Oleh Muh Kholid AS Peneliti Institute for Religion and Society Studies (IRSoS);
Alumnus Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo
FENOMENA saling
mengkafirkan sesama umat beragama menjadi noda hitam bangsa yang tidak sulit
dijumpai sepanjang masa. Terbaru, sekelompok orang menyerang dan merusak sebuah
masjid milik Ahmadiyah di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat (20/4). Sehari
berikutnya, sekelompok orang merusak Pesantren Terbuka Robbaniy di Jember, Jawa
Timur (21/4). Padahal, konflik serupa di Sampang, Jawa Timur (29/12/11) dengan
aliran Syiah yang menjadi sasaran penyesatan juga masih jauh dari selesai.
Berdalih menjaga
“kemurnian‘ agama, tidak sedikit agamawan tidak segan-segan menjustifikasi
benar dan salahnya pemahaman tertentu. Di negeri ini seakan berlaku hukum yang
mengandaikan bahwa pemikiran yang berbeda dari mainstream mayoritas
harus diluruskan sesuai dengan parameter-parameter yang diusungnya. Ada
kekakuan identitas komunal yang mempercayai keimanannya sebagai paling super,
dan memandang lainnya sebagai rendah dan tidak autentik.
Setiap kebenaran
selalu didefinisikan dari derivasi tekstualitas yang monistik dengan wujud monopoli
ekspresi dan pengalaman beragama (Al-Jabiri: 1994). Hal ini
mengakibatkan maraknya perilaku yang bercirikan standar ganda (double
standard), dengan menganggap diri dan kelompoknya paling benar (truth
claim), dan pihak lain sebagai sumber kesesatan (dlalalah). Meminjam
kalimat Khaled Abou El Fadl (2001), terdapat agamawan yang merasa dirinya
paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan.
Perasaan ini tentu
membuatnya mudah terjebak pada tindakan otoriter, sebab batas otoritatif dan
otoriter memang sangat tipis. Jika otoritatif mengandaikan adanya pengkajian
mendalam sebelum bertindak, maka otoriter akan menunjukkan dirinya sebagai
pihak yang paling otoritatif dan wajib diikuti. Konsekuensinya, kesadaran
Ilahiah sebagai akar keberagamaan telah mengalami materialisasi, yang tergambar
dari keangkuhan manusia yang merasa paling tahu tentang kehendak Tuhan.
Kecenderungan materialisasi kesadaran Ilahiah inilah yang membuat “tafsir‘
tentang Tuhan dan kebenaran-Nya menjadi sempit dan terbatas.
Setiap agama membuat
batas keras terhadap tafsir firman dan perbuatan Tuhan yang satu dan tunggal,
sehingga tidak jarang Tuhan dan agama-Nya pun menjadi perebutan ideologi,
politik kekuasaan, dan ekonomi pasar (Abdul Munir Mulkhan: 2006). Proses
materialisasi kesadaran Ilahiah inilah yang berakibat pada tipisnya batas
antara keikhlasan dalam beragama dan nafsu keserakahan yang menumpang agama.
Demarkasi antara
kejujuran dan ketulusan dalam ber-Tuhan (iman) dan beragama (ritual/ibadah) di
satu sisi, dengan keserakahan dan kekuasaan atas nama Tuhan di sisi lain sangat
sulit dibedakan. Tumpang tindih ini sama tipisnya dengan batas antara kehendak
Tuhan autentik dengan kecenderungan memanipulasi kehendak Tuhan bagi
kepentingan diri sendiri.
Padahal, kebenaran
agama dalam pemahaman manusia sesungguhnya tidak akan pernah mencapai
“obyektif‘ sebagaimana diinginkan Tuhan. Memang, agama--dan semua agama--telah
tuntas dan sempurna dari Tuhan dan tidak perlu diperdebatkan. Namun karena
posisinya adalah respon manusia atas “wahyu‘ dari yang Maha Gaib, maka
pemahaman tentang agama yang ditangkap manusia terderivasikan dalam beragam
spektrum sesuai dengan kondisi sang penerima.
