Direktur Social Development Center
Pemilu 2014 yang tinggal satu tahun lagi bisa
dipastikan melahirkan pemimpin baru, mengingat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meskipun dianggap mampu tetapi berdasarkan konstitusi tidak boleh
mencalonkan diri lagi untuk ketiga kalinya. Berbagai harapan akan sebuah
perubahan dan perbaikan masa depan bangsa, menggelayut terhadap pemimpin hasil
pemilihan umum (pemilu) 2014 itu.
Pertanyaannya adalah, apakah bangsa ini pada pemilu
2014 akan memilih dan mampu melahirkan seorang pemimpin yang benar-benar sesuai
dengan harapan-harapan masyarakat? Apakah realistis harapan-harapan tersebut?
Harapan akan perubahan dan perbaikan pada seorang
pemimpin terpilih boleh dikatakan tidak berlebihan, mengingat para pemimpin
sebelum menjalankan amanahnya, diwajibkan berikrar untuk menghambakan diri pada
tujuan menyejahterakan atau membawa perbaikan nasib rakyat. Namun, kerap
dikatakan harapan itu jauh panggang dari api. Masyarakat yang terpesona oleh
sosok seorang pemimpin yang ideal, akhirnya menyaksikan kesenjangan antara kemuliaan
politik dengan realitas sosial, ekonomi dan politik dalam keseharian. Pemimpin
dinilai terus terlena dalam kenikmatan kekuasaan dan rakyat dibiarkan bergelut
dengan kesulitannya.
Namun, apakah memang demikian? Apakah benar pemimpin
atau pemerintah tidak memperjuangkan perbaikan nasib rakyat alias hanya terlena
dalam kenikmatan kekuasaan yang menawarkan segala bentuk priviledse dan
kehormatan atau kemuliaan diri? Atau, pemerintah memang sudah bekerja keras dan
sudah berjuang maksimal, tetapi masyarakat tidak menyadarinya? Atau, karena
masyarakat berharap terlalu banyak dari pemerintah sehingga apa pun usaha dan
hasil kerja keras pemerintah selalu dianggap masih kurang?
Selama ini masyarakat seperti berada dalam dua
posisi yang berbeda, alias masyarakat terbelah dalam pengharapan. Pertama,
sebagian rakyat senantiasa menempatkan diri sebagai oposisi dengan memberi
penilaian tentang pemerintah yang hanya gemar membangun citra politik, tidak
berbuat maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Keamanan masyarakat pun tidak
diberi perhatian secara khusus dengan memberi perlindungan yang maksimal.
Artinya, masyarakat selalu menganggap pemerintah
atau pemimpin sebagai makhluk superhero, manusia serba bisa dalam mengatasi
segala persoalan masyarakat. Masyarakat seperti terus bermimpi tentang
pemerintah yang hebat dengan kekuatan dan tanggung jawab besar. Lalu, dengan
mendukung mimpi tentang pemerintah yang superhero itu, masyarakat menebarkan
isu-isu populisme seperti rendahnya kesejahteraan, membuncahnya pengangguran, dan
terus bercokolnya kemiskinan sebagai tragedi kegagalan pemerintah. Pemerintah
atau pemimpin dinilai tidak berjuang maksimal untuk mengatasi semua itu. Atau,
pemerintah dicap tidak sanggup memimpin bangsa ini.
Kedua, sebagian kecil masyarakat yang boleh dikatakan
bersama pemerintah, tidak jarang membela diri dengan mengatakan pemerintah
sudah bekerja keras dan berjuang maksimal, lagi pula pemerintah bukanlah
sekelompok manusia superhero, serba bisa dalam menyelesaikan segala persoalan
bangsa. Mereka balik bertanya, apakah kesejahteraan masyarakat, kemiskinan dan
pengangguran semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin? Bagi
mereka, pemerintah atau pemimpin, sebagaimana Adam Smith, cukup memfokuskan
pada tiga hal utama, perdamaian dan/atau keamaman, pajak yang ringkas, dan
lembaga hukum atau peradilan atau penegakan hukum yang baik.
Bertolak hal ini, menyitir Tata Mustasya (2007),
sejarah ekonomi modern menunjukkan, faktor terbesar kemajuan ekonomi suatu
negara adalah kewirausahaan (enterpreneurship), bukan pemerintah atau pemimpin
yang hebat. Outputnya adalah kreativitas, inovasi diikuti semangat yang tinggi
berjuang secara bersama dan berkesinambungan menyejahterakan rakyat.
Masalahnya, ekonomi hanya bisa bergerak untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat,
disebabkan oleh peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi serta
motivasi yang terangkum dalam kewirausahaan. Variabel semua itu sebagian besar
berada di luar jangkauan pemerintah, alias berada dalam kinerja masyarakat
seluruhnya.
Artinya, pemerintah atau pemimpin bukanlah
superhero, dan tugas pemerintah hanya memfasilitasi dan tidak merintangi
tumbuhnya kewirausahaan. Hal itu dilakukan pemerintah dengan cara mengikuti
pandangan jenial Adam Smith, yaitu menciptakan keamanan yang kondusif, pajak
yang tidak berbelit-belit dan penegakan dan kepastian hukum. Dalam hal ini,
segala bentuk premanisme dan pungutan liar, serta suap dan korupsi harus
diberantas secara tegas, dan segala penyelewengan yang menyangkut pajak harus
diselesaikan oleh pemerintah. Terutama segala bentuk penyimpangan dalam
kehidupan masyarakat yang menghambat tumbuhnya kewirausahaan, serta segala
bentuk pembunuhan terhadap kreativitas dan inovasi harus dicegah oleh
pemerintah.
Perlu digarisbawahi, dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, tanggung jawab sesungguhnya menjadi tersebar pada semua orang.
Masyarakat tidak bisa berilusi tentang pemimpin yang menjadi ratu adil atau
manusia superhero atau makhluk dari planet lain yang dapat menyelesaikan segala
persoalan kemasyarakatan dan keberbangsaan.
Namun, harus diakui, bahwa dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, dibutuhkan pemimpin yang bisa membawa rakyat kepada
kesejahteraan dan kemakmuran lewat semua kebijakan, terutama ekonomi dan
politik berpihak pada rakyat. Pemimpin harus kuat, tegas, berintegritas, jangan
lamban, dan hanya gemar tebar pesona alias hanya mengedepankan pencitraan.
Tetapi, harus diyakini bahwa kesejahteraan dan masa depan negeri ini berada di
pundak kita bersama, bukan hanya kepada pemimpin terpilih. Pemerintah atau
pemimpin bersama rakyat harus bahu-membahu dalam merakit dan membangun masa
depan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita
Republik.
Yang paling mungkin lebih elegan, memulai dan terus
belajar untuk hidup ibarat di areal tanpa negara atau tanpa pemerintah.
Artinya, hidup yang tidak terlalu menggantungkan nasib dan hidupnya pada
negara. Rakyat harus terus memupuk mentalitas mandiri tanpa bergantung penuh
pada negara, dengan mengembangkan daya kreativitasnya, membentuk kemampuan
invonasi, motivasi, dus mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi diri
masing-masing untuk maju meraih sukses di masa depan. Inilah catatan penting
bagi publik dalam menyongsong pemilu 2014.
Sumber: Suara Karya, 3 Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!