Forum Masyarakat Sipil
Indonesia untuk Keadilan Iklim
Masyarakat adat Mollo,
Amanuban, dan Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur,
tak mengenal kata moratorium.
Namun, saat menggelar Festival
Ningkam Haumeni, akhir Juli lalu, mereka mengumumkan banu atau larangan lewat
sumpah adat. Masyarakat tidak boleh membunuh satwa hutan dalam waktu lima tahun
dan menebang cendana tanpa batas waktu.
Alasan banu bukan karena ada
bantuan, semacam dana Pemerintah Norwegia untuk moratorium atau jeda penebangan
hutan. Bukan pula untuk mengurangi emisi karbon hingga bisa ikutan proyek
dagang karbon. Alasan mereka sederhana, lingkungan yang rusak harus dipulihkan
agar bisa melayani manusia dengan baik.
Dalam banu, larangan membunuh
satwa hutan sama artinya dengan larangan merusak ekosistem hutan habitat satwa.
Dari pengalaman, masyarakat adat yakin lima tahun waktu yang cukup untuk satwa
hutan dan ekosistemnya memulihkan diri.
Larangan menebang cendana
lebih dalam maknanya. Mereka menuntut dipulihkannya identitas Pulau Timor, yang
dikenal lewat pohon cendana atau haumeni dalam bahasa lokal. Kayu harum ini
statusnya hampir punah karena eksploitasi sejak zaman penjajahan. Memulihkan
pohon cendana adalah pekerjaan panjang, tak dibatasi waktu.
Moratorium Pemerintah
Andai saja moratorium
penebangan hutan pemerintah memiliki alasan secerdas dan searif masyarakat adat
ini, alangkah permainya Indonesia. Sayangnya, tidak. Moratorium penebangan
hutan ini implementasi dari Kesepakatan Oslo dua tahun lalu antara Indonesia dan
Norwegia. Tujuannya: mengurangi emisi karbon lewat bantuan senilai satu miliar
dollar AS.
Itu sebabnya saat jeda tebang
berjalan malah keluar Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan yang tak bisa dipahami akal sehat ini
membuka peluang pemutihan izin pertambangan. Itu artinya, izin tambang batubara
di Samarinda, yang meliputi 70 persen kawasan kota, berpeluang diteruskan asal
sudah diputihkan. Serupa izin tambang batubara di Kecamatan Samboja dengan 22
desa dan kelurahan, sementara izin tambangnya ada 90 buah.
Berbeda dengan logika
masyarakat adat tentang banu. Rupanya keselamatan warga tak masuk hitungan
pemerintah saat mengizinkan eksploitasi sumber daya alam, khususnya
pertambangan. Pertimbangannya semata angka. Berapa royalti yang bisa didapat
dari pertambangan.
Bagaimana dengan orang yang
meninggal ditembak, ditangkap, diintimidasi aparat tiap tahun karena tak mau
lahannya dibongkar? Tak ada yang masuk catatan. Konflik sumber daya alam: 6.000
kasus dilaporkan Komnas HAM tahun lalu, hanya lewat sebagai angka. Tak ada
tanggapan.
Reklaim Identitas
Mestinya Pansus DPR di Senayan
tak perlu jauh-jauh melakukan studi banding ke China ataupun Brasil untuk
menyusun RUU Desa. Mari belajar dari masyarakat adat di Timor Tengah Selatan
(TTS) tentang mengutamakan keselamatan warga dan menghargai kekayaan alamnya.
Masyarakat adat Mollo,
Amanuban, dan Amanatun tak hanya mengajarkan bahwa jeda itu bukan tujuan. Ia
hanya satu langkah bersama langkah lainnya untuk memulihkan layanan alam demi
keselamatan warga. Mereka juga menuntut perubahan lambang Kabupaten TTS.
Lambang itu didominasi gambar pohon cendana yang tersisa pangkal pohonnya
dengan latar gunung Mutis. Persis kondisi cendana saat ini yang hampir punah.
Mereka menuntut perubahan menjadi gambar cendana utuh.
Cendana adalah identitas Pulau
Timor. Salah satu fungsi ekologisnya adalah pah e afan atau minyak pelumas
penyubur Bumi. Masyarakat adat percaya hilangnya cendana membuat lahan-lahan
makin kritis dan mudah longsor. Cendana juga berfungsi budaya sebagai kayu
keramat dan digunakan dalam ritual adat.
Tuntutan memulihkan cendana
adalah upaya merebut kembali ruang hidup dan identitas orang Timor. Identitas
yang telah dirampok sejak lama. Mereka ingin mengembalikan peran cendana, baik
secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya.
Ajakan Pemulihan
Mari memaknai banu yang
diikrarkan masyarakat adat di TTS sebagai ajakan bagi kita untuk memulihkan
banyak hal. Memulihkan pangan kita yang 65 persen bergantung pada pangan impor.
Memulihkan lahan-lahan yang rusak dan menghentikan alih fungsi hutan.
Memulihkan perairan dari pencemaran industri agar tersedia laut yang sehat bagi
nelayan. Memulihkan kembali alam agar baik melayani kita.
Lebih jauh lagi, banu mesti
dimaknai sebagai seruan kembali identitas Indonesia agar tidak hanya bangga
menjadi penyedia bahan mentah tambang, minyak mentah sawit, dan menjadi pasar
raksasa produk asing. Banu berarti mengembalikan negara agraris, maritim, dan
memastikan keselamatan warganya.
Sumber: Kompas, 30 Agustus
2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!