Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
Berhubung demokrasi merupakan fondasi dari
suatu pengalaman hidup bebas, di ranah sosio-politik ia terus-menerus berusaha
menemukan suatu solusi problematis bagi pembentukan suatu komunitas dari
manusia-manusia bebas. Problematis karena solusi tersebut tak kunjung henti
dipersoalkan, termasuk kedemokrasian kita sekarang ini.
Betapa tidak. Demokrasi representatif yang
diusung oleh kaum reformis mengesankan semakin tidak demokratis. Ini tecermin
pada sikap publik yang semakin banyak bergairah menjadi golput berhadapan
dengan euforia Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang berkembang di kalangan
politikus berpartai. Ketidakpuasan terhadap kedemokrasian yang berlaku
dinyatakan pula oleh gerakan yang semakin gencar menuntut pemekaran daerah
dengan dalih perwujudan otonomi.
Prinsip ekonomi tetap dinyatakan sebagai
”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Sebagai realisasinya,
rakyat dipersilakan untuk ”berpesta demokrasi”, memilih wakilnya, yang notabene
ditetapkan oleh parpol, lima tahun sekali. Sesudah itu rakyat tidak perlu lagi
aktif berpolitik. Para wakil yang dipilihnya mengambil alih wewenang dan hak
rakyat membuat keputusan-keputusan politik. Mereka berbuat begitu ”atas nama”
rakyat.
Prinsip demokrasi katanya tetap dijunjung
tinggi, tetapi pemerintahan yang dilahirkan oleh pesta demokrasi itu
menggunakan esensi dari disposisinya untuk melucuti kekuasaan dari rakyat
dengan jalan mengorganisasi dan melegitimasi ucapan-ucapan dari para wakil
rakyat, yang berarti membungkam suara rakyat yang katanya berkuasa.
Pembungkaman rakyat menjadi semakin luas dan semakin berlapis melalui praktik
legislasi parlementer-trikameral, yaitu dengan keberadaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, di samping Dewan Perwakilan
Rakyat.
Kelihatan sekali betapa politikus
berlomba-lomba menjadi ”wakil rakyat yang terhormat”, berambisi berbicara ”atas
nama...”. Kecenderungan ini, apa pun dalihnya, tentu tidak bisa dibiarkan
berjalan begitu saja tanpa sanksi. Dan rakyat memang sudah semakin muak, lebih
senang dan puas menjadi golput saja daripada diatasnamakan terus-menerus.
Para warga negara (citizens) yang menyebut
dirinya ”wakil rakyat” seharusnya tidak mengklaim membuat sendiri
undang-undang. Mereka seharusnya tidak punya kehendak partikular untuk
dipaksakan. Jika mereka toh mendiktekan kehendak, memaksakan kemauan politik,
Indonesia tidak lagi merupakan negara representatif. Indonesia lalu berpeluang
menjadi negara demokratis. Rakyat di satu negeri yang bukan demokrasi, dan
Indonesia seharusnya tidak begitu, tidak bisa bicara, tidak dapat bertindak,
kecuali melalui wakil-wakilnya.
Demokrasi kontinu
Namun, demokrasi dewasa ini tidak mungkin
dibuat langsung seperti keadaan aslinya dulu di zaman Yunani Purba, di mana
setiap warga berbicara sendiri di Agora mengenai kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama. Jadi, persoalannya sekarang adalah bagaimana dalam sistem
dan suasana demokrasi-tak-langsung, demokrasi representatif, warga negara masih
mungkin dan dibenarkan aktif berpartisipasi langsung dalam membuat undang-undang
dan mengambil keputusan.
Anggapan bahwa pembahasan undang-undang
akan lebih terjamin apabila dilaksanakan oleh orang-orang terpilih melemah di
saat rakyat, yang adalah juga warga negara yang punya kuasa, menyatakan
kemampuannya untuk melakukan sendiri pengambilan keputusan. Jadi, kebajikan
hakiki demokrasi di transformasi dari ”hak rakyat untuk memilih dan dipilih”
menjadi ”kebebasan rakyat berpartisipasi aktif setiap waktu dalam memutuskan”.
Dengan kata lain, yang menjadi masalah krusial dalam berdemokrasi adalah
bagaimana membuat ”demokrasi representatif” bisa berfungsi efektif sebagai
suatu ”demokrasi kontinu”. Artinya, rakyat bisa mengambil keputusan tidak hanya
satu kali dalam lima tahun, tetapi terus-menerus selama lima tahun.
Praktik demokrasi kontinu ingin
memperhitungkan, selain ”kebajikan hakiki” demokrasi, juga ambiguitas
fundamental dan penggerak konfigurasi politik kontemporer, di mana setiap unsur
mungkin dapat dianalisis sebagai suatu modernisasi dari sistem representatif
atau awal dari kemerosotannya, dari suatu usaha kolektif yang terlepas dari
(masalah) representasi dan langsung terkait dengan upaya pengukuhan pembentukan
bangsa kita yang, per definisi, serba rawan.
Jadi, demokrasi kontinu berbeda dengan
demokrasi langsung karena ia memupus distingsi antara yang mewakili dan yang
mewakilkan. Ia juga berbeda dengan demokrasi representatif berhubung kerjanya
memintasi (bypass) organ representatif. Ia berbuat begitu bukan hendak
meniadakan representatif, melainkan karena ia mentransformasi dan memperluas
ruang partisipasi langsung dari rakyat dengan menciptakan bentuk-bentuk
partikular yang memungkinkan opini berkarya politis, yaitu kontrol yang kontinu
dan efektif terhadap kebijakan/aksi pemerintahan, di luar momen-momen pemilihan
umum atau pemberian suara.
