Oleh Romo Aloys
Budi Purnomo
Budayawan
Interreligious &
Wakil Ketua FKUB
Jawa Tengah
Baru-baru ini
beredar guyonan politik yang diberi label “persamaan dan perbedaan Jokowi dan
Jesus (baca: Yesus)”. Menurut guyonan tersebut, ternyata ada persamaan yang
signifikan antara Jokowi dan Jesus. Paling tidak, ada lima persamaan dan hanya
ada satu perbedaan.
Kelima persamaan
itu, pertama, keduanya sama-sama berinisial huruf J. Kedua, baik Jesus maupun
Jokowi sama-sama anak tukang kayu. Ketiga, keduanya sama-sama mencintai rakyat
kecil, tersingkir, dan difabel. Keempat, sama seperti Jesus, Jokowi suka
blusukan, menjumpai rakyat kecil. Kelima, konon keduanya sama-sama berasal dari
Jawa Tengah. Nah, dalam persamaan kelima ini terdapat perbedaan. Meskipun
sama-sama berasal dari Jawa Tengah, Jokowi adalah orang Solo, sedangkan Jesus
orang “Kudus”.
Guyonan itu hemat
saya merupakan harapan. Kami umat Kristiani, terutama saya sebagai orang
Katolik yang notabene juga seorang pastor, tidak merasa tersinggung dengan
guyonan itu. Tidak masalah Jokowi disandingkan dengan Jesus. Itu bukan
pelecehan, juga bukan penghinaan! Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul membaca
atau mendengar guyonan tersebut. Dipastikan pula Ia tidak marah.
Jangankan disamakan
dengan Jokowi yang menjadi tokoh fenomenal dan kerinduan masyarakat kecil
menjadikannya pemimpin masa depan, Jesus bahkan menyamakan diri dengan mereka
yang lapar, haus, yang telanjang, terpenjara, sakit, dan orang asing (Matius
25:30). Jesus berkata, “Apa pun yang kamu lakukan untuk salah satu dari
saudaraku yang paling hina itu, kamu lakukan untuk Aku!”
Teologi “Blusukan”
Jauh hari –ribuan
tahun silam– sebelum Jokowi, Jesus memang punya hobi blusukan. Kehadiran-Nya di
dunia sebagai “Sang Sabda yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita”
(Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana. Blusukan itulah yang disebut
penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia. Itulah teologi inkarnasi.
Dalam perspektif
iman Kristiani, Jesus disebut “Putra Allah yang Mahatinggi”, yang sejak awal
mula bersama-sama dengan Alah dalam kesatuan kasih mesra. Namun karena begitu
besar kasih Allah terhadap dunia, Allah berkenan mengutus Putra yang tunggal ke
dunia agar setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (bandingkan
Yohanes 3:16). Percaya kepada-Nya tentu saja tidak boleh dipahami saklek harus
menjadi Kristiani dan dibaptis formal.
Karl Rahner
berterminologi yang disebut baptis batin, yakni semua orang yang menerima
keberadaan-Nya dan percaya Dialah Sang Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam
setiap tindakan baik, benar, dan suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Lumen
Gentium (LG) dan Nostra Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak menolak apa pun
yang serbabenar, baik, dan suci, yang ada dalam setiap agama dan kebudayaan
sebagai hal yang tidak berlawanan dengan Jesus Kristus (bandingkan LG 16 dan NA
2).
Jesus Kristus itu
unik sekaligus universal. Tak heran tokoh Hindu dan pemimpin India bernama
Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran
ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh politis India tersebut sangat menghayati sabda
bahagia yang menjadi bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan Jesus dan
dicatat dalam Injil.
Itulah teologi
blusukan Putra Allah yang Mahatinggi, yang menjadi manusia dalam diri Jesus,
yang dikandung dan dilahirkan perawan Maria, yang wafat disalibkan pada masa
pemerintahan Pontius Pilatus. Namun, ia bangkit dari maut pada hari ketiga dan
menjadi tokoh sentral dalam kristianitas.
