Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Pada
Selasa, 13 Mei 2014, calon presiden PDIP, Joko Widodo (Jokowi), bertemu dengan
Ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di Pasar Gembrong, Jakarta. Aburizal
memberi sinyal positif bahwa partainya akan merapat ke poros pilpres PDIP.
Tetapi, pada hari berikutnya, Aburizal bertemu dengan Presiden Yudhoyono
sebagai king maker Partai Demokrat, di Istana. Aburizal juga menerima
kedatangan Prabowo Subianto (Gerindra) dan juga Wiranto (Hanura). Berikutnya,
Aburizal menemui Megawati. Pertemuan-pertemuan politik itu semakin membuat
publik susah menerka ke mana arah koalisi Golkar.
Sementara
itu, poros pilpres PDIP sudah semakin pasti. Koalisi PDIP, Partai NasDem, dan
PKB telah diresmikan. Realitas inilah yang membuat Jokowi sebagai capres kian
terpastikan, karena boarding pass pilpres sudah dipegang. Karena itu, apakah
Golkar jadi masuk atau tidak ke poros Jokowi, tidak begitu berpengaruh. Tetapi,
apakah PDIP sesungguhnya membutuhkan Golkar dan sebaliknya?
Saya
berpendapat, kendatipun pihak-pihak tertentu PDIP menginginkan koalisi ramping,
secara empiris PDIP tetap harus merangkul Golkar, kalau ingin membangun
pemerintahan presidensial yang kuat. PDIP tidak cukup sekadar mengandalkan
retorika pro-rakyat. Secara empiris, kekuatan presidensial akan optimal
manakala dukungan parlemennya sangat kuat. Dalam konteks inilah, Golkar sebagai
kekuatan politik yang cukup signifikan di parlemen tidak boleh serta merta
diabaikan.
Jadi,
bagaimanapun, PDIP tetap membutuhkan Golkar, justru untuk menjamin stabilitas
pemerintahan presidensial. Adapun di tengah terombang-ambingnya Golkar dalam
proses pencarian mitra koalisi, saya berpendapat seharusnya skala prioritasnya
ke PDIP ketimbang yang lain. Mengapa demikian? PDIP punya capres yang paling potensial
elektabilitasnya dari yang lain. Dengan kecepatan merapat ke PDIP, Golkar bisa
memainkan peran dalam merancang dan menentukan langkah politik selanjutnya.
Tetapi,
rupanya Golkar tidak bisa lincah, justru karena Aburizal diberati status resmi
yang disandangnya sebagai capres Golkar. Status itu belum dicabut melalui Rapat
Pimpinan Nasional (Rapimnas), ketika Aburizal berikhtiar menjalin komunikasi
politik dengan yang lain. Komunikasi menjadi keharusan, mengingat persyaratan
dukungan elektoral Golkar tidak cukup baginya untuk mengajukan capres-cawapres
sendiri.
Realitas
demikian menghempaskan Aburizal dari impiannya memegang boarding pass pilpres.
Kartu politik Aburizal pun tidak leluasa dimainkan, karena lemahnya kemampuan
dalam meyakinkan yang lain. Dengan kata lain, Aburizal tidak bisa menjadi
magnet politik yang kuat dalam menginisiasi poros pilpres. Sebaliknya pihaknya
lebih banyak ditentukan oleh yang lain.
Dari
ranah internal, gagasan politik yang lebih realistis hadir dari Dewan
Pertimbangan yang mengajukan tiga nama tokoh Golkar yang boleh diambil partai
lain sebagai cawapres. Mereka adalah Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Luhut
Panjaitan.
Dari
sisi tersebut, Golkar perlu dihitung kekuatannya secara formal dan informal.
Bagi PDIP yang sudah punya boarding pass pilpres, pertimbangan dukungan formal
Golkar, mungkin bisa diabaikan. Tetapi kekuatan informalnya perlu dicermati,
terutama dari sisi kekuatan tokoh dan daya magnet politiknya. Aburizal bisa
menurunkan statusnya menjadi bakal cawapres, tapi kalaulah demikian ia segera
masuk ke barisan tokoh Golkar yang akan dinilai pihak lain. Misalnya, apakah
Aburizal lebih tepat mendampingi Jokowi dibandingkan dengan Akbar Tandjung,
Jusuf Kalla, Luhut Pandjaitan atau yang lain?
Dalam
konteks ini, saya berpendapat cawapres Jokowi hendaknya politikus yang andal
dalam mengelola potensi konflik dan menggalang dukungan parlemen. Kalau tidak,
potensi instabilitas politik demikian tinggi dalam konstelasi parlemen
multipartai dewasa ini. Kuncinya tetap pada keandalan para elitenya menggalang
konsensus dan mengelola konflik. Golkar punya stok ke arah ciri-ciri demikian.
Lagi pula, fleksibilitas Golkar membuat koalisi lebih terjamin.
PDIP
dan Golkar sesungguhnya punya pengalaman sejarah Koalisi Kebangsaan pada
pilpres 2004. Di bawah Akbar Tandjung, Golkar tetap konsisten kendati koalisi
berada di luar pemerintahan. Namun, fenomena yang mengemuka kemudian, Golkar
formal, yang pro-koalisi kebangsaan, secara faktual segera tenggelam oleh
kekuatan informal Jusuf Kalla yang merebut kendali Golkar pada Musyawarah
Nasional (Munas) 2004. Meski demikian, pengalaman koalisi kebangsaan tetap
menegaskan adanya persambungan frekuensi politik Golkar-PDIP.
Dari
sisi ini, hendaknya pendukung Jokowi bisa memahami bahwa, dalam politik,
sesuatu yang sangat ideal tidak serta-merta mudah diwujudkan. Rasionalitas
politik tetap harus mengemuka. Kerja sama politik terbuka, bahkan dengan partai
yang kurang disukai sekalipun, sesungguhnya merupakan hal yang lazim. Maka
Golkar pun bukan sesuatu yang harus dipandang negatif bagi Jokowi.
Sumber:
Koran Tempo, 16 Mei 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!