakan lain oleh sekelompok kecil masyarakat lain tidak dapat ditoleransi. Aparat keamanan negara--dalam hal ini polisi--tidak boleh kalah dan diperalat oleh segelintir kecil kelompok masyarakat yang boleh memaksakan kehendaknya. Negara bisa bubar kalau aksi-aksi kekerasan oleh sekelompok kecil dibiarkan, bahkan ditoleransi. Tindakan pelanggaran hukum semacam itu tetap merupakan aksi kriminalitas yang tidak dapat ditoleransi.

Robert T Hall dalam buku The Morality of Civil Disobedience (1971) berpendapat, tindakan semacam itu hanya dibenarkan karena alasan moral. Dengan demikian, gerakan semacam itu lebih sebagai gerakan belaka dan tidak ada kaitan dengan persoalan politik. Gerakan semacam itu sudah dimulai oleh para martir Kristen pada awal abad-abad pertama tatkala mereka melawan perintah Kaisar Romawi dan lebih suka mati daripada diadu dengan binatang. Dengan kematian seperti itu, mereka menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan moral yang lebih tinggi daripada perintah kaisar.

Karena itu, rencana konser Lady Gaga harus terdapat dua kutub yang memandang persoalan secara jernih, tidak semata-mata melihat pada persoalan moral. Juga tidak perlu dilihat seandainya kita menolak lantas dikaitkan dengan hubungan diplomatik kedua negara. Terlampau gegabah memasukkan ide-ide moralitas dalam persoalan politik karena dengan cepat kita kehilangan obyektivitas untuk menilai secara jernih sebuah persoalan. Kegiatan aksi budaya dan kesenian memiliki dunianya sendiri. Sama halnya saat kita menilai persoalan pornografi dan pornoaksi yang ternyata sangat subyektif.
Sumber: Jurnal Nasional, 22 Mei 2012

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger