Oleh Paul Budi SVD
Rohaniwan Katolik,
Berkarya di Roma
Para kardinal memutuskan
memilih seorang kardinal yang tidak banyak tampil, kendati pernah disebut-sebut
sebagai salah satu calon delapan tahun lalu, dalam konklaf yang akhirnya
memilih Joseph Ratzinger sebagai paus.
Georg (Jorge)
Bergoglio memang bukan orang media. Dia lebih banyak tampil dalam kesederhanaan
tanpa banyak peliputan. Kendati demikian, dia membuat langkah-langkah yang
berani untuk mendekatkan gereja dengan orang-orang miskin dan terpinggirkan.
Keprihatinan
utamanya ialah jurang yang kian melebar antara yang kaya dan miskin, yang
sangat nyata bukan hanya di Argentina dan negara-negara lain di Amerika Latin,
melainkan juga kini menjadi realitas yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara.
Baginya, option for
the poor bukan cuma slogan yang perlu didengungkan dalam wejangan dalam ibadat
atau renungan saleh untuk para pejabat agama. Keberpihakan gereja terhadap kaum
miskin pun tidak disampaikan sebagai janji yang menghibur para miskin.
Georg Bergoglio
mengambil langkah konkret untuk opsi itu. Saat menjadi Uskup Buenos Aires,
Argentina, dia memutuskan untuk meninggalkan istana mewah yang telah disiapkan
sebagai tempat tinggal uskup dan memilih tinggal di sebuah apartemen sederhana.
Jika bepergian,
selama memungkinkan, dia menggunakan kendaraan umum. Sang kardinal pun lebih
merasa nyaman disebut sebagai padre (bapa) Georg daripada dengan sapaan
monsignore (tuanku).
Kesederhanaan
seperti itu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Sejak kecil dia sudah
mengalaminya. Dia dilahirkan sebagai salah seorang dari tujuh anak sebuah
pasangan imigran Italia. Ayahnya ialah seorang karyawan kereta api, ibunya
mengurus rumah tangga. Dia dilahirkan 17 Desember 1936.
Tidak ada kemewahan
di rumah. Keluarganya tidak termasuk dalam lingkaran keluarga turunan Eropa
pemilik lahan kaya di Argentina. Cita-citanya ketika masih remaja ialah menjadi
ahli kimia. Maka, setelah tamat SMA, dia pun melanjutkan studinya dalam bidang
kimia dan menjadi insinyur kimia. Karena itu, dia dekat dan mengenal baik suka
duka para mahasiswa yang harus berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi
umum.
Namun kemudian, dia
memutuskan untuk bergabung dengan para Yesuit. Pendidikan dasarnya sebagai
Yesuit dibuatnya di Cile. Di sana dia pun belajar psikologi dan sastra. Setelah
kembali dari Cile, dia mengajar psikologi dan d sastra di Santa Fe dan Buenos s
Aires. Studi teologi ditempuhnya pada 1967 sampai 1970.
Paham kepahitan umat
Georg Bergoglio
yang ketika masih muda suka menari dan menjadi penggemar bola kaki ini
ditahbiskan imam pada 1969. Setelah itu, dia diberi kepercayaan baik sebagai
pengajar di seminari maupun sebagai pastor paroki. Dengan itu, dia memiliki
pengalaman yang luas, yang amat diperlukan untuk menjadi pemimpin dalam gereja.
Seorang pemimpin
perlu mengetahui dan berpengalaman dalam pendidikan para calon pastor. Akan
tetapi, dia sejatinya akrab pula dengan kehidupan, kegembiraan dan harapan,
kecemasan dan kepahitan yang dihadapi jemaat. Dengan latar belakang seperti
itu, dia mulai diberi tugas kepemimpinan.
Mula-mula dalam
serikat Yesuit, kemudian dalam hierarki gereja. Pada 1992 dia diangkat menjadi
uskup pembantu di Auca Buenos Aires. Enam tahun kemudian, pada 1998 dia
ditetapkan Paus Yohanes Paulus II menjadi Uskup Agung Buenos Aires, dan menjadi
kardinal pada 2001. Ia juga pernah menjabat Ketua Konferensi Para Uskup
Argentina (20052011). Di Vatikan dia antara lain menjadi salah satu anggota
dewan kepausan untuk keluarga dan komisi kepausan untuk Amerika Latin.
