Direktur Riset Charta Politika
Indonesia
Beberapa bulan terakhir kita
terus disuguhi oleh riuhnya konstelasi politik internal yang terjadi di Partai
Demokrat. Keriuhan yang seharusnya cukup dirasakan oleh penghuni rumah besar
partai tersebut.
Tapi sayangnya, keriuhan ini juga
menimbulkan kebisingan yang memaksa hampir semua dari kita mendengarnya.
Keriuhan ini diharapkan bisa berakhir pasca-kongres luar biasa (KLB) yang
dilangsungkan di Bali oleh partai penguasa (ruling party) ini. Keriuhan ini
mungkin bisa dikatakan berakhir di tubuh internal partai yang secara aklamasi
memilih SBY tanpa hambatan apa pun. Akan tetapi dari sisi pendidikan politik,
keputusan ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai kemunduran proses evolusi
yang terjadi dalam sistem kepartaian kita.
Upaya untuk melakukan pembenaran
secara komparatif dilakukan oleh sebagian petinggi Partai Demokrat dengan
menyebut kondisi empiris di negara lain. Beberapa negara yang disebut di
antaranya Jepang, Thailand, Australia, Jerman, dan Inggris. Mereka mengatakan
bahwa di negara-negara tersebut, seorang kepala pemerintahan juga adalah
seorang ketua umum partai. Klaim pembenaran tersebut terasa menggelikan
manakala kita tempatkan dalam logika tata negara yang benar.
Semua negara yang disebutkan di
atas adalah negara yang menggunakan sistem parlementer, kepala pemerintahan
tidak memegang otoritas sebagai kepala negara. Sebuah perbandingan yang tentu
saja tidak bisa diletakkan dalam konstelasi politik di Indonesia yang menganut
sistem presidensial. Tentu saja pembelaan diri dari kritik adalah hak politik
dari siapa pun.
Akan tetapi menjadi sebuah
pendidikan politik yang tidak sehat manakala pembelaan diri ini menggunakan
sebuah logika politik yang menabrak pakem logika tata negara yang sehat,
apalagi ketika ini ditonton oleh jutaan masyarakat yang belum tentu memiliki
kepentingan apapun dengan kekisruhan internal partai tersebut.
Presiden dalam Sistem
Presidensial
Pembenaran yang menggunakan
argumentasi secara historis juga dimunculkan. Dikatakan bahwa budaya rangkap
jabatan ini bukan hanya terjadi pada masa SBY, melainkan juga oleh
pendahulunya. Kritik terhadap rangkap jabatan terhadap SBY dianggap sebagai
sesuatu yang bersifat politis dan berlebihan. Dijabarkanlah perbandingan dengan
menyebut beberapa nama presiden di masa lalu dalam kapasitasnya sebagai
petinggi partai.
Mereka menyebutkan contoh
Soeharto selaku pembina Partai Golkar, BJ Habibie selaku pembina Partai Golkar,
Abdurrahman Wahid selaku ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, Megawati
selaku ketua umum PDI Perjuangan, dan Jusuf Kalla selaku ketua umum Partai
Golkar. Perbandingan dengan gaya simplifikasi seperti ini tentu saja sangat
rentan kritik baik secara empiris ataupun secara sistemik.
Secara empiris, manakala
dimunculkan nama presiden di masa pra-reformasi. Dan secara sistemis, manakala
kita mengetahui bahwa keberadaan rangkap jabatan tersebut merupakan sebuah
anomali manakala coba kita bandingkan dengan negara presidensial lain.
Memasukkan nama Soeharto dalam sebuah pembenaran rangkap jabatan presiden dan
petinggi partai adalah sebuah kemunduran pola pikir yang berpotensi menyesatkan
arah demokrasi yang kita bangun.
Hampir semua pihak sepakat bahwa
keberadaan Soeharto sebagai presiden sekaligus ketua dewan pembina Golkar saat
itu, adalah bagian dari upaya pelestarian rezim yang tentu saja tidak mungkin
kita lestarikan di sistem demokrasi kita dewasa ini. Secara sistemis, dalam
sistem presidensial, presiden adalah satu-satunya pemegang kontrak sosial
dengan rakyat melalui pemilu yang bersifat langsung.
