Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
PADA 2009 atau
2010, ketika Wali Kota New York berencana mendirikan Pusat Islam (Islamic
Center) di bekas tempat Menara Kembar (Twin Tower) yang hancur dalam peristiwa
11 September 2011 (biasa disebut: Ground Zero), banyak orang Amerika yang
protes.
Mereka tidak ikhlas
bahwa Ground Zero Mosque didirikan pas di tempat teroris muslim melakukan
aksinya. Itu sama juga menghormati teroris dan melupakan ribuan korban tak
berdosa akibat kapal terbang yang ditabrakkan dengan sengaja ke gedung-gedung
pencakar langit itu. Untunglah mayoritas orang Amerika bersikap biasa-biasa
saja dan tidak mempermasalahkan Masjid Ground Zero tersebut.
Maka akhirnya Pusat
Islam (bukan masjid) itu pun diresmikan pada tahun 2011 dan diberi nama Park51
(sesuai dengan nama jalan dan nomor jalan yang bersangkutan). Dalam Pusat Islam
yang terletak dua blok dari Ground Zero (jadi tidak pas di atas Ground Zero)
itu ada fasilitas masjid yang bisa menampung seribuan jamaah (atau mungkin
lebih, saya sendiri belum pernah ke sana) serta pusat studi dan budaya Islam,
tetapi di situ juga ada kolam renang, ruang gym, restoran, serta pertokoan.
Jadi Park51 memang bukan masjid.
Namun, awalnya memang
bangunan pencakar langit itu mau diberi nama Cordoba House sebagai pengingat
masa antara abad kedelapan hingga ke-11 SM di Provinsi Cordoba (Spanyol) di
mana pada waktu itu umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan secara
damai. Tapi nama Cordoba masih dianggap sensitif karena masih berbau-bau agama.
Karena itu dipilih nama Park51 yang dianggap netral.
Namun yang
menjadikan peristiwa Ground Zero Mosque ini menarik adalah bahwa orang
(Amerika) marah, tidak setuju, protes ketika akan didirikan sebuah masjid di
Ground Zero. Salah satu poster yang diacung-acungkan berbunyi, “Kalian boleh
membangun masjid di Ground Zero kalau kami sudah bisa mendirikan sinagog
(“masjid” orang Yahudi) di Mekkah.” Suatu ekspresi yang sangat dipenuhi
prasangka.
Padahal, kata umat
Islam, masjid adalah rumah Tuhan, sementara orang Yahudi menyebut sinagog juga
sebagai rumah Tuhan. Di Indonesia banyak terjadi kasus pelarangan pendirian
gereja atau pelarangan penggunaan gereja untuk tempat ibadah karena lingkungan
tempat itu adalah lingkungan muslim.
Padahal gereja juga
rumah Tuhan buat kaum Nasrani. Kan aneh kalau para umat itu saling melarang
membuat rumah Tuhan seolah-olah setiap agama punya Tuhan sendiri: TI (Tuhannya
Islam), TY (Tuhannya Yahudi), dan TK (Tuhannya orang Kristen). Padahal kita
semua percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, yang berlaku untuk semua. Loh,
bagaimana ini? Tuhan itu satu apa banyak?
Kalau satu, mengapa
rumahnya bermacam-macam dan tiap umat saling melarang membuat rumah Tuhan orang
lain di wilayah tempat tinggal masing-masing? Inilah yang namanya paradoks.
Tapi kalau Tuhan itu banyak, bukankah kita percaya pada sila pertama dari
Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Founding fathers Republik
Indonesia, sebelum Proklamasi dipidatokan pada 17 Agustus 1945, telah sepakat
bahwa sila pertama dari Pancasila, dasar negara Indonesia, haruslah berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mereka yakin benar
bahwa kalau salah memilih dasar negara yang pertama, tidak akan terjadi
persatuan dan kesatuan Indonesia. Bayangkan jika sila pertama itu berbunyi
“Tiada Tuhan selain Allah”, sudah pasti semua yang menamai Tuhannya dengan
istilah lain selain Allah akan protes dan sudah sejak 1945 negara ini pecah
jadi beberapa negara kecil, yaitu Negara Islam Indonesia (NII), Kristen,
Katolik, Hindu, dan Buddha. Kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” memang sengaja
dipilih karena Tuhan adalah istilah generik untuk semua.