Partisipasi langsung dari warga negara
dalam pengambilan keputusan politik dapat merupakan instrumen yang memperkuat
pendelegasian kekuasaan. Satu di antara instrumen itu adalah model pembangunan
nasional dalam term ”ruang sosial”, yang bertujuan menciptakan kebahagiaan
bersama (a common happiness), bukan pembangunan ekonomi dalam term produk
nasional bruto (GNP), yang bertujuan meningkatkan kemakmuran bersama (a
commonwealth), seperti yang dilakukan rezim Orde Baru dan kini dilanjutkan oleh
rezim Reformasi.
Model pembangunan nasional itu sudah
beberapa kali saya paparkan di harian ini dalam konteks yang berbeda. Kali ini
saya hanya ingin mengingatkan betapa relevan model tersebut dengan kebajikan
dari demokrasi kontinu begitu rupa hingga bahkan bisa menjadi mekanisme
pengukuhan pembentukan negara-bangsa kita.
Ruang sosial
Kebahagiaan bersama adalah milik rakyat
yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Namun, rakyat ini bukanlah
sembarang kumpulan makhluk manusia yang mengelompok dengan jalan apa saja. Rakyat
adalah suatu konsentrasi sejumlah besar orang, yang berasosiasi dalam suatu
persetujuan tentang keadilan dan kemitraan bagi kebaikan bersama. Asosiasi
seperti ini bukanlah berkat dorongan kelemahan individual, tetapi karena spirit
sosial tertentu yang disuratkan alam dari diri manusia.
Asosiasi alami tersebut terjadi di suatu
ruang sosial. Ruang ini adalah ruang hidup rakyat yang konkret, diciptakan
dalam konteks pembangunan suatu komunitas tertentu. Hubungan antara referen dan
pembangunan diformulasikan sebagai suatu ”gerakan komunitas”, selama proses di
mana komunitas yang bersangkutan terasa menjadi lebih adil, lebih akseptabel
karena lebih manusiawi. Di sini setiap warga diajak merundingkan rasionalitas
setiap proyek pembangunan, baik yang berasal dari pusat maupun atas inisiatif
pemerintahan lokal.
Jadi, dalam model pembangunan dalam term
ruang sosial ini, ”musyawarah” (sila keempat Pancasila) antar-orang yang
berkepentingan merupakan satu keniscayaan, terlepas dari kedudukan formal,
sosial, dan tingkat keterpelajaran individual masing-masing. Berarti semua
warga ”diuwongke”, dianggap bermartabat setara. Berhubung terbuka kemungkinan
untuk membahas tidak hanya ongkos finansial, tetapi juga opportunity costsdari
proyek, model pembangunan ini mendorong kebiasaan how men behave, sesuai dengan
pesan-pesan implisit Pancasila selaku dasar filosofis bernegara, bukan how
markets behave (home economicus).
Dengan begitu, dalam politik tercipta
participatory democracy, bukan spectator democracy dan pembangunan menjadi
participatory development, bukan spectator development. Jika interaksi
kewargaan dijalankan terus secara konsisten akan lahir budaya-budaya lain
(hukum, ekonomi, artistik, pengetahuan) yang menjurus ke pembentukan masyarakat
pembelajar, yaitu dasar ideal bagi pembentukan masyarakat madani.
Ruang sosial yang dengan sadar dibina oleh
konsep pembangunan nasional ini menjadi atmosfer yang menghasilkan pengalaman
eksternal. Pengalaman konstruktif ini disimpulkan sebagai faktor sentripetal
oleh pikiran manusia dan karena itu menjadi state of mind, bahkan jalan pikiran
(mindset). Bila demikian, ia berpotensi memupus kerawanan dari dasar
pembentukan bangsa.
Bangsa adalah the will to live together
(Renan). Jadi ”bangsa” bukan suatu entitas yang sudah jadi. Ia selalu in
potentia, tidak pernah in actu, terus-menerus dalam status nascendi. Jadi,
istilah ”bangsa” bukan menarasikan kemapanan keadaan, tetapi suatu tekad, suatu
usaha kolektif terarah dan terpadu dan berkesinambungan, berupa pembangunan
nasional yang beratmosfer demokrasi kontinu.
Filosofi politik
Di samping sebagai statecraft, demokrasi
kontinu merupakan suatu filosofi politik mengenai the polity, yang jauh lebih
luas daripada lembaga-lembaga pemerintahan. Ia meliputi semua lembaga,
disposisi, kebiasaan, dan lain-lain faktor pada mana pemerintah bergantung dan,
karena itu, untuk mana pemerintah seharusnya berusaha membentuk pengaruh.
Bila demikian, Indonesia bukan hanya
sekadar ”suatu lokalitas fisik”. Hotel adalah suatu lokalitas fisik (George F
Will). Ia punya penghuni. Indonesia tidak punya penghuni, tetapi warga negara
(citizens). Maka, Pemerintah Indonesia yang demokratis seharusnya berperan
sekaligus sebagai ”tutor” dan ”pelayan” bagi para warga negara. Sebab,
”kewarganegaraan” (citizenship) merupakan suatu jalan pikiran (mindset).
Mengingat setiap aksi manusia berawal dari pemikiran, maka dalam benak manusia
itu perlu dibangun mindset yang serba human dan konstruktif.
Sumber: Kompas, 1 Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!