Headlines News :
Home » » Relativitas Tafsir Kebenaran Agama

Relativitas Tafsir Kebenaran Agama

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, May 04, 2012 | 3:14 PM


Oleh Muh Kholid AS
Peneliti Institute for Religion and Society Studies (IRSoS);
Alumnus Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo

FENOMENA saling mengkafirkan sesama umat beragama menjadi noda hitam bangsa yang tidak sulit dijumpai sepanjang masa. Terbaru, sekelompok orang menyerang dan merusak sebuah masjid milik Ahmadiyah di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat (20/4). Sehari berikutnya, sekelompok orang merusak Pesantren Terbuka Robbaniy di Jember, Jawa Timur (21/4). Padahal, konflik serupa di Sampang, Jawa Timur (29/12/11) dengan aliran Syiah yang menjadi sasaran penyesatan juga masih jauh dari selesai.

Berdalih menjaga “kemurnian‘ agama, tidak sedikit agamawan tidak segan-segan menjustifikasi benar dan salahnya pemahaman tertentu. Di negeri ini seakan berlaku hukum yang mengandaikan bahwa pemikiran yang berbeda dari mainstream mayoritas harus diluruskan sesuai dengan parameter-parameter yang diusungnya. Ada kekakuan identitas komunal yang mempercayai keimanannya sebagai paling super, dan memandang lainnya sebagai rendah dan tidak autentik.

Setiap kebenaran selalu didefinisikan dari derivasi tekstualitas yang monistik dengan wujud monopoli ekspresi dan pengalaman beragama (Al-Jabiri: 1994). Hal ini mengakibatkan maraknya perilaku yang bercirikan standar ganda (double standard), dengan menganggap diri dan kelompoknya paling benar (truth claim), dan pihak lain sebagai sumber kesesatan (dlalalah). Meminjam kalimat Khaled Abou El Fadl (2001), terdapat agamawan yang merasa dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan.

Perasaan ini tentu membuatnya mudah terjebak pada tindakan otoriter, sebab batas otoritatif dan otoriter memang sangat tipis. Jika otoritatif mengandaikan adanya pengkajian mendalam sebelum bertindak, maka otoriter akan menunjukkan dirinya sebagai pihak yang paling otoritatif dan wajib diikuti. Konsekuensinya, kesadaran Ilahiah sebagai akar keberagamaan telah mengalami materialisasi, yang tergambar dari keangkuhan manusia yang merasa paling tahu tentang kehendak Tuhan. Kecenderungan materialisasi kesadaran Ilahiah inilah yang membuat “tafsir‘ tentang Tuhan dan kebenaran-Nya menjadi sempit dan terbatas.

Setiap agama membuat batas keras terhadap tafsir firman dan perbuatan Tuhan yang satu dan tunggal, sehingga tidak jarang Tuhan dan agama-Nya pun menjadi perebutan ideologi, politik kekuasaan, dan ekonomi pasar (Abdul Munir Mulkhan: 2006). Proses materialisasi kesadaran Ilahiah inilah yang berakibat pada tipisnya batas antara keikhlasan dalam beragama dan nafsu keserakahan yang menumpang agama.

Demarkasi antara kejujuran dan ketulusan dalam ber-Tuhan (iman) dan beragama (ritual/ibadah) di satu sisi, dengan keserakahan dan kekuasaan atas nama Tuhan di sisi lain sangat sulit dibedakan. Tumpang tindih ini sama tipisnya dengan batas antara kehendak Tuhan autentik dengan kecenderungan memanipulasi kehendak Tuhan bagi kepentingan diri sendiri.

Padahal, kebenaran agama dalam pemahaman manusia sesungguhnya tidak akan pernah mencapai “obyektif‘ sebagaimana diinginkan Tuhan. Memang, agama--dan semua agama--telah tuntas dan sempurna dari Tuhan dan tidak perlu diperdebatkan. Namun karena posisinya adalah respon manusia atas “wahyu‘ dari yang Maha Gaib, maka pemahaman tentang agama yang ditangkap manusia terderivasikan dalam beragam spektrum sesuai dengan kondisi sang penerima.

Di sinilah pentingnya pemisahan antara “agama‘ dan “paham keagamaan‘ dalam demarkasi yang jelas. Ini penting guna menghindari reduksionisme atas nilai-nilai agama untuk kepentingan primordial-sektarian. Agama (al-diin) memang bersifat sakral dan calestial, tetapi ketika sudah disusun oleh ulama, cendekiawan, intelektual, atau pun organisasi tertentu, ia telah berubah menjadi “pemahaman‘. Jika sifatnya “pemahaman‘ atau “tafsir‘ tentang agama, maka ia absah untuk diperdebatkan, diubah, dan dinegoisasikan.

Keyakinan kepada Tuhan dan ajaran-Nya seharusnya dimaknai sebagai kesediaan bersikap kritis terhadap kebekuan dan pandangan yang memutlakkan kebenaran praktik keagamaan. Adanya jarak antara Tuhan yang “Mutlak‘ dengan manusia yang “relatif‘, membuat pesan dari yang absolut tidak mungkin dipahami secara akurat oleh entitas yang terkondisikan dalam ruang dan waktu. Karena keterbatasan inilah, maka sesuatu yang “absolut‘ akan terdeviasi dalam beragam tafsir saat memasuki wilayah yang “nisbi‘, apalagi ditangkap oleh sesuatu yang berstatus “nisbi‘ juga.

Jika pemeluk agama meyakini kemutlakan Tuhan dan agamanya, maka sudah seharusnya berbagai tafsir tentang Tuhan dan praktik keberagamaan tidak diharamkan. Sebab, ke-Esa-an dan ke-Mutlak-an Tuhan seharusnya membuka berbagai kemungkinan munculnya beragam simbolisasi Tuhan. Apalagi setiap manusia memiliki kesadaran Ilahiah yang autentik, tanpa dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal.

Keyakinan bukan masalah yang harus sesuai dengan mainstream atau tidak, tetapi terkaitan dengan kesadaran Ilahiah yang autentik tanpa dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal. Meski mendapatkan berbagai halangan dan rintangan yang bertubi-tubi, baik secara fisik maupun psikis, tidak semua manusia akan menanggalkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Atau jangan-jangan orang yang dianggap “salah‘ selama ini justru mampu menemukan Tuhan, meski jalan yang ditempuhnya berbeda dengan kalangan mainstream.

Secara doktrinal maupun fakta sosial, sikap yang terbaik untuk dikembangkan dalam menyikapi perbedaan adalah saling menghormati dengan mengusung spirit bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement). Sebab, seperti difirmankan Tuhan dalam berbagai ayatnya, keragaman sesungguhnya ujian bagi masing-masing kelompok untuk beromba-lomba menjadi umat yang terbaik. Biarkanlah sejarah yang akan membuktikan golongan mana yang paling banyak memberikan manfaat dalam kehidupan umat.

Jika kalangan mainstream terancam dengan kemunculan aliran “sesat‘, justru yang harus dilakukan adalah mendakwahkan ajarannya sesuai kebutuhan spiritual pengikut “aliran sesat‘ tersebut. Bukan malah memfatwa sesat dan atau meminggirkannya secara paksa, bahkan menyeret penganutnya ke penjara. Sebagaimana diingatkan Ernest Gellner, ketika agama mampu menafsir makna zaman dan bersentuhan dengan problem kemanusiaan, tentu eksistensinya tetap dibutuhkan manusia. Begitu juga sebaliknya.
Sumber: Jurnal Nasional, 4 Mai 2012


SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger