Headlines News :
Home » » Requiem (Nasib) Buruh Migran

Requiem (Nasib) Buruh Migran

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, October 24, 2012 | 4:53 AM

Oleh Ansel Deri
Penulis adalah keluarga eks buruh migran di Johor Bahru

NYARIS setiap bulan negeri ini disuguhi berita tak sedap para tenaga kerjanya yang menyabung nasib di luar negeri. Baru lepas sehari dari Idul Fitri Syawal 1433 H, kabar tak sedap datang dari Singapura. Dari negeri selemparan batu itu, tersiar kabar Pengadilan Singapura memperberat hukuman bagi Fitria Depsi Wahyuni. Pahlawan devisa asal Jember, Jawa Timur, itu dibui 20 tahun dengan sangkaan membunuh majikan. Sebelumnya, dia divonis 10 tahun.

Buruh migran bau kencur berusia 19 tahun itu mestinya menghirup udara bebas pada 2016 setelah mengantongi vonis 10 tahun berdasarkan putusan pengadilan setempat 7 Maret 2012. Ia mestinya berada di tengah kebahagiaan orang tua dan sanak keluarga. Namun, upaya banding sejumlah pihak setempat atas vonis 10 tahun dikabulkan pengadilan. Kini, upaya membebaskan buruh migran tersebut tengah dilakukan aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur.

Ketua SBMI Jawa Timur, Moch Cholily, di Jember, Selasa, 21 Agustus 2012, menegaskan seusai Lebaran, serikatnya akan membahas hasil putusan banding itu untuk merumuskan kemungkinan yang bisa diupayakan guna meringankan hukuman. Langkah serupa pernah dilakukan bersama satuan tugas penanganan WNI yang terancam hukuman mati, Fitria, sehingga dia bebas dari hukuman mati. Fitria diberitakan membunuh majikannya. Ia kesal karena semasa kerja kerap mendapat perlakuan dan ucapan kasar. Ia juga selalu diberi makanan basi.

Fitria, yang menjadi TKI di Singapura akhir Desember 2009 dengan paspor wisatawan dan bukan paspor khusus TKI, dianggap terbukti membunuh majikannya. Namun, upaya SBMI Jawa Timur membuahkan hasil. Ia divonis 10 tahun dan lolos dari hukuman mati. Alasannya, selain kondisi kejiwaannya masih labil, saat itu dia belum berusia 17 tahun.

TKI asal Lembata, Kanisius Leu, 39 tahun, juga bernasib sial. Pada Senin, 15 Oktober 2012 lalu, dia meregang nyawa di tangan majikannya. Timah panas menembus bahu dan dada. Kanis ditembak saat tengah memetik mangga milik majikan karena dikira beruk atau kera liar.

Sebelumnya, pada 22 September 2011, Petrus Dori Deona, 59 tahun, buruh migran asal Desa Labalimut (Boto), Lembata, tewas dibunuh di Kulai Johor, Malaysia Barat. Jenazah petani kecil itu baru ditemukan kerabat keesokan hari menjelang salat Jumat. Tak ada proses hukum, jenazahnya langsung dimakamkan. Meski sempat diberitakan media cetak dan online Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait tak ambil pusing sehingga berita tersebut hilang bagai dimangsa Bumi.

Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia, Retno Dewi, mengecam insiden penembakan Kanis yang dikira beruk yang sedang merusak pohon mangga. "Memang belum ada penghargaan sama sekali, orang Indonesia tidak dianggap apaapa. Masa orang dianggap monyet, kan kelihatan bedanya antara monyet dan manusia," kecam Retno.

Ironis sekali, manusia dipandang sangat rendah seperti binatang. Bahkan sekalipun itu monyet, dia tidak perlu ditembak karena monyet pun dilindungi.

Tembang duka

Kasus Fitria dan Kanis adalah segelintir dari sekian kasus yang dialami ratusan, bahkan ribuan, buruh migran di luar negeri yang bertaruh peluh mengubah ekonomi keluarga. Namun, kadang nestapa hadir di tengah perjuangan selaku pahlawan devisa negara dan keluarga. Tuntutan kerja yang kadang keras dan di luar kemanusiaan membuat para buruh migran nekat sekalipun menabrak norma dan hukum.

Kadang pula mereka mengalami kekerasan seksual. Misalnya, delapan dari tiga belas TKW asal Indonesia dideportasi dari Malaysia melalui Batam, Kepulauan Riau, pekan ketiga Maret 2012. Saat ditampung di shelter Dinas Sosial Batam, kisah perlakuan majikan dibeberkan Febrina, pendamping TKI dari Kementerian Sosial. Mereka rata-rata diperlakukan kasar dan pulang tanpa sepeser pun rupiah dari jerih payah kerja.

