Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara Jakarta
Sukses pelaksanaan Pilkada DKI
Jakarta dalam dua putaran baru-baru ini telah memberikan angin segar pada
proses demokratisasi di negeri kita. Peristiwa itu makin meyakinkan kita bahwa
demokrasi merupakan modus yang paling tepat untuk suksesi kekuasaan dalam
negeri multikultural ini.
Kemenangan Joko Widodo
(Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama dalam putaran II dapat dibaca tidak hanya
sebagai bukti mulai usangnya retorika SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan) di negeri kita. Sejauh kita ikuti rekam jejak mereka, kedua
pemimpin baru Jakarta ini mempraktikkan politik deliberatif untuk transformasi
sosial. Sebelum mengambil keputusan mereka siap meninggalkan meja kantor mereka
untuk turun ke bawah dan berbincang-bincang dengan masyarakat. Hal inilah yang
kini langka di kalangan para pemimpin negeri ini.
Sambung Nalar
Gaya merakyat yang
dipraktikkan Jokowi-Basuki bukan hal baru di negeri kita. Soekarno dan banyak
tokoh pergerakan nasional juga punya gaya serupa. Yang baru pada kedua pemimpin
baru Jakarta ini, gaya merakyat tak dipakai dalam konteks populisme yang muncul
akibat krisis politis, tetapi dalam konteks negara hukum demokratis. Mereka
ingin membaca aspirasi publik dari sumbernya sendiri. Sebagai Wali Kota Solo,
Jokowi perlu puluhan forum dengar pendapat sebelum mengambil suatu keputusan
publik. Baginya opini dan aspirasi dari bawah kontribusi untuk pertimbangan
keputusannya. Proses menimbang- nimbang bersama masyarakat dalam teori politik
kontemporer dikenal sebagai ”deliberasi publik”.
Negara hukum demokratis menyediakan
ruang publik, yaitu ruang untuk sambung nalar dengan publik. Para birokrat
negara memakai ruang ini hanya untuk pencitraan diri demi kedudukannya atau
membiarkannya terbengkalai ditimbun prosedur- prosedur rutin yang membunuh
inisiatif warga. Yang dilakukan Jokowi adalah memanfaatkan ruang itu untuk
merevitalisasi praktik negara hukum demokratis. Masalah kita bukanlah tak
adanya perangkat sistemis, seperti birokrasi dan lembaga parlementer, melainkan
ringkihnya sambungan komunikasi perangkat sistemis itu ke masyarakat madani.
Sensitivitas sistem politis kita terhadap aspirasi publik masih sangat kurang,
maka warga pun mati rasa terhadap politik. Revitalisasi negara hukum berarti
upaya membangun sambungan yang selama ini macet oleh berbagai blokade kepentingan
kuasa dan uang. Tanpa sambungan komunikasi tersebut, menurut Jurgen Habermas,
kita hanya akan mendapatkan paternalisme birokrasi, bukan negara hukum yang
demokratis.
Mengikuti analisis Habermas
dalam Theory of Communicative Action, kita akan tahu betapa besar tantangan
yang dihadapi para pemimpin dewasa ini, termasuk Jokowi-Basuki. Dalam
globalisasi, menurut dia, birokrasi dan pasar berekspansi ke wilayah masyarakat
warga sehingga kebijakan pembangunan kota seolah didikte kepentingan modal dan kuasa
semata. Apa yang disebutnya ”kolonisasi sistem atas dunia-kehidupan” ini tak
hanya membunuh partisipasi warga dalam pembangunan kota, tetapi juga
mengakibatkan marjinalisasi dan pemiskinan karena kolaborasi birokrat-investor
membuat sistem seleksi yang menguntungkan sepihak. Menjamurnya mal, ITC, dan
hipermarket tak lepas dari ”ekonomi libidinal” investor kelas kakap yang
mencaplok bisnis kelas teri di pasar tradisional.
Pendapat Habermas bahwa
kolonisasi tersebut dapat dibendung dengan produk hukum yang merupakan hasil
deliberasi publik dapat berlangsung di negara-negara Barat yang masyarakat
madaninya sudah relatif kuat. Masyarakat kita baru lepas dari moncong rezim
otoriter yang paternalistis sehingga masih bergantung pada figur pemimpin dan
kurang percaya pada sistem. Dalam kondisi transisi seperti itu, demokrasi
deliberatif harus dimulai dengan kepemimpinan deliberatif. Pemimpin sendiri
berinisiatif untuk sambung nalar dengan publiknya. Bukankah deliberasi harus
dari bawah ke atas dan bukan sebaliknya? Hal ini tidak diperhitungkan dalam
model Habermas yang bertolak dari tradisi kritis terhadap otoritas, tetapi
Jokowi memperkenalkan kemungkinan itu. Setidaknya itu yang telah dikerjakannya
sebagai Wali Kota Solo.
