Guru Besar Hukum
Konstitusi
Ketika Jumat (28/9)
pecan lalu Juniver Girsang dan Hotma Sitompoel, kuasa hukum Djoko Susilo,
datang ke KPK dan menyampaikan bahwa kliennya tak akan hadir memenuhi panggilan
KPK, karena masih menunggu fatwa dari MA tentang kewenangan memeriksa kasus
simulator, banyak yang sontak mencibir, langkah itu merupakan bagian dari upaya
melemahkan KPK.
Tapi saya tak
melihatnya seperti itu. Bagi saya langkah kedua pengacara itu lebih merupakan
langkah formalitas yang perlu ditunjukkan bahwa sebagai kuasa hukum mereka
harus melakukan langkah-langkah yang menguntungkan dan memberikan harapan
kepada kliennya. Pengacara sekaliber Hotma dan Girsang mustahil tidak
mengetahui bahwa menurut hukum dan pendirian resmi MA, sejak dulu permintaan
fatwa hanya dapat dilakukan oleh lembaga negara, bukan oleh pengacara atau oleh
pesakitan hukum.
Hotma dan Girsang
pasti tahu, upayanya untuk meminta fatwa ke MA akan sia-sia. Tapi sebagai
pengacara, dia harus menunjukkan kepada kliennya bahwa dia sudah berusaha. Saya
kenal dan pernah berdiskusi agak lama dengan Girsang. Dia itu sama dengan kita,
merasakan keprihatinan dan kepedihan yang mendalam karena korupsi sangat
merusak kehidupan bernegara kita. Dari pengalamannya membela kasus-kasus
korupsi, Girsang tahu betapa mengerikan gurita dan monster korupsi di negeri
ini. Dia ceritakan monster-monster dan gurita itu kepada saya dan dia pun
berharap agar ada langkah-langkah yang kuat dan cepat dalam memberantas
korupsi.
Meski begitu secara
profesional dia tetap harus membela kliennya, koruptor sekalipun. Memang tidak
setiap sikap dan tindakan orang yang melawan atau menyerang KPK itu harus
diartikan ingin melemahkan KPK meskipun harus diakui, ada arus sistematis yang
ingin melemahkan KPK itu. Ada juga yang mempersoalkan eksistensi KPK karena
memang ingin mengkritik atau memproporsionalkan penegakan hukum agar tidak
proliferatif. Dalam batas tertentu dan untuk jangka panjang saya setuju dengan
Fachri Hamzah bahwa di dalam negara demokrasi konstitusional tak boleh ada
lembaga negara yang superkuat.
Semua harus
seimbang, di bawah kontrol publik, dan tak boleh ada yang diberi kewenangan
yang bisa diselewengkan. Meski begitu, untuk saat ini sampai beberapa waktu ke
depan, dunia penegakan hukum kita masih sangat membutuhkan KPK. Dari konstitusi
dan kaidah-kaidah hukum apa pun keberadaan KPK dan semua kewenangannya saat ini
adalah sah dan diperlukan. KPK telah berhasil membuat bergidik para koruptor
karena di tangannya bisa diseret orang-orang kuat yang terlibat korupsi.
Kenyataan itulah
yang kemudian menimbulkan, meminjam istilah Taufiequrachman Ruki, corruptors
fight back, serangan balik dari para koruptor yang sekarang tampak menjadi
gerakan sistematis untuk melemahkan KPK. Para koruptor yang dendam dan takut
kepada KPK beramai-ramai untuk menghantam, melemahkan, dan melenyapkan KPK
secara kolaboratif dan hegemonis. Dalam catatan saya ada tiga skenario yang
dilakukan para penyerang untuk melemahkan KPK ini.
Pertama, melakukan
judicial review atau meminta MK membatalkan kewenangan-kewenangan khusus yang
secara yuridis dan konstitusional diberikan kepada KPK. Sampai Oktober 2012 ini
sudah 15 kali UU KPK diperkarakan, tetapi dari semua perkara yang telah
diputus, MK selalu memperkuat konstitusionalitas dan posisi hukum KPK. Baik
saat membuat vonis menolak maupun mengabulkan permohonan, MK selalu menguatkan
posisi KPK bukan karena pertimbangan politik, tetapi semata-mata berdasar
konstitusi dan hukum. MK selalu menegaskan keberadaan KPK dan semua kewenangan
khususnya adalah konstitusional dan harus didukung.
Kedua, melalui
delegalitas kepemimpinan KPK yang menurut UU KPK harus kolektif kolegial. Pada
saat Antasari Azhar ditahan dan kemudian dipecat dari KPK muncul suara dari
Gedung DPR yang menyatakan bahwa sejak saat itu KPK tak bisa lagi beroperasi
karena sifat kolektif kolegialnya tak terpenuhi berhubung pimpinannya tidak
lagi utuh.
Tapi pada saat itu
para pendukung KPK berhasil menggalang dukungan bahwa selama pimpinan aktif
masih lebih dari dua, semua keputusannya adalah legal karena memenuhi kuorum
kolektif kolegial. Berikutnya “hampir” saja pimpinan KPK kurang dari tiga saat
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dijadikan terdakwa. Tapi MK segera
memutus bahwa pimpinan KPK yang dijadikan terdakwa tidak bisa diberhentikan
sebelum divonis bersalah yang disertai dengan kekuatan hukum yang tetap.
Ketiga, melalui
upaya merevisi UU KPK yang isinya,meminjam istilah Abraham Samad, akan memotong
tangan dan kaki KPK melalui penghilangan hak penuntutan, mempersulit
penyadapan, penghidupan SP3, dan sebagainya. Itulah tiga skenario pelemahan KPK
yang tak terbantahkan. Belum lagi serangan-serangan kasar terhadap KPK yang
dilancarkan melalui media massa. Bahkan ada yang dengan konyol mengatakan bahwa
di dalam UU KPK tak ada istilah extra-ordinary crime, padahal istilah itu
tertulis jelas di dalam konsiderans pertama UU KPK meskipun sudah menggunakan
bahasa Indonesia.
Melihat kebutuhan
penegakan hukum dan manfaat kiprah KPK, kita harus menyelamatkan KPK dan
mendukung agar kewenangannya seperti yang ada selama ini tetap dipertahankan.
Sumber: Sindo, 6
Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!