Headlines News :
Home » » Politik yang Jauh dari Rakyat

Politik yang Jauh dari Rakyat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, June 21, 2013 | 10:49 AM

Oleh Ansel Deri
Tenaga Ahli Anggota DPR RI Dapil Papua;
Alumni FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang

SEJATINYA muara pengabdian politik adalah kesejahteraan rakyat. Rakyat menjadi kiblat utama pengabdian politik. Partai sebagai alat pengabdian, melalui para “kru” terutama yang mengabdi di lembaga legislatif, dituntut untuk menjalankan amanah politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat selaku tuan atas kepercayaan tersebut.

Namun, ada anomali yang terlihat belakangan menyaksikan kerja politik partai melalui anggota legislatif. Banyak di antara mereka tak menjalankan tugas dan fungsi maksimal. Tragisnya, saat pers menyampaikan kebobrokan mereka seperti perjalanan dinas atau plesiran tak produktif yang menyedot duit rakyat ratusan juta rupiah ke publik, wartawan malah diancam dibunuh atau kekerasan sejenis lainnya.

Anomali lainnya, banyak anggota legislatif yang lebih sering keluyuran keluar daerah dan kota, tak mengikuti sidang-sidang dengan eksekutif (dan para mitra) terkait distribusi program-program pembangunan. Tak jarang mereka menjanjikan masyarakat di luar konteks tugas dan fungsinya. Misalnya, janji memasang instalasi listrik untuk penerangan yang belakangan malah uang masyarakat melayang tak ketahuan jejaknya.

Tak hanya itu. Korupsi merajalela dan seolah membudaya hingga melibatkan anggota legislatif (tentu juga eksekutif dan yudikatif). Para wakil rakyat, mulai dari pusat hingga daerah tak luput dari jerat korupsi. Kondisi ini membenarkan pandangan politisi Senayan Siswono Yudhohusodo yang menyebut kepercayaan rakyat kepada lembaga negara, khususnya perilaku pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, berada di titik nadir. Masyarakat kehilangan harapan (Media Indonesia, 5 Juni 2013).

Kegelisahan rakyat

Tokoh pers nasional dan pendiri Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama memuji KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sahabatnya, karena telah mengangkat persoalan politik dan keagamaan serta kegelisahan masyarakat. Kegelisahan masyarakat yang diamati, dirasakan serta ditulisnya adalah kegelisahan pemikiran, perasaan serta pergulatan perihal masalah-masalah tersebut. Kegelisahan itu masih berlanjut hingga kini. Tema tulisan itu pun dirasa masih aktual dan relevan (Bdk. Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat ; 2007).

Kegelisahaan dan kepercayaan rakyat yang bergerak hingga ke titik nadir sekurang-kurangnya menjadi lampu kuning partai politik dan politisi, terutama para wakil rakyat. Jika tidak maka krisis kepercayaan yang terus anjlok berbuah anarkisme sosial dan politik yang masif. Atau dalam bahasa sosiolog UGM Najib Asca, masyarakat kehilangan trust terhadap lembaga yang seharusnya membela kepentingannya. Namun, agar terbebas dari itu maka dibutuhkan kepemimpinan (politik) yang memberikan teladan bagi publik.

Benarkah kepemimpinan politik para wakil rakyat sudah on the track: memperjuangkan kepentingan rakyat seperti dijanjijakan saat kampanye? Lepas dari keberhasilan yang diperjuangkan, suka tidak suka, para politikus kita bukan saja tidak beres mengurus negara, yaitu sebagai pendorong terciptanya kesejahteraan rakyat, tetapi banyak yang terlibat dan terjerat kasus hukum, seperti suap dan korupsi.

Politik berhati nurani pun terlucuti dan mereka hadir bak robot yang piawai mengelola kepentingan diri dan kelompok dengan menggunakan hukum sebagai alibi objektivitas. Tidak heran, dari mulut para politikus yang terlibat korupsi, terdengar ucapan, “saya serahkan perkara kepada para penegak hukum”, “jangan intervensi hukum”, dan seterusnya. Tetapi, di balik kelambu politik dan hukum terjadi perselingkuhan yang saling menguntungkan dan saling menikmati (Sinar Harapan, 4 Juni 2012).

Politisi ideal

Oleh karena itu kita perlu membaca dengan jelas karakter politisi yang ideal. Politisi Nizar Shihab (2008) membaginya dalam dua karakter utama. Pertama, kelompok politisi dengan kepribadian normal. Kelompok ini yang melakukan perubahan politik dengan sebuah derap langkah yang menunjukkan harmoni antara logika, ambisi, dan integritas moral. Kelompok ini melahirkan politisi yang bersih, cerdas, dan santun.

Kedua, kelompok politisi dengan kepribadian abnormal. Kelompok ini menempuh jalan pintas, akal-akalan, tidak tahan dengan gejolak ambisi jangka pendek dan berkecenderungan menggunakan cara-cara yang bertolak belakang dengan keluhuran nilai moral. Kendati menunjukkan kecerdikan politik yang memukau, toh itu hanya akal-akalan.

Kita tahu, genderang politik Pileg 2014 sudah ditabuh. Sebelum masuk bilik suara para April 2014 (jika tak ada kendala), maka paling kurang dua hal penting perlu diperhatikan masyarakat guna mendapatkan wakilnya kelak. Pertama, teliti rekam jejak caleg, termasuk faktor usia, sebelum memilih. Hindari caleg yang minim kepedulian kepada rakyat dan hanya mementingkan diri, kelompok, dan keluarga.

Kedua, kualifikasi pendidikan dan pengalaman menjadi hal yang penting dipertimbangkan sehingga setelah terpilih mereka mampu bekerja sama dengan mitranya dalam merencanakan berbagai agenda pembangunan. Bila itu terwujud maka pengabdian politik tak lagi jauh jaraknya.

Politik (meminjam Plato dan Aristoteles) juga segera kembali pada makna sejatinya: agung dan mulia serta wahana membangun masyarakarat yang berkeadaban. Mengapa? Politik digariskan sebagai jalan pendorong terciptanya karakter kebajikan pada setiap individu dalam negara. Atau dalam istilah Hacker (1961), politik merupakan the best possible system that could be reached.
Sumber: Pos Kupang, 21 Juni 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger