Pengkaji Masalah Etika
TERKAIT dengan peringatan Hari
Kesehatan Jiwa tiap tanggal 10 Oktober, perhatian publik tercurah pada gejala
gangguan jiwa yang melanda sebagian masyarakat di negeri ini. Tidak pandang
bulu, dari kelas jelata hingga elite penguasa, masing-masing punya potensi
gangguan jiwa, dan salah satunya adalah skizofrenia.
Disiplin ilmu kejiwaan
mengelaskan skizofrenia dalam jenis gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
bisa memengaruhi fungsi otak manusia, memengaruhi fungsi normal kognitif,
emosional, dan tingkah laku. Cirinya antara lain hilangnya perasaan afektif
atau respons emosional, dan ada kecenderungan menarik diri dari hubungan
antarpribadi secara normal.
Dalam beberapa kasus, gejala
kejiwaan itu sering diikuti keyakinan yang salah (delusi) dan punya persepsi
tanpa ada rangsangan pancaindera (halusinasi). Tokoh ilmu kedokteran Emil
Kraepelin (1919) malah menegaskan pada kasus skizofrenia ada kecenderungan
kemenumpulan alam perasaan (emotional dullness).
Target KPK
Melihat ciri-ciri tersebut,
layak bila kita menelisik perilaku sebagian besar politikus di negeri ini.
Rasa-rasanya beberapa ciri itu melekat pada mereka. Jika mengerucutkan pada
tipe, kian terlihat skizofrenia mendera mereka. Skizofrenia paranoid misalnya,
membuat seseorang gampang curiga, cenderung ingin bermusuhan, dan garang.
Secara mudah kita bisa melihat
bukti politikus kita gampang curiga, yang antara lain tercermin dari keinginan
mereka merevisi UU tentang KPK. Mereka didera rasa curiga jangan-jangan menjadi
target komisi antikorupsi itu, karena itu lahirlah kor untuk melemahkan lembaga
antikorupsi itu. Bahkan berbuntut kesan ada rasa permusuhan.
Derivat yang lain adalah
skizofrenia hebefrenik, yakni berperilaku seperti anak kecil, senang
merengek-rengek, dan terus-menerus meminta. Bukankah sebagian politikus Senayan
berkarakter seperti itu? Mereka gemar meminta-minta, dari studi banding yang
tidak penting sampai fee atas pembahasan anggaran tertentu.
Lantas, bagaimana dengan
kemenumpulan alam perasaan ala Kraepelin? Mudah saja melihatnya, politikus kita
tidak lagi peka terhadap aspirasi rakyat. Mereka lebih peka pada kepentingan
diri atau kelompok. Mereka memosisikan rakyat "habis manis sepah dibuang".
Rakyat menjadi tak lagi penting. Baru menjelang Pemilu 2014 rakyat kembali
penting untuk dirangkul.
Skizofrenia juga bisa dilihat
dari kajian postmodernism. Fredric Jameson menulis esai "Postmodernism an
Consume Society" yang menyoroti gejala itu. Menurut dia, skizofrenik
menjadi sosok tanpa identitas dan enggan berbuat apa-apa. Gejala ini timbul
dari ciri kekacauan bahasanya. Jelas, politikus skizofrenik tak akan berbuat
apa-apa. Apa jadinya bila politikus kita tidak berbuat apa-apa? Ini sejalan
dengan "tumpulnya alam perasaan" ala Kraepelin: pengabaian rakyat.
Wakil rakyat skizofrenik bukan
lagi mengabadikan diri, apalagi mengabdikan diri, melainkan lebih memanjakan
diri. Mereka sungguh mengabaikan peringatan Aristoteles bahwa aktif dalam
berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis. Justru yang
terjadi adalah "perbudakan biologis".
Perbudakan biologis itu
menempatkan kesenangan tubuh lebih baik ketimbang kesenangan jiwa. Mereka
memanjakan tubuh dengan materi sehingga menimbulkan kesan bahwa urusan perut
adalah segalanya. Ketika politikus diperbudak proses biologis, aktivitas politik
menjadi mata pencaharian. Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok
ukur. Mereka berpendapat, adalah politikus tolol jika tak mendapat keuntungan
duniawi.
Sejalan dengan pemikiran itu
maka celaka jika legislatif dianggap melulu sebagai pekerjaan dan urusan banyak
orang menjadi terabaikan. Sejatinya politik bukan kendaraan untuk meningkatkan
kesejahteraan melainkan guna mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas.
Bolehlah mereka beranggapan
bukan zamannya politikus tak memikirkan urusan perut. Tapi alangkah bagusnya
jika anggapan itu ditempatkan secara proporsional. Artinya, urusan rakyat juga
diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati fasilitas negara dan seberapa
besar kontribusi yang mereka berikan bagi kesejahteraan rakyat. Asas
proporsional inilah yang belum ditunjukkan oleh anggota DPR sehingga
terus-menerus dihujat rakyat.
Alami Alienasi
Derivatif skizofrenia adalah
sinyalemen seorang guru besar psikologi bahwa DPR periode 2009-2014 mengalami
alienasi dengan rakyat yang mereka wakili.
Ini sungguh sindrom yang
sangat mengkhawatirkan. Guru besar itu tentu tidak gegabah memilih kata
alienasi. Barangkali ia menggunakan pengertian alienasi sebagai "bersikap
tidak peduli atau tidak bersahabat".
Rasanya pengertian yang pas,
bukankah sudah banyak bukti bahwa anggota DPR bersikap tidak peduli kepada
rakyat? Bukti itu adalah hasrat rumah aspirasi, rencana renovasi rumah dinas,
studi banding, kasus Banggar, dan gedung baru DPR.
Namun alienasi itu bisa digali
lebih dalam dari sekadar "bersikap tidak peduli". Dari penggalian itu
muncullah perasaan sangat mengkhawatirkan. Mengapa? Ternyata kalau dilacak
latar belakang linguistik (lihat misalnya Alienation, Richard Schacht: 1970),
alienasi itu merupakan gangguan mental.
Jadi, semakin banyak makhluk
alien, kian tinggi gangguan mental di sana. Lalu, apa jadinya jika wakil rakyat
terhormat tengah dibekap gangguan mental secara kolektif? Apa jadinya jika
negeri ini dipadati politikus skizofrenik? Wajar jika negeri ini pun dilanda
karut-marut, dan hal ini tak boleh didiamkan.
Kita yang menentukan, jangan
lagi memilih politikus skizofrenik. Jangan lagi kita tergoda ragam rayuan
karena kita pula yang menanggung akibatnya.
Sumber: Suara Merdeka, 9 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!