Ketua Umum DPN Apindo
Demo penolakan sistem alih daya (outsourcing) telah
melumpuhkan sebagian besar kawasan industri. Tak terhitung kerugian akibat demo
ini.
Dalam demo 3 Oktober lalu, penyisiran dan pemaksaan
pekerja agar ikut demo masih terjadi. Padahal, sudah ada larangan dan jaminan
dari Kapolri.
Salah satu petinggi Serikat Pekerja yang memimpin demo
mengatakan akan terus menggerebek pabrik-pabrik yang tidak mau demo. Bahkan,
tanpa rasa bersalah ia berkata hanya sedikit pagar pabrik yang dirubuhkan.
Polisi yang diharapkan menjaga keamanan dan menghormati
pekerja yang tidak mau ikut demo, mendiamkan saja aksi penyisiran dan pemaksaan
kehendak.
Benarkah alih daya kambing hitam dari karut marut dunia
ketenagakerjaan kita? Seakan dengan menghapus alih daya semua masalah selesai
dan kesejahteraan tenaga kerja membaik. Bagaimana dengan korupsi, ekonomi biaya
tinggi, biaya siluman, dan buruknya infrastruktur yang dapat menghambat
kelancaran berusaha?
Kami pengusaha juga rakyat, bahkan menjadi mesin
penggerak pembangunan ini yang membuka lapangan pekerjaan. Kenapa seakan kami
bukan bagian dari rakyat yang perlu mendapat perlindungan dalam berusaha?
Alih Daya
Pengertian alih daya adalah menyerahkan sebagian pekerjaan
kepada pihak ketiga dengan berbagai alasan, misalnya untuk efisiensi, agar
dapat fokus pada bisnis utama dan jadi maksimal. Melihat pengertian ini, tidak
mungkin menghapus alih daya. Selain sudah merupakan tren global, alih daya
merupakan solusi bagi perusahaan agar bergerak lebih dinamis.
Kalau dicermati tuntutan pekerja adalah kesejahteraan
buruh melalui perlindungan hak-hak pekerja, suatu hal yang sama sekali berbeda
dengan pengertian alih daya. Kesejahteraan bangsa menjadi prioritas untuk segera
diwujudkan agar pekerja kita mendapatkan hak-haknya sesuai peraturan yang
berlaku.
Dalam rangka menuju negara sejahtera, bukan alih daya
yang dihapus, tetapi membenahi praktik pelaksanaan alih daya yang salah dan
melanggar hukum. Pelaksanaan alih daya yang memenuhi hak-hak pekerja harus
dilindungi karena alih daya bukan barang haram dan membuka kesempatan kerja di
tengah tingginya angka pengangguran.
Sudah saatnya pemahaman mengenai alih daya diluruskan.
Negara lain, seperti India dan China, menikmati lezatnya kue business process
outsourcing dari mancanegara. Bahkan, di Filipina, alih daya menempati
peringkat pertama pemberi kesempatan kerja dibanding unit pekerjaan lainnya.
Indonesia baru menjalankan usaha alih daya dalam skala amat kecil, padahal kesempatan
terbuka luas untuk mendapat pekerjaan dari luar negeri.
Kuncinya, para pejabat pemerintah, pengurus Kadin, dunia
usaha, dan para duta besar kita serempak mencari pekerjaan untuk dilaksanakan
di Indonesia. Pekerjaan seperti teknologi informasi, animasi film, input data,
atau proses administrasi dapat dilakukan di Indonesia.
Lindungi Hak Pekerja
Tuntutan agar hak-hak pekerja alih daya dilindungi sangat
wajar dan harus didukung penuh. Memang benar pelaksanaan alih daya di Indonesia
banyak yang salah kaprah karena peran pemerintah dalam mengawal pelaksanaan
alih daya masih lemah. Jumlah tenaga kerja yang melimpah tidak sebanding dengan
pekerjaan yang ada, ditambah dengan kurangnya tenaga kerja yang kompeten
sehingga posisi tawar pekerja rendah.
Hal ini diperparah mental pengusaha yang mau enaknya
saja, hanya mau memakai tenaga pekerja tanpa memperhitungkan kesejahteraannya.
Oleh sebab itu, menjadi tujuan kita bersama, termasuk peran pengusaha untuk
menghapus praktik pelaksanaan alih daya yang tidak benar.
Putusan MK nomor 27/PUU/ IX/2011 yang bertujuan
memperjelas perlindungan tenaga kerja alih daya malah memperkeruh suasana.
Putusan ini harus ditindaklanjuti dengan pengaturan di lapangan agar jelas
siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan bekerja pekerja
tersebut.
Apakah kelangsungan bekerja tidak dikaitkan dengan
lamanya masa kerja yang berdampak terhadap hak mendapatkan pesangon jika
terjadi PHK? Sangat disayangkan Putusan MK menyamaratakan semua kasus dan
menjadikan kasus pencatat meter sebagai rujukan pelaksanaan alih daya semua
pihak. Padahal, pelaksanaan alih daya yang baik dan taat hukum masih banyak.
Putusan MK —yang bertujuan menghapus praktik alih daya
yang salah— ini tidak tepat sasaran, sebab banyak perusahaan alih daya abal-abal
yang tidak berbadan hukum, tidak mempunyai alamat jelas, bahkan tidak ada
perjanjian tertulis. Mereka masih bebas melakukan praktik alih daya yang salah.
