Pengajar Unika Atma
Jaya Jakarta
KLEPTOMANIA adalah
kelainan jiwa yang menyebabkan seseorang suka mengambil milik orang lain atau
keinginan mencuri yang tidak dapat ditahan-tahan. Kleptomania adalah penyakit
psiko-somatik yang bisa menjangkiti kita semua. Jika kita konversikan dalam
bidang politik, ekonomi dan lain sekarang, ia tampak sebagai perilaku yang haus
kekuasaan (power syndrome) di satu sisi, dan di sisi lain perilaku hedonisme
yang memandang kekuasaan politik dan ekonomi sebagai objek kenikmatan belaka.
Saat ini bangsa
kita seperti tengah mengidap kleptomania ini. Sebut saja perilaku korupsi yang
makin menggila, kekerasan bahkan dengan senjata, perkelahian sampai
pembunuhan, pelecehan seksual bahkan gratifikasi seks, yang langsung atau tidak
pasti berhubungan dengan uang.
Seperti epilepsi,
kleptomania terkuak dalam skandal sosial seperti bailout Bank Century, pajak
Gayus Tambunan, korupsi pembangunan wisma atlet Palembang, sport center
Hambalang, dan terakhir skandal impor daging sapi. Kleptomania menyerang pegiat
politik dan ekonomi yang senang instan agar cepat meraih posisi dan keuntungan
finansial.
Abaikan Proses
Meminjam pemikiran
filsafat proses dari filsuf Amerika Alfred North Whitehead (Process and
Reality, 1978) bahwa semua hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan tindakan manusia,
khususnya politik dan birokrasi berkembang dinamis sebagai process (proses) dan
tidak semata sebagai goal (tujuan).
Melalui proses itu,
segala hal di atas bergerak untuk becoming (menjadi). Semua hal dalam dinamika
proses itu menjadi objectivation yakni transisi dari fakta alamiah menjadi
fakta baru secara makroskopis. Dengan kata lain, dinamika makroskopis itu
beralih dari fakta lama menjadi fakta baru melalui langkah-langkah seperti
asimilasi, harmonisasi, saling belajar, pertentangan bahkan benturan. Proses
butuh waktu dan bagi manusia butuh kesadaran eksistensial.
Kesadaran itu
mengharuskan kita mencangkokkan pemikiran filsafat proses ke dalam perilaku
politik dan ekonomi seperti kaderisasi, pembinaan organisasi, penegakan disiplin,
dan lainnya. ermasuk pula menjadi konten tugas legislasi yakni
perundang-undangan sebagai panduan nor matif hidup membangsa dan menegara.
Selama ini
rancang-bangun perilaku dan sistem dalam politik kita terlalu mengutamakan
pencapaian tujuan yakni memperoleh kekuasaan secara konstitusional. Energi kita
terkuras untuk menjadi partai pemenang dan penguasa (itu memang tujuan
organisasi politik), namun harus seimbang dengan proses internalisasi nilai dan
kelembagaan.
Jika tujuan
diutamakan, ketika kita dilanda prahara politik seperti dialami Partai Demokrat
dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekarang, selain partai pecah berantakan
karena hanya menjadi ajang saling menyalahkan, kita juga semakin kehilangan
humanisme ideologis. Yakni kehilangan militansi kebangsaan dan patriotisme yang
jujur, elan perjuangan kebangsaan runtuh.
Hal itu berlawanan
dengan teladan para bapak bangsa kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir,
Tan Malaka dan lainnya, yang sekalipun terus dikalahkan, direndahkan,
dipenjarakan bahkan dibuang ke berbagai daerah, mereka justru semakin teguh
dalam cita-cita dan revolusi kebangsaan. Seharusnya kompetisi politik tidak
berhenti pada soal menangkalah, tetapi pelaksanaan nilai-nilai kebangsaan dalam
bentuk kebijakan publik.
Karena itu, yang
menang harus didukung sebaliknya yang kalah dihargai dan dirangkul. Perilaku itu harus
lahir dari mindset dan political awareness, semacam `gravitasi politik' dengan
metode RAR (refleksi-aksi-refleksi). Banyak politikus mengharamkan refleksi
filsafat politik dan membarui konstruksi berpikir untuk menyeimbangkan perilaku
ideologis dan pragmatis berbasis nilai, untuk menjadi `politik hati nurani' (YB
Mangunwijaya, 1997).