Apakah latar
belakang seperti itu merupakan sesuatu yang demikian istimewa sehingga pilihan
para kardinal jatuh kepadanya, menyisihkan nama-nama yang santer terdengar dan
tertulis di media massa? Boleh jadi yang menjadi pertimbangan utama para
kardinal ialah apa yang mereka diskusikan sebagai tantangan utama gereja dewasa
ini: evangelisasi baru.
Maksudnya,
bagaimana mewartakan kembali pesan inti kekristenan kepada orang-orang yang
pernah dibaptis, tetapi kemudian menjadi adem-adem dengan keyakinannya. Itulah
realitas yang di hadapi gereja dewasa ini.
Secara kuantitas
jumlah orang Katolik mencapai 1,2 miliar di seluruh dunia. Namun, sebagian
besar dari mereka tidak lagi menghayati kekristenan secara sungguh-sungguh.
Apa yang dapat
ditawarkan Paus Fransiskus I untuk program besar evangelisasi baru? Boleh jadi
bukan dengan penampilan yang memukau di publik dan media massa seperti Yohanes
Paulus II. Bukan pula dengan refleksi-refleksi mendalam sebagaimana dibuat
Benediktus XVI.
Kesederhanaan dalam
penampilan, sikap dan kata, serta keberpihakan yang jelas kepada orang-orang
miskin dan tersisih, itulah semangat evangelisasi baru yang dibawa paus baru
ini.
Seperti yang pernah
dikatakannya, gereja telah mempunyai ajaran yang bagus. Sekarang bagaimana
mempraktikkannya, dan praktik itulah yang menjadi daya gugah bagi orang-orang
dewasa ini. Manusia modern tidak terutama merasa tertarik pada ajaran, tetapi
pada kesaksian hidup yang sepadan dengan apa yang diajarkan.
Jika satu agama
menyatakan diri sebagai agama kasih, karya-karya kasih mesti menjadi
kekhasannya dalam praksis.
Bila satu agama
menyerukan damai, dia mesti memelihara damai dan tidak menjadi penyulut
kebencian dan kekerasan. Semangat dan sikap dasar itu tampak dalam nama yang
dipilihnya, Fransiskus I. Paus pertama dari ordo Yesuit ini menggunakan sebuah
nama yang sangat populer di kalangan orang-orang Kristen dan masyarakat luas.
Fransiskus dari
Asisi ialah seorang tokoh pembaru gereja. Menurut cerita, dalam sebuah
penglihatan di Asisi, Fransiskus mendapat pesan dari Kristus untuk memulihkan
gereja yang sedang terancam kehancuran. Langkah untuk itu ialah kesederhanaan
dan semangat kedermawanan. Fransiskus yang karena kesederhanaan yang radikal
dapat menarik banyak kaum muda pada masanya, dan tetap menjadi idola
orang-orang muda hingga sekarang.
Untuk menghadapi
situasi gereja dewasa ini yang sedang menghadapi krisis kepercayaan karena
terungkapnya berbagai skandal, tampaknya tidak ada contoh yang lebih tepat
daripada tokoh dari Asisi ini. Pembaruan melalui semangat kesederhanaan dan
kerendahan hati dalam bela rasa terhadap orang-orang yang miskin dan tersisih.
Gereja, dan agama
mana pun, yang menghidupi semangat sederhana dan rendah hati akan dengan jujur
mengakui kesalahannya di masa lalu dan mendengar anjuran yang disampaikan orang
lain. Agama seperti itu pun akan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan
kelompok-kelompok lain, sebab dalam kesederhanaan dia sadar akan keterbatasan
dirinya dan mengakui keharusan untuk berjejaring. Jika itu terjadi, gereja
Katolik bersama agama-agama lain sungguh memberikan kontribusi besar bagi
peningkatan mutu hidup umat manusia.
Sumber: Media
Indonesia, 15 Maret 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!