Direktur
Lembaga Pemilih Indonesia;
Sedang
Belajar di Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman
LEBIH
dari sekadar judul novel Joseph Finder yang begitu laris sejak terbit 2004,
paranoia (Yunani: para "di luar", nous "pikiran") adalah
gangguan pikiran yang ditandai dengan kecemasan dan ketakutan berlebihan. Orang
menjadi tak rasional dan cenderung berujung delusif.
Sepintas
paranoia dapat diselami lewat figur-figur dalam susastra, seperti Philip
Dick, Ishmael Reed, Lovecraft, Lyacos, Robert Wilson, atau Burroughs yang
memakai nama pena William Lee.
Menarik
bahwa sejak abad ke-16, paranoia menjadi kesibukan kaum intelektual.
Setidak-tidaknya itu terungkap dalam Paranoia and Modernity, John Farrell
(2006). Dengan mengupas Luther, Bacon, Cervantes, Descartes, Hobbes, Pascal, La
Rochefoucauld, Swift, dan Rousseau, ia memperlihatkan betapa paranoia bertumbuh
dan melekat dalam sejarah.
Dunia
yang paranoid
Hari
ini pun paranoia menjadi wabah mondial. Ia menjadi tema dunia setelah pada Juni
lalu Edward Snowden membuka jaringan data rahasia intelijen Amerika Serikat.
Pria 29 tahun itu mengingatkan kita kepada aktivis Australia, Julian Paul
Assange, dengan Wikileaks-nya pada 2010 lalu. Snowden ditersangkakan pada 14
Juni 2013 atas pengungkapan data rahasia negara.
Tak
lama kemudian, kawan dekat Sarah Harrison dari Wikileaks ini melarikan diri
ke Hongkong, lalu Moskwa. Di Moskwa ia mengajukan suaka, tetapi ditolak.
Polandia melakukan hal yang sama sebagaimana Jerman.
"Tidak
ada alasan kuat bagi su- aka Snowden", lebih kurang begitu juru bicara
pemerintahan Angela Merkel, Steffen Seibert. Benarkah alasan suaka tidak cukup
atau Berlin kekosongan alasan membenarkan penolakan itu? Polling yang diadakan
Radio Television Luxembourg (RTL), sebuah televisi swasta, pada 2 Juli 2013,
memperlihatkan 83,3 persen publik Jerman mengharapkan suaka Snowden diterima.
"Mestinya pendekatan humanitarian juga dipertimbangkan," kritik
Renata Künast dari Partai Hijau dalam dialog Anne Will di stasiun televisi
Arbeitsgemeinschaft der öffentlich-rechtlichen Rundfunkanstalten der
Bundesrepublik Deutschland (ARD), 3 Juli 2013.
Paranoia
terkait dengan kebebasan manusia bertindak. Ada kecemasan, kebebasan bertindak
itu dirampas oleh pihak lain. Ketakutan yang cenderung tak rasional melingkungi
kebebasan tersebut. "Paranoia sedang memwabah di dunia hari ini,"
kata Gabriel Sigmar dari Partai Sosialis (SPD) dalam program dialog Anne Will
itu.
Bagi
Jerman, Snowden sebuah simalakama. Tak diberi suaka, rakyat mempertanyakan
sikap pemerintah. Diberi suaka, hubungan Berlin-Washington bisa terganggu.
Apalagi, Berlin memang sedang tersinggung dengan Washington setelah Snowden
membuka dusta. Jerman ditempatkan dalam daftar "mitra kelas ketiga",
yang dalam data rahasia NSA diberi warna kuning. Kuning berarti harus dipantau.
Tercatat,
500 juta komunikasi dalam sebulan di seluruh Jerman disadap NSA. "Kalau
itu benar, ini sungguh sebuah insiden serius. Kita tak lagi dalam Perang
Dingin," kata Kanselir Merkel di depan sejumlah redaktur media massa pada
2 Juli lalu.
Gangguan
kolektif
Tampak
bahwa paranoia menjadi gangguan kolektif. Tak hanya di jenjang dunia, tetapi
juga di jenjang domestik. Setelah ICW merilis 36 nama politisi yang diragukan
komitmennya melawan korupsi, tak sedikit politisi mau memolisikan ICW. Sepakat
bahwa subyektivitas ICW perlu diklarifikasi, terutama kenapa lembaga independen
itu tidak menyebut lengkap politisi besar yang sempat tersandung korupsi dalam
daftarnya. Sebut saja dua ketua umum partai di Kabinet SBY Jilid Dua. Namun,
tak ada yang salah dengan rilis ICW. Toh itu kritik biasa, yang menjadi luar
biasa karena politisi terlalu paranoid.
Masih
dalam konteks ini, teringat bagaimana sebuah partai pernah terpukul. KPK
dituduh sebagai arsitek di balik proyek penghancuran partai itu. "Tuduhan
oleh teman-teman (di partai) itu terlalu berlebihan. Boleh dikategorikan
paranoid," kata Ketua KPK Abraham Samad terkait tersebarnya foto pengurus
partai tersebut dengan seorang menteri terkait dengan sebuah perkara.
Paranoia
sudah menjadi wabah dalam politik. Kepercayaan sudah hilang. Kecurigaan,
ketakutan, insekuritas, dan perasaan sejenisnya menjadi bagian dari kepribadian
politik hari ini. Lantas, di mana ruang bagi perubahan demokratis?
Ketika
pelaku politik paranoid, ekosistem politik menjadi ruang yang tidak aman. Di
dalamnya tidak mungkin demokrasi bisa bertumbuh normal. Boleh saja kita melihat
bahwa dalam kondisi seperti inilah istilah "2013 sebagai tahun
politik"-nya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperoleh kepenuhan
maknanya. Namun, politik elektoral bukan sekadar pertarungan kepentingan atau
benturan saling menghancurkan.
"Fairness"
sebagai solusi
Persaingan
elektoral harus dibangun atas fondasi fairness. Di dalamnya ada kejujuran,
keterbukaan, dan respek satu sama lain. Lawan dilihat bukan sebagai musuh yang
dihancurkan, melainkan sebagai friendly enemy (Mouffe, 2002). Fairness juga
dilihat sebagai prinsip moral politik yang mencakup secara inheren prinsip
keadilan dan prinsip kesetaraan (Rawls, 1971).
Perubahan
demokratis hanya bisa dibangun dalam konteks demikian, tidak dalam habitat
politik paranoid. Bahkan, dengan mendalami dan mempraksiskan prinsip fairness,
pelaku politik bisa bebas dari perangkap gangguan psikis paranoia.
Sumber:
Kompas, 13 Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!