Politik dan
birokrasi kita berada dalam kerangkeng karena hanya mengabdi pada `tujuan'yang
melahir kan perilaku `sindrom kekuasaan' sebagai politisi yang sakit seperti
digam barkan psikolog politik Indonesia Hamdi Muluk (Mozaik Psikologi Politik
Indonesia, 2010).
Bagi politisi
sakit, kekuasaan adalah prestise. Padahal itu seharusnya instrumen untuk
berbakti bagi bangsa dan negara. Akibat nya, politik (suara rakyat) harus
dibeli dengan uang, 'selingkuh' dengan dunia usaha, mengumbar janji muluk,
menjual kebohongan dan penipuan sebagai `barter' kursi di DPR/DPRD.
Itulah penghinaan
kita terhadap `proses' karena mengutamakan `tujuan' untuk kekuasaan. Birokrat
menggunakan kroninya melalui sistem eselonering yang sengaja didongkrak untuk
menduduki jabatan strategis semisal menteri, terpilih jadi gubernur, bupati dan
wali kota.
Sebagian besar
simpati rakyat diraih bukan atas dasar trust (kepercayaan), tetapi atas dasar
`transaksi' yakni penggelontoran dana politik yang amat besar, yang tidak
diketahui asal-usulnya. Lalu bagaimana?
Cangkokkan Keadilan
Untuk meredam
hasrat mengutamakan `tujuan' dan mengabaikan `proses', kita wajib menggugat
pelaksanaan keadilan distributif dalam `pasar politik' kita. Sebab, perilaku
pasar politik dalam proportional representation system (sistem perwakilan
berimbang) dengan varian daftar terbuka (open list), sangat potensial
menguntungkan yang kaya dan mengabaikan kualitas dan kemurnian perjuangan
politisi jujur.
Pertama, pengabaian
itu datang dari spirit keadilan. Sikap yang adil pasti tidak menggantungkan
trust publik pada uang, tetapi kepribadian dan pengabdian sekalipun uang tetap
penting. Spirit keadilan dalam konteks ini harus mengadopsi dua prinsip dasar
keadilan sebagaimana diungkap John Rawls dalam A Theory of Justice (Rawls,
1995). Rawls menunjuk perinsip `hak yang sama' atas dasar kebebasan dan
`distribusi sosial' adil untuk mengurai ketimpangan sosial yang melahirkan
kemiskinan struktural.
Kedua prinsip
keadilan itu berhubungan secara resiprokal, karena penyaluran hak secara bebas
akan berdampak pada keadilan distributif untuk peningkatan kesejahteraan.
Kebebasan dasar warga negara adalah kebebasan dan hak politik (political
right), sebagai hak berpartisipasi dalam pemilihan umum. Keadilan akibat
partisipasi politik itu harus memberi dampak (impact) pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan harus
lahir dari keadilan distributif. Bukan sebagai kebaikan hati pemerintah atau
politisi melainkan hak konstitusional warga negara sebagai manfaat (benefit)
dari pelaksanaan hak berpartisipasi dalam politik.
Ciri distribusi itu
menurut Rawls tidak harus dalam waktu dan jumlah yang sama, tetapi secara
proporsional yakni pelaksanaan keadilan atas dasar jasa, kebutuhan, dan kemen
desakan rakyat. Keadilan dalam politik kita haruslah atas dasar ideologi negara
Pancasila.
Politik Solidaritas
Kedua, spirit
solidaritas. Salah satu dasar perwujudan Pancasila dalam politik Indonesia
ialah solidaritas. Jiwa solidaritas harus ditanamkan sejak dini dalam keluarga,
menjadi kurikulum pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dan menjadi
kurikulum kaderisasi politik. Solidaritas adalah sikap empatik untuk merasakan
dan mengalami penderitaan dan pengorbanan banyak orang, terutama yang lemah.
Politik solidaritas
melahirkan keadilan distributif, sebagai `proses' sekaligus `tujuan' dari hak
politik sebagaimana diungkap Rawls. Politik solidaritas nyata dalam
keberpihakan partai kepada kaum lemah menjadi tipe kemimpinan yang mendahulukan
pelayanan bagi kaum miskin (preferensial of the poor).
Kepemimpinan yang
ditunjukkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menjadi salah satu contoh tipe
kepemimpinan seperti ini, agar politisi dan birokrat mampu mengobati
kleptomania dan mewujudkan keadilan. Tepatlah pernyataan William Godwin,
“Justice is the sum of all moral duty“, keadilan merupakan ringkasan segala
tugas moral (khusus politik dan birokrasi).
Sumber: Media Indonesia,
15 Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!