Dengan demikian
semua pihak bisa menerima kata Tuhan. Termasuk penganut Buddha yang tidak punya
konsep Tuhan seperti yang diyakini umat agama Barat (Yahudi, Kristen, dan
Islam). Tapi ketika masuk ke dalam jalur praktik seharihari, di sinilah timbul
masalah.
Pada sekitar tahun
1985, saya pernah mengikuti sebuah kongres internasional psikologi yang
diselenggarakan sebuah universitas Katolik di San Fransisco. Karena namanya
juga universitas Katolik, saya membayangkan agak sulit mencari tempat salat di
kampus itu. Tapi saya lihat ada mahasiswa-mahasiswa yang berseliweran
yangbertampang Timur Tengah. Maka saya sapa mereka dan memang mereka mahasiswa
dari sana.
Ada yang dari
Mesir, Suriah, dan Qatar atau Bahrain (saya lupa persisnya). Kemudian saya
tanya,di mana tempatnya kalau mau salat dan mereka menunjuk ke sebuah gereja
besar yang terletak di depan kampus. Maka saya pun menuju ke gereja itu, yang
dari luar tampak seperti gereja-gereja lain di seluruh dunia.
Tapi di lantai
dasar (lantai satu) ada petunjuk bertuliskan “mosque” dan saya mengikuti
petunjuk serta masuk ke suatu ruangan luas yang sudah dipermak menjadi masjid,
persis seperti masjid-masjid lain di seluruh dunia. Karpet digelar untuk salat,
ada mimbar, rak-rak buku berisi Alquran dan tempat wudu.
Ada beberapa
mahasiswa Timur Tengah di sana yang juga selesai salat zuhur, maka kami pun
ngobrol basa-basi. Inilah barangkali yang disebut “rumah Tuhan” yang
sesungguhnya di mana Tuhan membolehkan siapa saja untuk mengunjungi rumahnya.
Di kesempatan lain, saya pernah diundang berceramah di rumah Tuhan yang lain,
di sebuah gereja HKBP dan di sebuah Wihara Buddha Niciren.
Dalam dua
kesempatan itu hadirin menjalani ritual keagamaan mereka dan saya dipersilakan
duduk dulu sambil menyaksikan mereka berdoa. Di kesempatan lain lagi, salah
seorang teman yang Katolik meminta saya menemaninya bermain saksofon di
gerejanya dalam suatu perayaan Paskah. Maka kami memainkan sebuah lagu sesudah
pastor selesai berkhotbah. Sebelum dan sesudahnya saya duduk manis saja.
Pengalaman-pengalaman
berinteraksi dengan umat agama lain membuat saya percaya bahwa tempat ibadah
adalah rumah Tuhan dalam arti sebenarnya, yaitu Tuhan seluruh manusia, makhluk,
dan seisi alam semesta. Karena itu saya bermimpi bahwa masjid pun bisa menjadi rumah
Tuhan untuk siapa saja. Kalau gerejanya Paus di Roma bisa dikunjungi turis
kapan saja, dari agama campursari yang mana saja, mengapa masjid-masjid tidak
bisa?
Presiden Obama dan
istrinya ketika sedang di Jakarta pernah mengunjungi Masjid Istiqlal. Bisakah
masjid-masjid lain seperti itu? Sayang sekali saya punya kesan bahwa
masjid-masjid di Indonesia belum seterbuka itu. Di kampus-kampus, beberapa
musala dikuasai perkumpulan-perkumpulan mahasiswa muslim tertentu. Hanya
teman-teman sendiri yang selalu ngumpul-ngumpul di situ.
Mahasiswa lain
enggan untuk masuk karena pernah seorang mahasiswa hendak salat, tetapi disuruh
keluar oleh mahasiswa penguasa musala lantaran ruang musala itu akan digunakan
untuk rapat mereka. Di masjid lain, kalau ada orang asing, yang tidak
tahu-menahu asalnya dari mana, kemudian salat di situ, sesudah orang itu pergi,
bekas tempat salatnya dibersihkan supaya steril dari dosa-dosa, katanya.
Jadi, Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam praktiknya sulit ditegakkan. Perang dan kerusuhan
antaragama sudah teramat sering terjadi di negara-bangsa yang konon dulu di
zaman Belanda sangat ramah-tamah. Kalau kita tidak bisa bersatu pendapat dalam
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bagaimana bangsa ini diajak untuk bersatu dalam
hal Persatuan Indonesia?
Sumber: Seputar
Indonesia, 24 Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!