Sebagai individu, dia dipilih
bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, melainkan juga sebagai kepala negara.
Dengan kata lain, seketika terpilih, dia akan menjadi figur milik bangsa yang
seharusnya tidak boleh lagi terikat oleh kepentingan kelompok (termasuk partai)
tertentu (Ranadireksa, 2007).
Logika ini bermakna sama dengan
sebuah ungkapan legendaris presiden kedua Filipina, Manuel L Quelzon: “My
loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. Sebuah kalimat
yang memiliki sebuah makna mendalam dalam filosofi kepemimpinan dalam sistem
presidensial. Dengan logika tersebut, adalah hal tepat apabila kita mengkritik
seorang presiden yang mau menempatkan dirinya menjadi pemegang empat jabatan
strategis sekaligus di dalam partainya.
Kritik ini tidak hanya berkaitan
dengan pembagian waktu dalam konteks kepemimpinan secara manajerial, tetapi
lebih ditujukan pada posisi sakral seorang kepala negara yang harus melampaui
wilayah “politik” semata. Penegasan mengenai rangkap jabatan seorang presiden
pada akhirnya juga akan berpengaruh pada pemerintahan yang dia bangun.
Kelonggaran mengenai rangkap jabatan ini pada akhirnya juga akan merusak
karakter ‘Zaken Kabinet’ yang biasanya akan diganti oleh kabinet pelangi dengan
dominasi orang-orang partai di dalamnya.
Kelonggaran ini bahkan dipertegas
oleh hasil keputusan KLB Partai Demokrat yang memilih dua orang menteri sebagai
pemegang jabatan strategis untuk membantu tugas ketua umum. Sebuah keputusan
yang berbanding terbalik dengan kritik SBY kepada para menteri parpol pada
sidang kabinet 19 Juli 2012 kemarin.
Suka atau tidak, itulah kondisi
yang sedang terjadi di negara kita. Negara sistem presidensial dengan cita rasa
parlementer. Sebuah keadaan yang terus dilestarikan oleh undang-undang paket
politik yang kita miliki dan Undang- Undang Dasar yang selalu mengalami
hambatan dalam proses amendemennya.
Perbaikan Sistem vs Pelestarian
Kekuasaan
Berkaca pada kondisi di atas,
bisa disimpulkan bahwa masalah rangkap jabatan ini adalah turunan dari
permasalahan sistem yang memang sudah akut. Diperlukan sebuah perubahan sistem
yang bisa menerjemahkan makna dari demokrasi konsensus yang tepat dalam sebuah
transisi demokrasi. Bukan pembenaran terhadap anomali sistem pemerintahan
seperti yang sedang dijalankan.
Tidak mudah memang mewacanakan
perbaikan sistem secara holistis manakala keputusan ada di tangan para politisi
yang sudah terlalu sibuk dalam usaha pelestarian kekuasaannya. Termasuk ketika
kita sebetulnya berharap banyak mengenai hal ini pada sosok SBY yang memiliki
pengaruh besar selama hampir sepuluh tahun terakhir.
Beliau sepertinya memang sudah
terlalu sibuk dalam kesehariannya baik sebagai presiden, ketua setgab ataupun
petinggi partai. Petinggi partai yang bukan hanya hadir sebagai simbol,
melainkan juga berkewajiban menjaga kinerjanya baik sebagai ketua dewan
pembina, ketua dewan kehormatan, ketua majelis tinggi dan sekaligus ketua umum.
Sebuah kondisi yang menurut saya
terus menempatkan posisi Partai Demokrat sebagai sebuah fans club ketimbang
organisasi modern. Sebuah kenyataan yang patut disayangkan, mengingat fenomena
fans club ini biasanya akan melestarikan budaya feodal dan oligarkis dalam
perjalanannya.
Partai pada akhirnya hanya
terlihat sebagai sebuah kerumunan elit yang mengurus kepentingannya sendiri
(Katz dan Mair, 1995). Fakta empiris yang pada akhirnya hanya akan melahirkan
sebuah demokrasi yang bersifat elitis.
Sumber: Koran Sindo, 8 April
2013
Nice Info...
ReplyDelete