Seorang TKW cleaning service berusia 16 tahun di sebuah perusahaan perkebunan sawit malah bernasib tragis. Setelah dipukul hingga kakinya luka dan membengkak, ia melarikan diri dan bersembunyi di perkebunan sawit. Namun, ia seperti kata pepatah: keluar dari mulut singa masuk mulut harimau. Saat bersembunyi, ia diperkosa segerombolan pria dan ditinggal begitu saja dalam kondisi lemas tanpa busana.

Dua TKI asal Batam, LS dan RS, juga dipaksa menjadi pelayan birahi majikan asal India. Pengalaman itu disampaikan di Polresta Barelang, 21 April 2012. Keduanya pulang atas bantuan seorang Pakistan yang baik hati. Mereka kabur dari rumah saat majikannya tengah asyik ngobrol dengan sang germo.

Di luar itu, masih segar pula ingatan atas nasib Mad Noor, Herman, dan Abdul Kadir Jaelani. TKI asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, itu meregang nyawa setelah timah panas Polis Diraja Malaysia merobek tubuh mereka di Negeri Sembilan, Malaysia, pada 24 Maret 2012. Ketiga jenazah baru dikenali setelah terbujur di Port Dickson Hospital, Negeri Sembilan.

Kala itu ditemui kejanggalan. Organ vitalnya diduga diambil dan diperjualbalikan karena ada jahitan pada mata, dada, dan perut. Mata dan organ dalam jasad itu diduga sudah raib. Kondisi itu pantas melahirkan requiem, tembang duka, sekaligus refleksi atas nasib pahlawan devisa Indonesia. Kemudian memikirkan regulasi dan strategi cara membentengi dan melindungi mereka selama berada di luar negeri.

Belum maksimal

Nasib tragis yang dialami Fitria, Kanisius, dan segelintir TKI di atas bukan berarti miskin perhatian pemerintah melalui regulasi penempatan dan perlindungan buruh migran di luar negeri. Barangkali regulasinya sudah memadai, namun miskin di tingkat pelaksanaan.

Dalam konteks yang lebih luas, harus disadari bersama bahwa menjamurnya warga negara ke luar negeri menunjukkan minimnya lapangan kerja di dalam negeri. Negara tampak absen memenuhi kebutuhan dasar warganya melalui penciptaan lapangan kerja.

Sekadar contoh, jika ditelusuri, ketertarikan menjadi buruh migran di luar negeri, entah sebagai pekerja di perkebunan sawit, perusahaan konstruksi, atau pembantu rumah tangga, merupakan pilihan sebagian warga dari NTB dan NTT. Pilihan ini menjadi garansi bagi kelangsungan pendidikan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Kadang, setelah anak-anaknya meraih sarjana, barulah kembali. Bagi mereka, apa pun yang dialami di rantau, sudah menjadi risiko sebuah pengorbanan.

Tingginya animo masyarakat menjadi buruh migran merupakan kenyataan di tengah minimnya lapangan kerja. Kondisi itu tentu, mau tidak mau, memaksa pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) serta lembaga-lembaga terkait lainnya memikirkan serius jalan keluarnya. Namun, membuka kesempatan seluasluasnya kepada warga negara menyabung nasib selaku pahlawan devisa juga menjadi pilihan yang tak bisa dihindari.

Dalam diskusi komunitas di Blitar, Jawa Timur, 13 Maret 2012, Wahyu Susilo dari Migrant Care mengingatkan, Ratifikasi Konvensi Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran diharapkan mampu melindungi pekerja migran (TKI) secara lebih konkret. Dari ratifi kasi tersebut, menjadi kewajiban negara untuk menjadikan hukum positif berupa UU. Secara otomatis, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang juga mengatur prosedur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri harus disesuaikan dengan ratifikasi tersebut.

Ratifikasi konvensi tersebut menjadi UU mendapat pengawalan seluruh aktivis LSM dan organisasi buruh migran untuk mendapat kepastian hukum yang lebih berpihak pada kepentingan perlindungan buruh migran. Hal tersebut juga untuk mengeliminasi terjadinya diskonsistensi di tingkat pemerintah terhadap ratifikasi konvensi dan perubahan undang-undang tersebut.
Sumber: Koran Jakarta, 24 Oktober 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger