Penyidik Polres
Lembata sudah melayangkan surat panggilan kepada Ketua DPRD Lembata Yohanes
Derosari dan Ketua Pansus I Simon Geletan Krova untuk memberikan keterangan
terkait dugaan pemalsuan dokumen hasil keputusan Paripurna tentang usulan
pemberhentian Bupati Lembata ke Mahkama Agung (MA) RI.
Hal ini disampaikan
Kasat Reskrim Polres Lembata Iptu Aba Meang kepada wartawan di ruang kerjanya
Jumat (16/5). Dia mengatakan, laporan Bupati Lembata itu sedang
ditindaklanjuti, salah satunya dengan mengirim 2 orang penyidik ke MA untuk
memeriksa dokumen.
“Soal dugaan itu
saya belum bisa jelaskan, prinsipnya laporan bupati itu sedang kita
tindaklanjuti. Kita juga sudah surati ketua DPRD dan Ketua Pansus I untuk
datang memberikan keterangan pada hari Selasa 20 Mei mendatang,” kata Aba
Meang.
Sementara Ketua
DPRD Lembata Yohanes Derosari mengaku tak gentar menghadapi gugatan orang nomor
1 di Lembata. Dirinya akan kooperatif dan siap memberikan keterangan jika di
panggil pihak Penyidik Polres Lembata.
“Kita kooperatif
dan siap memberikan keterangan di depan penyidik. Tetapi sampai sekarang kami
belum mendapat panggilan dari Polisi,” kata Ketua DPRD Lembata Yohanes
Derosari.
Ditanya mengenai
dokumen yang diduga dipalsukan, Derosari yang dikonfirmasi di ruang kerjanya
Jumat (16/5) mempertanyakan dokumen apa yang menurut bupati dipalsukan. Dia
mengatakan, jika dokumen yang dimaksudkan Bupati adalah dokumen usulan
pembehentian, maka Ketua DPRD yang biasa disapa Hoat itu mengatakan dokumen itu
milik DPRD Lembata yang diputuskan melalui paripurna.
Kotrol DPRD Bukan
Kriminal
Bupati Lembata
dinilai tidak mampu dalam mengelola hubungan antar institusi terutama institusi
pemerintah dan DPRD. Anehnya ketika DPRD melakukan kontrol selalu dipandang
sebagai bentuk pencemaran nama baik dan penghinaan, padahal kontrol DPRD itu
dilakukan atas kekuasaan yang diberikan kepadanya
Hal ini disampaikan
Bediona Philipus melalui kontak telepon kepada floresbangkit beberapa waktu
lalu. Bediona ketika itu dikonfrimasi untuk dimintai tanggapannya terkait
gugatan Bupati Lembata kepada dirinya juga kepada institusi DPRD.
“Pernyataan-pernyataan
yang saya sampaikan melalaui media massa itu sebagai bentuk kontrol saya
sebagai anggota DPRD. Melapor itu haknya, tetapi dia harus sadar bahwa dia
Bupati dan Bupati itu seseorang yang disamping diberi kekuasaan sekaligus
didudukan di bawah kontrol atas kekuasaan diberikan kepadanya dan kontrol itu
bukan kriminal. Kontrol itu sesuatu yang melekat dengan kekuasaan yang
diberikan dalam konteks demokrasi,” kata Bediona Philipus.
Ipi demikian
Bediona dikenal merasa aneh, karena Bupati Lembata selalu melihat kontrol DPRD
itu sebagai bentuk penghinaan dan pencemaran nama baik. Padangan Bupati itu
dinilai Ipi sebagai bentuk pendangkalan terhadap fungsi kontrol yang dilakukan
olehnya dalam jabatan selaku anggota DPRD Lembata.
Lebih jauh terkait
fungsi kontrol DPRD, Bediona menjelaskan bahwa di Indonesia di berlakukan juga
hukum khusus untuk menggantikan pasal-pasal KUHP terutama tentang pasal
penhinaan dan pencemaran nama baik, yakni Undang-Undang tentang MPR, DPD, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten yang mengatur tentang fungsi kontrol DPRD, juga pasal 1 poin
11 dan 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang mengatur tentang
hak jawab dan hak koreksi.
“Saya tidak bicara
tentang Yance kalau Yance bukan Bupati, tetapi karena saya DPRD dan Bupatinya
adalah Yance maka saya berhak menyampaikan kontrol melalui forum paripurna dan
diluar forum paripurna. Dan Bupati tidak bisa menggunakan pasal KUHP untuk menjerat
saya karena pernyataan saya dan saya percaya polisi mengerti kostelasi hukum
itu,” lanjut Bediona.
Perubahan Dokumen
Bukan Pemalsuan
Sementara terkait
laporan Bupati terhadap DPRD tentang dugaan pemalsuan dokumen, Bediona menilai
dokumen itu dibuat DPRD dan diserahkan kepada institusi berbeda untuk satu
tujuan tertentu. Laporan sebagaimana termuat dalam dokumen dimaksud diserahkan
oleh publik lembata melalui forum paripurna.
Isi laporan yang
diberikan publik itu merupakan laporan sederhana yang pada intinya dimengerti
oleh publik. Karena itu DPRD merasa perlu untuk mempertajam pada bagian
tertentu sebelum diserahkan agar dapat dimengerti oleh MA. Menurut Bediona,
polisi mesti memahami konteks pelaksanaan tugas DPRD.
“Sah-sah saja
Bupati menggunakan isu pemalsuan untuk pembelaan diri, tinggal MA yang menilai.
Harus dipahami bahwa, sebuah perubahan dokumen yang disesuaikan dengan konteks
laporan bukanlan sebuah pemalsuan,” kata Bediona.
Terkait gugatan
Bupati terhadap institusi DPRD itu, Bediona mengaku yakin bila polisi bisa
membedakan pembelaan diri yang dilakukan oleh Bupati dengan konteks kerja DPRD.
Sumber: floresbangkit.com,
18 Mei 2014
Ket foto: Bediona
Philipus
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!