Dosen Fikom Universitas Islam
Bandung
Ketika seorang politikus
mengambil keputusan, lazimnya orang akan patuh dan mengangguk-angguk. Sebab,
seorang politikus ialah orang yang sudah masuk-lebur ke dalam dunia politik.
Artinya, ia sudah masuk golongan yang teramat ahli dalam dunia politik. Saking
leburnya ke dalam politik, ia pun sudah ditahbiskan menjadi sesosok figur
politik. Maka itulah, kehebatannya, antara lain, diukur pada tiap kata yang
keluar dari mulutnya, disertai cara ia mendelik dan memainkan telunjuk: saat
omongannya disetel di ruang publik.
Tiap delikannya bukan hanya
bikin orang waswas di sekujur khalayak lawan politiknya, melainkan bikin
waspada banyak pihak pada kepentingan sebangsa-setanah air. Dan jika ia
menunjuk, maka yang ditunjuknya tentu bukan pohon sengon di depan rumah, tapi
pada wujud masalah dan orang yang dinilainya bisa merusak hajat orang
sebangsa-setanah air.
Dari ukuran macam itulah,
omongan politikus harus punya gema yang panjang. Meski panjang-pendeknya itu
relatif, minimal, ada ukuran yang tidak sekadar panjang-kali-lebar di rumah
politiknya sendiri. Juga, bukan hanya soal keputusan yang dianggap angin
sepoi-sepoi yang bikin kantuk belaka. Tapi, menyangkut omongan politikus yang
punya aura pada segenap orang di sekitarnya, khususnya, para pengikutnya, para
penganutnya, di banyak jajaran dan domain kekuasaannya.
Sebab, secara kultural,
omongan politikus itu sifatnya politis. Omongannya terkait berbagai isu, momen,
dan tentu saja ke urusan berbagai publik. Di sini tergabung antara urusan
retorika dan urusan kepentingan publik. Seperti dikatakan Ryfe (2005), omongan
pemimpin itu biasanya dilabeli dengan urusan publik dan retorika. Publik
berarti orang-orang yang melulu ingin mendengar politikusnya tidak mabuk pada
urusan sendiri. Mereka tak betah jika politikus kesukaannya hanya tergerak pada
kepentingan pendek, dangkal, dan saling gebuk. Publik politikus ialah
orang-orang yang cerdas dalam mencium omongan setengah benar setengah `janji
palsu'.
Retorika politikus, dengan
demikian, terkait dengan hajat hidup sehari-hari publik. Retorikanya punya gema
yang panjang, bersahutan sampai ke banyak wilayah. Termasuk wilayah kebangsaan.
Maka itulah, retorika kebangsaan sangat diingat rakyat dari berbagai politikus
yang punya omongan menyentuh kehidupan bangsa dengan sebenar-benarnya.
Tapi, politikus yang sudah
terkorupsi hajat kepentingan sendiri, biasanya hanya akan menjadi pajangan buku
parlementaria dari masa ke masa. Namanya hanya menempel dalam cetakan buku
proyek, bukan ingatan rakyat sepanjang masa. Ketika media massa menghadirkannya,
itu pun sebatas periode kehadirannya di jajaran kepemimpinan, atau sebatas
jatah masa duduk politisnya di parlemen, dan seterusnya. Ini gara-gara retorika
politis bernuansa tidak menyambung dengan publik. Terkorupsi oleh teknik
memanjang-manjangkan leher, dengan urat menonjol sampai jidat, yang dianjurkan
konsultan atau teman sejawat. Omongannya sebatas cara berkomunikasi
(retorika) politis.
Semua unsur pesannya dirancang
seinformatif mungkin. Gaya penyajiannya sudah diatur sepersuasif mungkin. Tiap
pesannya dirinci hingga titik-koma atau mimik wajah atau gerak tubuh dari ujung
rambut sampai jempol kaki. Tapi, daya rengkuhnya tidak sampai kepada
kepentingan dan kebutuhan publiknya sendiri. Publik hanya tahu dan terlibat
sebatas kepentingan dan kebutuhan si politikus. Dan Nimmo (2005) mengatakan,
gagalnya para komunikator politik ialah karena mereka tak punya daya pengaruh
pada khalayak publiknya.
Pengaruh ini harus disadari.
Politikus yang baik sadar betul mana omongan yang memakai `teks' kepentingan
rakyat, mana omongan yang memakai setelan media. Mana omongan dari hati nurani
yang paling dalam, mana omongan pesanan kekuasaan. Dan, kalau sudah dinilai
kelewat gombal, maka jangan harap kesetiaan masih berpihak. Psikologis
kesetiaan publik pengikutnya sudah dikorupsi oleh kepentingan si politikus itu
sendiri.
Kalau sudah begini, berbagai
imbauan `kampanye' pun akan menjadi basi. Imbauan untuk mendukung gagasan
politikus dianggap tak layak dapat tempat. Suara publik pengikutnya mulai
berpindah chanel. Suara mereka mencari saluran yang lebih afdal mengabarkan
iklim politik yang sebenar-benarnya.
Mereka mencari kabar harga
kursi politik yang sesuai anggaran belanja pendapatan politikus. Mereka
mengikuti kabar kemacetan politik yang bisa bikin mereka terjebak, tak bisa
maju tak mungkin mundur. Mereka tentu tidak mau terjebak banjir masalah bikinan
si politikus.
Para pengikutnya mulai arif
memerankan posisi `diam itu emas', atau penggembos tak kelihatan, karena
dianggap lebih rasional seperti dianjurkan demokrasi. Perilaku politik para
pengikutnya mulai menyosialisasikan diri ke ruang kelas yang dipimpin kepala
sekolah politik yang baru. Para pengikutnya pun mulai mengincar tempat duduk
yang tengah dirancang setelan dan modelnya oleh calon pemimpin yang baru.
Sumber: Republika, 20 Februari
2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!