Dosen Antropologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Data yang dirilis
Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, tentang pejabat negara yang tersangkut kasus
korupsi telah menyengat partai yang terlibat. Meskipun masih sumir klasifikasi
data tersebut, paling tidak bagi publik data ini menjadi pelajaran untuk
menilai partai-partai yang akan terlibat dalam pemilu legislatif dan pemilihan
presiden 2014.
Data Seskab
memeringkat partai-partai politik berdasarkan jumlah kadernya yang terlibat
korupsi. Sejak Oktober 2004 hingga September 2012 ada 176 pejabat negara yang
telah tersandung baik sebagai tersangka, terdakwa, hingga terpidana kasus
korupsi. Berturut-turut tujuh besar partai itu adalah 1) Golkar 64 orang (36,36
persen), 2) PDIP 32 orang (18,18 persen), 3) Partai Demokrat 20 orang (11,36
persen), 4) PPP 17 orang (9,65 persen), 5) PKB 9 orang (5,11 persen), 6) PAN 7
orang (3,97 persen), dan 7) PKS 4 orang (2,27 persen).
Dari data tersebut
terlihat bahwa enam dari tujuh besar partai koruptor didominasi partai koalisi.
Hanya ada satu oposisi, PDIP, yang menempati peringkat kedua. Tiga besar partai
korup juga menjadi representasi partai yang meraih suara terbanyak pada pemilu
legislatif, yang bisa semakin mengawangkan pikiran publik, karena baik partai
berkuasa atau oposisi semuanya tak lepas dari korupsi.
Realitas ini menjadi
semacam political image bahwa kepengurusan politik di masa yang akan datang
masih sulit memberikan komitmen seratus persen pada pemerintahan yang bersih
dan demokratis. Kerusakan partai-partai pasca-reformasi sehingga akhirnya juga
masuk dalam lingkaran korupsi juga diakibatkan “keterperangkapan dosa masa
lalu”. Sistem politik saat ini pun masih membuka peluang bagi terjadinya
korupsi berkabilah dan berjemaah melalui dukungan partai-partai politik. Partai
baru seperti Nasional Demokrat belum teruji untuk membelah badai korupsi
sehingga menjadi teladan baru dalam kekuasaan. Hal itu karena harapan politik
belum memberikan bekas yang menjanjikan bagi sebagian besar rakyat.
Sumur Yusuf
Pertanyaan siklus
yang selalu muncul, apakah demokrasi prosedural bisa memperbaiki kualitas
demokrasi substansial? Banyaknya kasus korupsi yang terjadi selama ini selalu
dipemasalahkan bahwa sistem elektoral proporsionalitas terbuka memungkinkan
orang yang punya kuasa untuk terpilih, dan menjadi modus korupsi tak juga menepi.
Sistem elektoral
2009 adalah kritik atas sistem proporsional tertutup pada era pemilu
sebelumnya. Ada cacat dari sistem proporsional tertutup ketika pemimpin partai
lebih berkuasa, dibandingkan “kader politiknya”. Ingat kasus Nurul Arifin yang
harus dikalahkan pemimpin teras partai dengan sistem proporsionalitas tertutup.
Meskipun demikian, sistem elektoral sekarang pun tetap memberi koreng politik,
di mana partai semakin toleran dengan kader bajing loncat yang dengan mudah
berkuasa dan mengendalikan partai barunya. Kasus Nazaruddin menjadi salah satu
contoh.
Namun, sesungguhnya
sistem elektoral apa pun yang dipersiapkan tetap membuka celah manipulasi.
Politik tidak berhenti hanya sebagai seperangkat aturan main yang seharusnya
dipatuhi. Faktor determinan akhirnya kembali pada tindakan aktor bisa
merenggang-kerutkan aturan main dan menjadikannya sekadar permainan. Aktor
politik selalu punya ruang pada syahwat politik dan melakukan zigzag
omnipresent terkait kultur dan lingkungan politiknya. Dalam politik ada kredo
kekuasaan yang bisa ditafsirkan menjadi tidak terbatas dan karenanya bisa
menjadi sangat tidak bermoral dan merusak publik.
Sulit bagi kita
menerima alasan, “kita akan memperbaiki sistem seleksi kader politik”,
“pengalaman buruk ini akan menjadi bahan evaluasi partai”, “persepsi masyarakat
tentang politikus busuk akan menjadi seleksi alam”, “masa depan politik semakin
cerdas”, dll. Argumentasi-argumentasi itu masih berada di ruang antropologis,
akan tetap seperti itu selama lima-sepuluh-dua puluh tahun ke depan, jika tanpa
tindakan revolusioner membongkar adab dan etika politik secara mendasar.
Jatuhnya para
politikus berkali-kali dalam kasus korupsi tidak menjadi pelajaran bagi partai
politik semakin berhati-hati. Kecerobohan selalu terjadi bahkan semakin parah.
Terungkapnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara setingkat
menteri dan anggota DPR hanya seperti mengintip umbul gunung salju. Semuanya
diraup, dari proyek infrastruktur, perjalanan dinas, percepatan pembangunan
daerah tertinggal, anggaran pendidikan dan ekonomi rakyat, hingga berhubungan
peningkatan kualitas iman dan takwa umat.
Publik dibuat kabur
untuk hanya melihat pucuk gunung dan gagal mengintip dasar-dasarnya yang dingin
karena kerapian mengemas dan jejaring konspirasi yang menggurita sehingga gagal
terbongkar. Pengetahuan masyarakat tentang kasus korupsi terhela oleh penabalan
bukti forensik dan formil hukum. Jadilah publik seperti sang amatir, yang bisa
berteriak tapi tak bisa membuktikan.
Kita berada di
dalam kondisi di mana partai politik bebal dan tidak belajar dari kesalahan.
Kasus-kasus korupsi itu tidak membuat partai-partai ini terperosok ke dalam
sumur Nabi Yusuf, sehingga ada waktu untuk melakukan refleksi mendalam untuk
memperbaiki kualitas perilaku politiknya ke depan. Yang muncul adalah sikap
reaktif dan tidak menerima dituduh sebagai partai korup, meskipun mata dan
telinga publik melihat dengan terang benderang.
Tahun 2014 tinggal
selempar waktu lagi. Dengan kenyataan politik seperti sekarang ini publik tidak
perlu mengharapkan banyak prestasi dari partai politik yang ada saat ini.
Dukungan pada partai-partai yang relatif bersih mungkin masih bisa memberikan
kepercayaan, namun yang terpenting adalah mempersiapkan diri dalam sirkuit
politik baru dengan mencoba mengalahkan para pemain lama dan dari kendaraan
yang usang itu.
Penting juga bagi
kelompok masyarakat sipil memperkuat barisan dan menjadi media kritis yang
senantiasa mengupayakan politik tetap bisa berjalan di relnya. Jangan sampai
kelompok sipil terpecah oleh masalah-masalah kecil dan terkotak-kotak dalam
domino politik kekuasaan. Gerakan sipil yang kuat akan menjadi pengawal yang
andal, yang jeli memperhatikan setiap detail proses pengelolaan kepentingan
publik untuk mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian; sehingga
publik tak semakin apatis dengan politik, dan menganggapnya hanya sebagai
instrumen yang merusak mental dan kultur masyarakat.
Sumber: Sinar Harapan,
4 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!