Oleh Ansel Deri
Alumni FKIP Undana Kupang;
Tenaga Ahli (A-278) DPR Dapil Papua
APARAT
kepolisian terus mengendus dan membongkar para teroris beserta jaringannya
menjelang dan memasuki tahun politik 2014. Kasus teranyar terjadi di simpang
pergantian tahun. Selasa 31 Desember hingga Rabu 1 Januari dini hari, aparat
Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri dan Polda Metro Jaya menggrebek rumah
kontrakan milik Zaenab yang menjadi lokasi persembunyian para terduga teroris.
Rumah tersebut terletak di Gang Haji Hasan, RT 04 RW 07, Kelurahan Kampung
Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Dalam
penggrebekan sejumlah terduga teroris berhasil ditaklukkan. Selain menangkap
Anton alias Septi (26 tahun), enam lainnya meregang nyawa setelah diterjang
timah panas. Mereka adalah Dayat alias Daeng alias Hidayat Kacamata; Nurul Haq
alias Dirman alias Jack (28 tahun); Rizal alias Hendi Albar (30 tahun); Ozi
alias Tomo; Edo alias Ando; dan Amril.
Dari peristiwa
penggrebekan terduga teroris dan aksi terorisme Ciputat ada beberapa hal yang dapat
dicatat. Pertama, memasuki tahun politik: Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan
Presiden (Pilpres), terorisme masih menjadi ancaman serius. Ini berasalan
karena sejak tragedi di Legian dan Kuta, Bali tahun 2002, aksi teroris di
sejumlah wilayah di Indonesia terus terjadi.
Kedua,
pemerintah melalui aparat keamanan berkomitmen untuk terus bekerja keras memantau
dan membatasi ruang gerak para teroris. Langkah penggrebekan di Ciputat,
misalnya, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah menghentikan
dan mencegah dampak destruktif para teroris. Ketiga, pileg dan pilpres
merupakan dua momentum strategis bagi partai politik dan rakyat menentukan masa
depan bangsa dan negara. Karena itu, terorisme dalam bentuk apapun yang
mengganggu stabilitas politik menjadi agenda dan tantangan pemerintahan baru pasca
SBY-Boediono guna mencari strategi mengurangi keresahan masyarakat akibat
terorisme.
Motif teror
Teror dan
terorisme yang melanda dunia, termasuk Indonesia, nampaknya tak pernah berakhir
dan bakal berlangsung terus. Serangan teroris 11 September 2001 di New York,
Amerika Serikat boleh dibilang merupakan sejarah kelam bagi dunia. Sedangkan
bom di Bali pada 12 Oktober 2002 merupakan yang terburuk dalam sejarah bangsa
Indonesia bahkan dunia internasional.
Namun, satu hal
pasti: teror dan terorisme terjadi dengan beragam motif seperti kemiskinan (poverty), ketidakadilan (injustice), dan kesenjangan (inequality). Karena itu, jika masalah
tersebut belum dituntaskan maka perang terhadap terorisme menjadi pekerjaan
berat, melelahkan, dan menguras dana besar. Teror akhirnya kembali pada arti
sebenarnya yakni usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan.
Intelektual muda
Muslim, Zuhairi Misrawi dalam Pandangan
Muslim Moderat (2010) menyebut sejumlah motif yang memproduksi terorisme. Pertama,
arus modernisasi dan urbanisasi. Fenomena globalisasi yang memberi fasilitas
untuk mengakses ilmu pengetahuan secara terbuka, bebas, dan murah memungkinkan
siapa pun mempelajari teknik-teknik melakukan teror. Akses komunikasi yang
difasilitasi kecanggihan teknologi mutakhir mempermudah dan mempercepat komunikasi
antarjaringan teroris.
Kedua, budaya
kekerasan yang tumbuh di sebuah negara dapat menjadi salah satu motif
terorisme. Hal itu disebabkan munculnya kesadaran kolektif bahwa kekerasan
adalah tradisi, warisan, sejarah, dan fakta sosial. Ketiga, terorisme meluas
secara intensif karena tidak ada komitmen pemerintah untuk benar-benar melawan
terorisme. Artinya, perlawanan atas terorisme hanya kebohongan. Kerja keras
untuk membatasi gerak teroris dan menjamin tersedianya keamanan cenderung
dinomorduakan.