Putusan MK yang tidak memperhatikan keterangan dari pihak
pengusaha ataupun asosiasi perusahaan alih daya agar fakta berimbang, dalam
pelaksanaannya akan memunculkan ketidakpastian hukum. Apa yang dimaksud dengan
jaminan kelangsungan bekerja? Apakah yang penting adalah terus-menerus bekerja
walaupun perusahaan pemenang tender berbeda tanpa memperhatikan masa kerja?
Jika ”ya” berarti adanya kepastian terhadap kelanjutan
bekerja, tetapi tidak ada kepastian terhadap pesangon dan siapa yang
membayarkan.
Dalam pelaksanaan alih daya yang baik dan benar
sebetulnya tidak akan dimungkinkan praktik pemotongan gaji, bekerja tanpa
perlindungan Jamsostek, upah di bawah UMR, atau bekerja terus- menerus tanpa
kontrak kerja tertulis. Namun, pelaksanaan alih daya sesuai peraturan harus
diawasi secara ketat melalui mekanisme evaluasi dan audit yang sudah diatur
jelas dalam Service Level Agreement.
Pelaksanaan alih daya harus meningkatkan peran pemerintah
dalam pengawasan dan berdasarkan standar regulasi di tingkat pusat dan daerah.
Diperlukan pengawas yang mempunyai sertifikat kompetensi.
Sudah menjadi rahasia umum, petugas negara yang menangani
ketenagakerjaan banyak yang berasal latar belakang agama, pariwisata, atau
perdagangan. Masa kerja mereka di dinas tenaga kerja pemerintah daerah juga
pendek karena terkait jabatan bupati atau gubernur. Hal ini membuat pengawasan
di lapangan menjadi tidak efektif.
Tindak Tegas
Pemerintah harus menindak tegas praktik yang
mengatasnamakan alih daya dalam bentuk premanisme atau dilakukan tanpa memakai
perusahaan yang berbadan hukum. Peran Tripartit Nasional dapat dilibatkan untuk
menjadi ujung tombak menyelesaikan masalah.
Rencana pemerintah membatasi pelaksanaan alih daya hanya
pada 5 area: usaha pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja buruh,
tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh adalah hal yang contra productive.
Bagaimana membatasi pekerjaan yang dapat diserahkan
kepada pihak ketiga hanya di lima area. Jika alih daya dibatasi, semua kegiatan
dari hulu ke hilir harus dilakukan semua oleh perusahaan besar. Hal ini menutup
kesempatan perusahaan kecil ambil bagian dalam melaksanakan sebagian pekerjaan.
Padahal, alih daya mendorong semangat kewirausahaan dan berkembangnya
perusahaan lokal.
Jangan dilupakan nasib ribuan perusahaan alih daya yang mempekerjakan
jutaan orang. Kebanyakan mereka adalah perusahaan kecil menengah yang kalau
ditutup akan menimbulkan persoalan baru lagi. Domain pemerintah adalah mengatur
dan melindungi hak-hak pekerja yang berkaitan dengan tenaga kerja, seperti
upah, jam kerja, dan jaminan sosial, bukan mengatur ”core dan noncore”.
Domain Pengusaha
Pengusaha bersama dengan industrinya (seperti bank) yang
menentukan core dan noncore dengan membuat alur proses produksi dan skema
hubungan kerja sama yang melindungi hak pekerja. Hal ini akan menciptakan suatu
standar aturan main yang tegas sehingga pelaksanaan alih daya lebih mudah
diawasi. Dengan demikian, perusahaan alih daya dapat berbenah diri, taat hukum,
dan meningkatkan kompetensi pekerjanya.
Rencana penerapan izin bagi penentuan core dan noncore di
pemerintah daerah sebaiknya tetap di bawah Kemenakertrans, mengingat
sosialisasi dan pengawasan sudah berjalan. Yang perlu dicermati jangan sampai
ini memperpanjang mata rantai birokrasi dan rentan berbagai pungutan liar di daerah.
Pelaksanaan alih daya juga harus berkesinambungan karena
kita sudah masuk kancah global. Pemerintah harus dapat memastikan bahwa semua
regulasi dapat diimplementasikan, bukan menimbulkan polemik di lapangan,
apalagi mengadu domba pekerja dengan pengusaha demi kepentingan sesaat.
Tanpa itu semua, akan banyak pengusaha yang enggan
menggunakan tenaga kerja. Mereka akan memilih usaha trading atau perdagangan
atau melakukan mekanisasi. Jelas ini akan merugikan bangsa, terutama generasi
muda kita.
Sekali lagi, pelaksanaan alih daya bukan untuk mencari
upah murah, melainkan agar fokus pada bisnis inti dan menyerahkan sebagian
pekerjaan pada pihak ketiga yang lebih kompeten.
Dengan fokus pada bisnis inti produktivitas meningkat dan
dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan. Begitu juga dengan perusahaan alih
daya, mereka menjadi mitra usaha berdasarkan kompetensi dan produktivitas,
bukan upah murah.
Iuran pesangon dirumuskan oleh badan independen agar
dapat memenuhi hak pekerja jika tidak dapat melanjutkan hubungan kerja.
Sumber: Kompas, 11 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!