Blusukan-Nya
mendatangkan keselamatan universal bagi semua orang, yang mengimani Dia, maupun
yang tidak mengimani-Nya, bahkan yang memusuhi-Nya. Itu karena Ia pun berdoa
bagi orang-orang yang menyalibkan-Nya agar diampuni Allah, yang disebut-Nya
Bapa, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat (Lukas 23:34 dan paralelnya).
Pastoral “Blusukan”
Bagi Jesus,
blusukan bukan sekadar pencitraan, melainkan misi pastoral. Sejak awal
penampilan-Nya di publik, Jesus selalu dekat dengan rakyat kecil, utamanya
mereka yang dicap pendosa. Orang-orang miskin dan tertindas adalah orientasi
hidup-Nya.
Jesus memerhatikan
orang-orang yang dalam Injil disebut dengan berbagai istilah, namun menunjuk
pada realitas yang sama, rakyat. Mereka adalah orang miskin, buta, lumpuh,
kusta, lapar, sengsara, yang menangis, pendosa, pelacur, pemungut cukai,
kerasukan setan, teraniaya, terinjak, terpenjara, yang bebannya terlalu berat,
rakyat jembel yang tidak tahu hukum, orang kebanyakan, orang kecil, yang
terkecil, yang terakhir, dan anak-anak, bahkan, yang laksana domba-domba
tersesat dan hilang.
Termasuk dalam
kelompok ini adalah para janda dan yatim, buruh yang tidak mempunyai keahlian,
para petani yang tidak mempunyai tanah alias buruh tani, dan para budak.
Keempat Injil menyembut mereka semua. Merekalah yang menjadi subjek kehadiran
Jesus. Jesus membela mereka, bukan membeli mereka dengan politik uang.
Jesus menjadi tokoh
ideal yang berpraksis bela rasa dan solider kepada korban, bukan kepada
penguasa dan pemilik modal. Itulah buah teologi blusukan dan praksis dari
pastoral blusukan Jesus.
Akibatnya, Jesus
dijatuhi hukuman mati, bahkan dianggap pemberontak. Tanda-tanda mukjizat dan
buah-buah pastoral blusukan-Nya tidak dianggap. Dia justru dituduh menggunakan
ilmu sihir dan menyesatkan rakyat. Begitulah, para pemuka agama dan politikus
busuk yang memusuhi-Nya kemudian bersekongkol dengan prokurator Romawi bernama
Pontius Pilatus. Jesus dijatuhi hukuman mati.
Justru dengan cara
itu, Jesus menghadirkan otentisitas visi-misi kepemimpinan sejati. Seorang
pemimpin bukan hanya berkata-kata dan membualkan janji, melainkan mewujudkan
setiap kalimat dengan tindakan. Satunya kata dan perbuatan diwujudkan dalam
ketulusan, keikhlasan, dan kerendahan hati.
Kalaupun Jokowi
disandingkan dengan Jesus dalam guyonan politik, semoga itu tidak menjadikannya
jemawa. Justru itu menjadi inspirasi agar Jokowo kian berani berpihak kepada
rakyat.
Semoga
pencalonannya sebagai presiden pun bukan karena haus kekuasaan, melainkan
karena lapar dan haus kebenaran untuk mewujudkan keadilan, kerukunan, dan
kesejahteraan bagi rakyat. Bila memang begitu, tentu kita yang berpikiran waras
tetap ikhlas mendukung tekadnya membangun bangsa yang damai dan sejahtera.
Tentu kita
berharap, semakin banyaklah di antara kita yang menjadikan kehidupan Jesus
sebagai inspirasi untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, kerukunan,
kesejahteraan, dan keselamatan, apa pun iman dan agamanya. Selamat Paskah
kepada umat kristiani. Tuhan memberkati bangsa ini dengan damai dan sejahtera.
Sumber:
ucanews.com, 19 April 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!