Di sinilah pentingnya
pemisahan antara “agama‘ dan “paham keagamaan‘ dalam demarkasi yang jelas. Ini
penting guna menghindari reduksionisme atas nilai-nilai agama untuk kepentingan
primordial-sektarian. Agama (al-diin) memang bersifat sakral dan calestial,
tetapi ketika sudah disusun oleh ulama, cendekiawan, intelektual, atau pun
organisasi tertentu, ia telah berubah menjadi “pemahaman‘. Jika sifatnya
“pemahaman‘ atau “tafsir‘ tentang agama, maka ia absah untuk diperdebatkan,
diubah, dan dinegoisasikan.
Keyakinan kepada
Tuhan dan ajaran-Nya seharusnya dimaknai sebagai kesediaan bersikap kritis
terhadap kebekuan dan pandangan yang memutlakkan kebenaran praktik keagamaan.
Adanya jarak antara Tuhan yang “Mutlak‘ dengan manusia yang “relatif‘, membuat
pesan dari yang absolut tidak mungkin dipahami secara akurat oleh entitas yang
terkondisikan dalam ruang dan waktu. Karena keterbatasan inilah, maka sesuatu
yang “absolut‘ akan terdeviasi dalam beragam tafsir saat memasuki wilayah yang
“nisbi‘, apalagi ditangkap oleh sesuatu yang berstatus “nisbi‘ juga.
Jika pemeluk agama
meyakini kemutlakan Tuhan dan agamanya, maka sudah seharusnya berbagai tafsir
tentang Tuhan dan praktik keberagamaan tidak diharamkan. Sebab, ke-Esa-an dan
ke-Mutlak-an Tuhan seharusnya membuka berbagai kemungkinan munculnya beragam
simbolisasi Tuhan. Apalagi setiap manusia memiliki kesadaran Ilahiah yang
autentik, tanpa dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal.
Keyakinan bukan
masalah yang harus sesuai dengan mainstream atau tidak, tetapi terkaitan
dengan kesadaran Ilahiah yang autentik tanpa dibatasi oleh rumus-rumus legal
dan formal. Meski mendapatkan berbagai halangan dan rintangan yang
bertubi-tubi, baik secara fisik maupun psikis, tidak semua manusia akan
menanggalkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Atau jangan-jangan orang
yang dianggap “salah‘ selama ini justru mampu menemukan Tuhan, meski jalan yang
ditempuhnya berbeda dengan kalangan mainstream.
Secara doktrinal
maupun fakta sosial, sikap yang terbaik untuk dikembangkan dalam menyikapi
perbedaan adalah saling menghormati dengan mengusung spirit bersepakat dalam
perbedaan (agree in disagreement). Sebab, seperti difirmankan Tuhan
dalam berbagai ayatnya, keragaman sesungguhnya ujian bagi masing-masing
kelompok untuk beromba-lomba menjadi umat yang terbaik. Biarkanlah sejarah yang
akan membuktikan golongan mana yang paling banyak memberikan manfaat dalam
kehidupan umat.
Jika kalangan mainstream
terancam dengan kemunculan aliran “sesat‘, justru yang harus dilakukan
adalah mendakwahkan ajarannya sesuai kebutuhan spiritual pengikut “aliran
sesat‘ tersebut. Bukan malah memfatwa sesat dan atau meminggirkannya secara
paksa, bahkan menyeret penganutnya ke penjara. Sebagaimana diingatkan Ernest
Gellner, ketika agama mampu menafsir makna zaman dan bersentuhan dengan problem
kemanusiaan, tentu eksistensinya tetap dibutuhkan manusia. Begitu juga
sebaliknya.
Sumber: Jurnal
Nasional, 4 Mai 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!