Penulis, tinggal di Jakarta
Tak terasa sudah seribu hari
KH Abdurrahman Wahid-Gus Dur-meninggalkan kita. Leluconnya masih segar
terdengar. Sosok Gus Dur sering melintas: berjalan yang dituntun atau didorong
di kursi roda dengan fisik yang payah-tak jarang jarum infus masih menancap-tapi
hal itu tak menghalanginya untuk terus beraktivitas, membela mereka yang lemah
dan ditindas. Tapi tidak ada pose Gus Dur yang cemberut dan sedih. Ia tampak
kuat dan tegar, dengan senyum dan tawa sekaligus membuat tawa.
Kejadian akhir-akhir ini,
seperti kekerasan yang berbasis agama, dan pemerintah yang tampak lemah dan
lepas tangan, semakin mengingatkan kita pada suara Gus Dur yang lantang
mengeluarkan pembelaan. Tak jarang ada komentar "coba masih ada Gus
Dur".
Celetukan ini keluar karena
"geregetan" dan hampir putus asa terhadap pemerintah, yang membiarkan
kekerasan terus berlangsung. Malah tak jarang tunduk kepada pihak penyerang dan
mengabulkan tuntutan mereka untuk mengkriminalisasi korban.
Gus Dur tak pernah lepas dari
perbincangan. Kerja sosial dan kemanusiaan Gus Dur menyentuh hampir semua sendi
kehidupan. Fenomena ini mengingatkan saya pada sepenggal bait puisi Arab,
innama-l mar'u haditsun ba'dahu fa kun haditsan hasanan liman wa'a-manusia akan
menjadi perbincangan setelah tiada, maka bagi orang yang berakal akan berusaha
menjadi perbincangan yang baik.
Tak jarang orang masih
bertanya-tanya, bahkan mempertanyakan, alasan pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok yang didakwa tersesat dan menyimpang dari yang kebanyakan. Misalnya,
hingga akhir hayatnya, Gus Dur memberikan pembelaan yang sungguh-sungguh kepada
Ahmadiyah dan Syiah: dua komunitas yang hingga saat ini masih menjadi sasaran
kekerasan. Dalam setiap pernyataan, Gus Dur selalu menegaskan pentingnya
membela hak-hak warga negara dan konstitusi. Gus Dur selalu mengatakan
"tidak membela keyakinan suatu kelompok aliran", tapi hak-hak
pengikut dan pemeluknya tidak bisa dikurangi dan didiskriminasi karena
keyakinan mereka.
Pembelaan Gus Dur tidak
bersifat parsial dan partisan, tapi pada prinsip-prinsip hidup bersama untuk
saling menghormati, menghargai, dan nirkekerasan. Selama pengikut suatu
komunitas tidak melakukan pelanggaran hukum yang diakui di republik ini, mereka
tidak bisa ditindas.
Lantas bagaimana menyikapi
adanya konflik dalam masyarakat yang terdapat pertentangan soal keyakinan? Gus
Dur selalu mengedepankan toleransi dan dialog serta anti-kekerasan, pemaksaan,
dan pelarangan. Gus Dur becermin pada strategi perjuangan Kiai Chasbullah Salim
dari Jombang dalam sebuah tulisannya di Tempo pada 1980. Kasusnya menghadapi
"serbuan" kelompok Darul Hadis, yang dituding menyimpang dari
keyakinan warga NU setempat. Awalnya, Kiai Chasbullah melawan mereka dengan
emosional. Namun pihak yang disebut lawan malah semakin kuat.
Kiai Chasbullah mengganti
strategi tidak lagi konfrontatif, tapi lebih toleran. Gus Dur memuji strategi
Kiai Chasbullah ini, yang disebutnya arif. Gus Dur menulis, "Pertentangan
pendapat tidak semuanya diselesaikan, dan lebih-lebih tidak akan terselesaikan
dengan melarang begini atau begitu. Ada kalanya toleransi lebih memberikan
hasil, sebagai upaya menahan perluasan pengaruh lawan."
Pada zaman itu, Gus Dur
menolak usul MUI, yang mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melarang
Darul Hadis. Menurut Gus Dur, selain pelarangan tidak akan menyelesaikan
persoalan, perbedaan dan pertentangan akan berdampak baik untuk meningkatkan
kedewasaan umat. Perbedaan adalah gizi yang tinggi bagi toleransi. Gus Dur
menutup dengan pernyataan, "Toleransi kepada gerakan-gerakan 'sempalan'
(splinter group) dalam Islam harus diperhitungkan sebagai salah satu jalan
terbaik untuk mendewasakan sikap umat." ("Kiai Chasbullah dan
Musuhnya" dalam Kiai Nyentrik, Membela Pemerintah, hal. 16).
Apakah Gus Dur tidak terlalu
tinggi menilai umat? Bukankah selama ini yang disebut umat adalah orang awam
yang sering dinilai memiliki pengetahuan dan kedewasaan yang rendah? Justru
bagi Gus Dur, asumsi ini salah besar. Dalam satu tulisannya di Prisma pada
1982, "Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama", Gus Dur
menegaskan, rakyat di lapisan bawah lebih arif. Tentang massa akar rumput ini,
Gus Dur menyatakan, "Mereka merupakan penjumlahan dari pengalaman total
manusia yang menderita, yang mengalami sendiri masalah itu." Dalam
pengakuan yang ditulis sendiri oleh Gus Dur, "Rakyat lapisan bawah adalah
rakyat yang arif, yang sudah punya polanya sendiri untuk menghadapi berbagai
tekanan." Kita sering mengutip pepatah, "pengalaman adalah guru yang
terbaik". Lantas mengapa rakyat di lapisan bawah yang menjalani pengalaman
itu sendiri tidak menjadi guru yang terbaik?
Malah campur tangan elite yang
membawa kepentingan politik, ekonomi, dan agama sering memperbesar, bahkan
mengadu kelompok-kelompok dalam masyarakat. Makanya, dalam peristiwa kekerasan,
sering disebut "kasuistis" karena tidak terjadi di semua lapisan
masyarakat. Misalnya permusuhan terhadap kelompok A hanya ditemukan dalam suatu
tempat, tidak menyebar di semua wilayah yang ada kelompok A. Hal ini
menunjukkan masih lebih banyak masyarakat yang arif dan dewasa melihat
pertentangan itu. Namun konflik itu akan menemukan pola yang sistemik (tidak
lagi "kasuistis") kalau pemerintah membiarkan dan tidak menyelesaikan
konflik tersebut. Atau ada semacam pola untuk membakar masyarakat dengan
memakai isu perbedaan sebagai bahan bakarnya.
Walhasil, dari Gus Dur kita
belajar membela hak-hak warga negara dan mempertahankan konstitusi. Gus Dur
tidak ingin masuk ke ranah keyakinan suatu kelompok. Namun, apa pun
pertentangan yang terjadi di masyarakat, tidak boleh mengurangi hak kewargaan
komunitas tersebut, yang wajib dilindungi dan dipenuhi. Perbedaan dan bahkan
pertentangan dalam masyarakat, menurut Gus Dur, justru sangat baik untuk
kedewasaan umat. Bagi Gus Dur, masyarakat di lapisan bawah lebih arif. Kita pun
tak perlu takut, apalagi histeris, menghadapi perbedaan.
Sumber: Koran Tempo, 29
September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!