Alumnus
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
PUBLIK hangat
memperbincangkan rencana konser artis pop Amerika Serikat yang dikenal dengan
nama Lady Gaga. Kepolisian Daerah Metro Jaya, menurut keterangan Kadiv Humasnya
Komisaris Besar Rikwanto, sudah final tidak memberikan rekomendasi konser
tersebut. Namun, bukan berarti konser tersebut benar-benar dibatalkan. Seperti
pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto,
pemerintah pusat dan Mabes Polri tengah mengkaji peluang konser tersebut tetap
diadakan.
Yang menarik,
banyak kalangan mengkritik tindakan Polri yang tidak memberikan rekomendasi
hanya atas desakan sekelompok kecil dalam masyarakat. Sekelompok kecil justru
lebih ditakutkan ketimbang mayoritas masyarakat lain. Tak pelak di masyarakat
terbelah antara mendukung konser Lady Gaga dan menolak. Mereka yang menolak
menganggap konser seperti itu tidak layak digelar di Indonesia. Apalagi citra
Lady Gaga kurang positif untuk ukuran budaya Indonesia.
Sementara pihak
yang mendukung baik tidaknya sebuah konser sebagai karya seni tidak ada kaitan
dengan persoalan moralitas sebuah bangsa. Konser tetaplah konser sebagai seni
pertunjukan tidak berkaitan langsung dengan pesan moral yang hendak dibawanya.
Dan Polri rupanya memilih jalan aman untuk tidak memberikan rekomendasi. Karena
bukan tidak mungkin mereka yang pro dan kontra terpancing dalam bentrokan yang
mengganggu ketertiban sosial.
Sekelompok kecil
dalam masyarakat yang sering memaksakan kehendaknya mengingatkan kita munculnya civil
disobedience yang dapat dimengerti sebagai pengakuan hak-hak sipil.
Yang menjadi persoalan adalah ketika negara kalah atau mengalahkan diri dengan
kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang seringkali mengusung bendera
agama.
John Locke
(1632-1704) mengatakan, manusia mempunyai hak-hak dasar yang menjadi nyata
dalam kehidupan bersama. Hak itu meliputi kebebasan (liberty), hak
milik (property), dan hak hidup (life) yang tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan manusia. Atas dasar itu manusia merasakan
perlunya kewajiban satu sama lain untuk saling menghormati dan tidak melanggar
hak-hak itu.
Untuk menjamin
hak manusia tetap terpelihara, menurut Locke, manusia setuju mendirikan negara.
Harus diakui, pengakuan adanya hak-hak pribadi menimbulkan hambatan satu sama
lain dalam kehidupan bersama. Seing orang mengatakan bahwa negara kita adalah
negara hukum. Dan semua orang tunduk kepada hukum yang masih berlaku.
Masalahnya, negara sering kalah dan membiarkan dirinya diperbudak oleh
sekelompok kecil dalam masyarakat.
Franz Magnis
Suseno dalam buku Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Keagamaan (1987)
menulis, negara yang mempunyai sistem hukum memiliki empat ciri. Pertama,
keberlakuan hukum positif. Kedua, dijalankannya kontrol oleh
kekuasaan kehakiman yang efektif. Ketiga, pendasaran negara pada
undang-undang dasar yang menjamin hak asasi manusia. Keempat,
adanya pembagian kekuasaan.
Kekuasaan
dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Segala macam penyelewengan
dalam bentuk manipulasi dan pelecehan hukum harus ditindak karena dapat
melemahkan kedudukan dan wibawa negara hukum. Dalam konteks sosial politik,
ketaatan pada hukum dapat saja menjadi masalah. Dengan demikian, hukum yang
menjadi ciri keteraturan negara modern harus ditaati. Hukum yang tidak ditaati
akan kehilangan wibawa yang berakibat kekuasaan pemerintah atau negara menjadi
lemah.
Tidak efektifnya
sistem pengendali keamanan dan merajalelanya kekerasan di negeri ini merupakan
bukti lemahnya hukum. Hukum tidak lagi menakutkan karena kehilangan wibawa.
Dengan demikian, keadaan ini diambil alih oleh rakyat sipil untuk boleh
bertindak sendiri atas nama negara karena negara lemah. Mereka melakukan
kekerasan atas nama agama, melakukan kekerasan terhadap aparat keamanan,
merusak tempat ibadah lain. Hukum dengan demikian sudah tidak suci lagi karena
sering diperalat bahkan dilecehkan.
Meski begitu,
penolakan terhadap konser Lady Gaga dan aksi penolakan lain oleh sekelompok
kecil masyarakat lain tidak dapat ditoleransi. Aparat keamanan negara--dalam
hal ini polisi--tidak boleh kalah dan diperalat oleh segelintir kecil kelompok
masyarakat yang boleh memaksakan kehendaknya. Negara bisa bubar kalau aksi-aksi
kekerasan oleh sekelompok kecil dibiarkan, bahkan ditoleransi. Tindakan
pelanggaran hukum semacam itu tetap merupakan aksi kriminalitas yang tidak
dapat ditoleransi.
Robert T Hall
dalam buku The Morality of Civil Disobedience (1971)
berpendapat, tindakan semacam itu hanya dibenarkan karena alasan moral. Dengan
demikian, gerakan semacam itu lebih sebagai gerakan belaka dan tidak ada kaitan
dengan persoalan politik. Gerakan semacam itu sudah dimulai oleh para martir
Kristen pada awal abad-abad pertama tatkala mereka melawan perintah Kaisar
Romawi dan lebih suka mati daripada diadu dengan binatang. Dengan kematian seperti
itu, mereka menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan moral yang lebih
tinggi daripada perintah kaisar.
Karena itu,
rencana konser Lady Gaga harus terdapat dua kutub yang memandang persoalan
secara jernih, tidak semata-mata melihat pada persoalan moral. Juga tidak perlu
dilihat seandainya kita menolak lantas dikaitkan dengan hubungan diplomatik
kedua negara. Terlampau gegabah memasukkan ide-ide moralitas dalam persoalan
politik karena dengan cepat kita kehilangan obyektivitas untuk menilai secara jernih
sebuah persoalan. Kegiatan aksi budaya dan kesenian memiliki dunianya sendiri.
Sama halnya saat kita menilai persoalan pornografi dan pornoaksi yang ternyata
sangat subyektif.
Sumber: Jurnal
Nasional, 22 Mei 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!