Tradisi Deliberasi
Ide demokrasi deliberatif
sudah tersirat dalam ide ”permusyawaratan” sila ke-4 Pancasila. Model ini ingin
menjawab kebutuhan akan legitimasi politis dalam masyarakat kompleks seperti
Indonesia. Diperlengkapi dengan teori diskursus, model ini menjelaskan bahwa
suatu kebijakan publik baru dapat mengklaim legitimitasnya setelah diuji secara
diskursif dalam forum-forum deliberasi, terutama di dalam ruang-ruang publik di
luar DPR. Pertumbuhan tradisi deliberasi publik, baik lewat media- media massa
maupun forum-forum warga, akan mendorong produksi kebijakan-kebijakan publik
yang semakin dekat dengan aspirasi masyarakat bila tersambung dengan DPR.
Demokrasi deliberatif tidak bermuara pada liberalisme, tetapi pada sosialisme
demokratis yang tidak lain daripada organisasi diri warga.
Jakarta bukan Solo atau
Belitung. Tidak mudah mengatur sejumlah besar utility maximizers tanpa
ketulusan sekaligus kecerdikan. Interaksi sosial di Jakarta begitu banyak
digerakkan oleh sistem, tetapi begitu sedikit digerakkan oleh solidaritas
sosial. Sistem dengan kode uang dan kuasa masih selalu merupakan motivator
utama interaksi sosial. Konflik kepentingan antarpartai, antarinstansi,
antarperusahaan, dan antarkelompok dalam berbagai taraf dapat selalu terjadi
dalam kompleksitas sosial Jakarta di mana gubernur dan wakilnya dapat terseret
ke dalamnya. Integritas kepemimpinan mereka kiranya akan disokong oleh sambung
nalar dengan berbagai lapisan publik di Ibu Kota.
Kekuatan-kekuatan masyarakat
warga telah ada meski belum cukup besar. Kekuatan itu, misalnya, tampak dalam
forum lintas agama untuk menentang kekerasan dan intoleransi atau dalam
dukungan publik akhir- akhir ini untuk mentang pengebirian KPK lewat revisi UU
KPK di DPR. Jumlah mereka yang antidiskriminasi, anti-intoleransi,
antimarjinalisasi, dan antikorupsi pasti merupakan mayoritas di Jakarta. Para
pemilik modal dan kuasa juga akan mengklaim diri mereka pro-kesetaraan sosial
dan propemberdayaan masyarakat miskin.
Kebenaran isi klaim itu hanya
bisa dibuktikan jika mereka juga dilibatkan dan dievaluasi dalam forum-forum
deliberasi publik. Keprihatinan bersama yang dibangun lewat deliberasi publik
akan membuat para individu rela melampaui kepentingan privatnya dengan
mengambil alih peran warga kota.
Suatu kombinasi antara
berbagai kekuatan masyarakat warga dan kepemimpinan deliberatif, seperti
dicontohkan oleh Jokowi, dalam jangka panjang akan dapat mengubah Jakarta
menjadi masyarakat dengan ”rasa komuniter” yang lebih tinggi. Tidak mustahil
kepemimpinan deliberatif menjadi —meminjam Malcolm Gladwell— Tipping Point, yakni
”momen dramatis, ketika segalanya berubah sekaligus” di Indonesia. Dampak
”epidemis” seperti itu dianugerahkan oleh Sang Waktu kepada pemimpin amanah
yang mampu memobilisasi ”modal sosial” untuk kebaikan bersama. Berbagai persoalan
Jakarta, seperti kemacetan lalu lintas, korupsi, kemiskinan, dan banjir, memang
tak mudah diselesaikan. Namun, penyelesaian kiranya sudah dicapai separuhnya
jika tercipta sinergi sosial lewat deliberasi publik, yaitu jika
kebijakan-kebijakan kota didukung para warganya. Selamat bertugas Pak Jokowi
dan Pak Basuki. Lanjutkan politik deliberatif.
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!