Headlines News :
Home » » Mempertahankan Hutan Keam hingga Titik Darah Terakhir

Mempertahankan Hutan Keam hingga Titik Darah Terakhir

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, May 10, 2014 | 8:30 AM


Memasuki ibu kota Kabupaten Lembata di Lewoleba, Nusa Tenggara Timur, terhampar hutan rimba jenis hutan hujan tropis dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Warga setempat menyebutnya Hutan Keam. Kawasan seluas hampir 10 hektar itu membentang di sepanjang Pelabuhan Lewoleba. Hutan Keam itu milik masyarakat adat yang dipimpin Aloysius Laurensius Wadu yang dibunuh 8 Juni 2013 di lokasi itu. Kematian Wadu terkait upaya mempertahankan kawasan itu.

Aloysius Laurensius (AL) Wadu (67), Kepala Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Lembata periode 2009-2012, meninggal di hutan itu. Ia dibunuh oleh 12 pelaku. Mereka kini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Lembata.

Pembunuhan terhadap AL Wadu dilakukan secara terncana dan memiliki kepentingan tertentu. Sesuai rencana tata ruang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata, di lahan 10 hektar itu akan dibangun hotel bintang lima, tempat wisata kuliner, kawasan keanekaragaman hayati, kolam air mancur, balai serbaguna, taman bermain anak, menara air minum, lapangan golf, rumah adat, area parkir, dan kantor pengelola.

Lahan tersebut milik lima kepala suku dan AL Wadu ditunjuk sebagai juru bicara sekaligus mempertahankan hutan itu. Almarhum mati-matian menolak menyerahkan hutan hujan tropis itu kepada siapapun, termasuk Pemkab Lembata. Ia menginginkan tanah itu tetap menjadi hutan kota.

Pemkab diberi kesempatan mengelola hutan itu menjadi kawasan ekowisata tanpa harus membangun hotel atau membabat hutan. Hutan Keam saat ini menjadi salah satu hutan terbaik di kawasan pesisir di pulau itu. Di hutan itu terdapat sekitar 167 jenis tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis, 65 jenis burung (11 jenis endemik Lembata), dan 3 sumber mata air.

Marthen Keam, salah satu menantu almarhum, mengatakan, AL Wadu selalu berpesan kepada anak-anaknya, hutan itu tidak boleh dijual. Uang dapat diperoleh kapan pun, tetapi tanah dan hutan sulit diperoleh. Jika hutan habis, pesisir Lewoleba terancam abrasi luar biasa.

Sementara Pemkab Lembata tetap berupaya memiliki lahan itu untuk berbagai kegiatan. Mereka membujuk AL Wadu menyerahkan lahan, tetapi tidak berhasil. Padahal, Pemkab telah memberikan jabatan kepada anak-anak dan saudara kandung almarhum yang kini menjadi salah satu terdakwa.

Pertemuan antara Pemkab, beberapa anggota DPRD, dan PNS berlangsung di Lewoleba dan Makassar, membahas bagaimana upaya medapatkan tanah itu dari AL Wadu. Jika tanah itu telah dikuasai, akan segera dibangun hotel bintang lima oleh Kalla Group.

Langkah terakhir yang ditempuh Pemkab Lembata selama adalah membebaskan jalan sepanjang hampir 1 kilometer yang melintasi kawasan hutan itu dengan nilai ganti rugi sekitar Rp 275 juta. Dana pembebasan jalan telah diserahkan kepada para pemilik lahan, termasuk AL Wadu.

“Tanah darah”

Anton Lawe Miten (54), salah satu pemilik lahan Hutan Keam, mengatakan, tanah itu telah menelan korban. Secara adat, tanah itu telah dikuasai darah dan menjadi “tanah darah”. Karena itu, tanah tidak dapat dikuasai siapa pun. Kawasan itu harus dibiarkan menjadi hutan lindung.

“Almarhum tinggal di dalam hutan itu dan sampai mati dibunuh pun dia tetap di kawasan itu. Dia dibunuh pada Sabtu, 8 Juni, sekitar pukul 19.30 Wita secara beramai-ramai,” kata dia.

Terlepas dari kasus kriminal yang melibatkan sejumlah unsur Pemkab dan eksekutif di Lembata, perjuangan AL Wadu mempertahankan Hutan Keam patut diberi penghargaan dan dukungan moral. AL Wadu paham tata ruang kota di masa datang serta bagaimana menjaga dan merawat sebuah kota yang sejuk, asri, dan tetap hijau.

Hatatan harian yang ditulis AL Wadu sebelum kematian mengatakan, “Saya menginginkan hutan itu menjadi pusat pembelajaran generasi muda mengenai keanekaragaman hayati, tumbuhan, dan hewan endemik Lembata. Di sini terdapat tanaman obat-obatan tradisional warisan leluhur yang masih dipercaya sebagian besar masyarakat Lembata.”

Atas dasar itu, AL Wadu menginginkan kawasan hutan seluas 10 hektar itu dikelola menjadi ekowisata. Namun, pemahamannya tidak selajan dengan rencana Pemkab Lembata.

DPRD setempat pun belum mendapat laporan resmi Pemkab terkait rencana pengelolaan Hutan Keam. Akan tetapi, beberapa di antara mereka telah memiliki proposal perencanaan tata ruang kota Lewoleba, di antaranya mengubah Hutan Keam menjadi kawasan perhotelah, gedung serbaguna, dan lainnya.

Paskalis Da Cunha, salah satu pengacara terdakwa, membenarkan, kehadiran mereka sebagai pengacara di PN Lembata atas undangan Bupati Lembata. Meski demikian, ia sendiri tidak paham apakah undangan Bupati itu secara pribadi atau atas nama Pemkab Lembata.

“Kami sudah bertemu Bupati. Kami diminta membantu mendampingi anggota DPRD Lembata, Tolis Ruing dan Omy Wuwur, dan tiga PNS yang terlibat dalam kasus pembunuhan itu. Tetapi belum tahu apakah permintaan Bupati secara pribadi atas atas nama Pemkab Lembata,” kata Da Cunha.

Kepala Bidang Humas Polda NTT Ajun Komisaris Besar Okto George Riwu mengatakan, proses sidang terkait kematian AL Wadu sedang berlangsung. Apakah masih ada pelaku lain atau tidak, itu tergantung persidangan.
Sumber: Kompas, 8 Mei 2014
Ket foto: Almarhum Aloysius Laurensius Wadu
Sumber foto:Koleksi pribadi
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger