Alumnus Magister
Agama &
Filsafat UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
“Jihad dalam
pengertian perang tak bisa lagi diberlakukan di Indonesia karena realitas
empirik tak mensyaratkan”
PEMAHAMAN terhadap
terminologi jihad dewasa ini makin liar, dan ironi itu terjadi pada kalangan
muslim sendiri, termasuk di Indonesia. Mereka masih mengidentikkan jihad dengan
’’perang fisik’’ terhadap kelompok tertentu, seolah-olah sah menyakiti, bahkan
membunuh orang lain hanya lantaran berbeda pendapat dan keyakinan beragama.
Salah kaprah dalam
memahami terminologi jihad itu jelas memberi kesan dan stigma negatif terhadap
Islam, yang kemudian berubah makna sebagai agama yang identik dengan kekerasan.
Apakah muslim yang mengerahkan seluruh kemampuan atau tenaga dengan
bersungguh-sungguh berbuat kebaikan dan mengharap rida-Nya, lantas dikatakan
berjihad dalam pengertian perang?
Pengertian jihad
tidak semestinya dipahami secara sempit tetapi harus senantiasa dikembangkan
secara luas, yaitu tidak identik dengan perang atau pertempuran. Merujuk
Alquran, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil
al-Quríani al-Karim menyebut 41 kata jihad dan derivasinya dalam Kitab Suci
itu.
Ayat jihad dalam
konteks perjuangan berjumlah 28: al-Baqarah: 218, Ali Imran: 142, an-Nisaí: 95,
al-Maidah: 53-54, al-Anfal: 72,74,75, at-Taubah: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73,
81, 86, 88, an-Nahl: 110, al-Hajj: 78, al-Furqan: 52, al-ëAnkabut: 6, 69,
Muhammad: 31, al-Hujarat: 15, al-Mumtahanah: 1, ash-Shaf: 11, dan at-Tahrim:
9. Ayat tersebut sebagian turun pada periode Makkah dan sebagian besar lainnya
turun pada periode Madinah (Chirzin, 2006: 47-48).
Dari serpihan
ayat-ayat itu, sangat tampak perjuangan melalui jihad yang dilakukan Nabi dan
sahabatnya tidaklah identik dengan peperangan dan memusuhi orang lain yang
tidak sealiran.
Lagi pula, jihad
dalam pengertian fisik identik dengan pembelaan terhadap Tuhan. Jika demikian
adanya, rasanya perlu mengingat seloroh Abdurrahman Wahid, ’’Tuhan kok
dibela?î, kata Gus Dur. Mengapa mesti menolong atau membela Tuhan? Bukankah
Tuhan dengan segala Kemahakuasaan-Nya telah memiliki segalanya, dan sangat
mampu mengubah sesuatu yang oleh manusia mungkin dianggap mustahil?
Perjuangan yang
dimaksud pada ayat-ayat tentang jihad sesungguhnya dalam rangka menegakkan
kebenaran melalui ajaran-ajaran Islam yang rahmat lil alamin, penuh perdamaian.
Karenanya, upaya perdamaian yang telah dipraktikkan Nabi saw sejatinya juga
menjadi teladan bagi kita semua, yang mengaku diri beriman, dan termasuk
pengikut Muhammad saw.
Tidaklah benar
praktik kekerasan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah (apalagi
menyangkut agama, yang terang-terangan mengangkat bendera jihad), walau dengan
dalih apa pun. Lalu bagaimanakah cara kita mengamalkan perintah jihad dalam
konteks Indonesia?
Sejauh ini,
Indonesia adalah negeri aman, damai, dan tidak ada pertentangan dan konflik
dengan negara tetangga. Pasalnya, jihad dalam pengertian perang pada hemat saya
bisa diberlakukan manakala negara kita benar-benar dalam kondisi diserang oleh
negara lain. Jadi motif jihad dalam konteks ini, bukan lagi berbasis agama
tertentu (Islam), melainkan lebih pada nasionalisme demi mempertahankan
kedaulatan bangsa. Inilah yang pernah terjadi di masa-masa penjajahan
prakemerdekaan dahulu, seperti yang pernah diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari
lewat resolusi jihadnya.
Sistem Global
Saat sekarang,
jihad dalam pengertian perang tidak bisa lagi diberlakukan di Indonesia, karena
realitas empirik tidak mensyaratkan, namun kita perlu mencari relevansi yang
ideal agar tetap bisa mengamalkan perintah jihad, sebagaimana diserukan oleh
Alquran atau hadis. Caranya adalah dengan memalingkan pada sesuatu yang
bersifat humanis dan tidak menunjukkan adanya kekerasan.
Misalnya jihad
melawan kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, dan jihad melawan korupsi. Jihad
model ini membutuhkan tenaga dan usaha yang sungguh-sungguh untuk
menegakkannya. Tiap orang dituntut untuk mengendalikan ego agar tidak terjebak
pada perbuatan nista dan hina yang dapat merugikan orang lain. Saya kira ini
jauh lebih penting dan relevan diterapkan di negara kita, ketimbang
mempraktikkan jihad dalam bentuk perang fisik.
Apalagi, hal ini
juga sejalan dengan sabda yang ’’disinyalir’’ langsung oleh Nabi Muhammad
ketika menasihati para sahabatnya sepulang perang, yaitu ìjihad akbarî menurut
Beliau, bukan dengan mengangkat senjata, melainkan berperang melawan hawa
nafsu; bisa berbentuk egoisme, keserakahan. dan padanan negatif yang lain.
Muslim Indonesia
sejatinya bisa menjadi pelopor untuk tidak korupsi, bukan malah ikut memanen
uang rakyat yang bukan haknya. Dengan begitu, jelas bahwa jihad tidak mempunyai
kaitan dengan agresi, ataupun dengan penyebaran keyakinan, ego individual,
fanatisme, dan irasionalitas.
Lewat pemaknaan
demikian, jihad berarti melawan penindasan, despotisme, dan ketidakadilan —di
mana pun berada— demi kepentingan yang tertindas, siapa pun mereka. Perlawanan
terhadap penindasan dan ketidakadilan bukan lewat perang fisik melainkan jihad
melawan sistem global yang menyebabkan terjadi kemiskinan dan kesengsaraan yang
menimpa rakyat.
Daya sainglah yang
bakal menentukan, sejauh mana muslim mampu mengimbangi sistem kapitalisme yang
mengegemoni kuat pada hampir seluruh sektor kehidupan umat manusia. Semoga.
Sumber: Suara
Merdeka, 27 Juni 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!