Karena itu,
pemerintah yang lamban, lembek, dan peragu memberi ruang bagi teroris
melancarkan aksinya. Keempat, terorisme adalah akumulasi penindasan,
peminggiran, dan penderitaan. Mereka yang didiskriminasikan secara
konstitusional dan tidak mendapat kebebasan sebagaimana kebanyakan masyarakat,
biasanya menjadi faktor determinan meluasnya terorisme. Semula, para teroris
berasal dari kelompok minoritas yang terpinggirkan, tetapi akhirnya membentuk
kelompok yang bisa menjadi mayoritas.
Komitmen
Meski aksi para
terduga teroris di Ciputat tak bertujuan politik, substansi makna atas term
teror, teroris, dan terorisme di atas sangat relevan. Sepintas, para pelaku sedang
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman. Mereka menggunakan kekerasan
untuk menimbulkan rasa takut. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman
memastikan terduga teroris Ciputat merupakan anggota kelompok Abu Omar,
jaringan yang merupakan pelaku penembakan polisi di Ciputat, Cirendeu, Pondok
Aren, dan di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah aksi
kejahatan lainnya, termasuk merencanakan pengeboman 30 vihara atau rumah ibadah
umat Budha.
Aksi terduga
teroris di Ciputat bertujuan politik? Masih tanda tanya. Namun, sejumlah analisis
menyebutkan, teror dan terorisme kerap terkait masalah politik. Menurut analis dan
aktivis Imparsial Al Araf, meski pada saat ini sistem politik kita demokrasi,
bukan tak mungkin terorisme bisa berlatar politik, etnonasionalisme, ideologi,
agama, atau kriminal. Aksi terorisme dengan motif apa pun selalu menggunakan
kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan rasa takut yang meluas. Ia tidak
menjadikan korban sebagai sasaran yang sesungguhnya, tetapi hanya sebagai
taktik mencapai tujuan (Kompas, 30
Oktober 2013).
Pengajar
filsafat politik F. Budi Hardiman dalam Terorisme:
Definisi, Aksi, dan Regulasi (2005) berpendapat, teror adalah fenomena yang
cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan
atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang
sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai
‘teror’ atau ‘terorisme’.
Menurut Ali Usman, peneliti Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, teror dan terorisme dapat diatasi jika
masing-masing di antara kita dengan penuh kesadaran, kompak mengusirnya.
Mengapa? Terorisme merupakan gejala, bukan penyakit. Terorisme hidup tanpa
memiliki tanah kelahiran di lokasi geografis tertentu. Jaringan teroris
berperilaku seperti perusahaan multinasional. Saat persoalan menggejolak di
negara tertentu, mereka segera angkat kaki ke negara lain yang memberikan
kesepakatan ”bisnis” yang lebih menguntungkan (Suara Merdeka, 12 September 2011).
Insiden Ciputat
menyadarkan pemerintah dan masyarakat dan semua elemen, terutama partai politik
untuk mewaspadahi terorisme. Ini penting karena memasuki 2014, teror dan
terorisme masih berpotensi jadi ancaman serius. Stabilitas politik akan
terganggu dengan munculnya aksi teror pihak-pihak tertentu.
Paling kurang
ada beberapa catatan tambahan mencermati teror dan terorisme memasuki tahun
politik. Pertama, aksi teror dan terorisme akan tetap menjadi ancaman serius
masyarakat dan pemerintah (baru). Karena itu, kewaspasdaan menjadi hal yang
perlu serius diperhatikan. Kedua, persis digambarkan Al Araf, Polri perlu dan
harus membuat langkah penanganan yang lebih komprehensif terkait aksi teror.
Mulai dari deteksi dini dengan peningkatan jejaring intelijen yang lebih baik
dan luas hingga aksi penindakan yang lebih profesional dan proporsional
menangkap para pelaku.
Ketiga, langkah
antisipasi dan keseriusan aparat keamanan baik Polri (termasuk TNI) untuk mengungkap
aksi teror di tanah air membutuhkan dukungan dan kemauan politik presiden baru beserta
jajaran pemerintahan, khususnya dukungan anggaran pemberantasan tindak pidana
terorisme. Tanpa dukungan politik, polisi akan mengalami hambatan mengendus dan
menangkap para pelaku dan jaringannya.
Sekali lagi,
terkait urusan tersebut butuh dukungan politik. Negara tidak boleh takluk menghadapi
tindakan teror yang dilakukan orang atau pihak yang ingin mengacaukan
pemerintahan. Negara, melalu
aparat keamanan, menjadi garansi politik atas rasa aman
rakyat.
Sumber: Pos Kupang, 1 Februari 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!