Memasuki ibu kota Kabupaten Lembata di Lewoleba,
Nusa Tenggara Timur, terhampar hutan rimba jenis hutan hujan tropis dengan
keanekaragaman hayati di dalamnya. Warga setempat menyebutnya Hutan Keam.
Kawasan seluas hampir 10 hektar itu membentang di sepanjang Pelabuhan Lewoleba.
Hutan Keam itu milik masyarakat adat yang dipimpin Aloysius Laurensius Wadu
yang dibunuh 8 Juni 2013 di lokasi itu. Kematian Wadu terkait upaya
mempertahankan kawasan itu.
Aloysius Laurensius (AL) Wadu (67), Kepala Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Lembata periode 2009-2012, meninggal di hutan itu. Ia dibunuh oleh 12 pelaku. Mereka kini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Lembata.
Pembunuhan terhadap AL Wadu dilakukan secara
terncana dan memiliki kepentingan tertentu. Sesuai rencana tata ruang
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata, di lahan 10 hektar itu akan dibangun
hotel bintang lima, tempat wisata kuliner, kawasan keanekaragaman hayati, kolam
air mancur, balai serbaguna, taman bermain anak, menara air minum, lapangan
golf, rumah adat, area parkir, dan kantor pengelola.
Lahan tersebut milik lima kepala suku dan AL Wadu
ditunjuk sebagai juru bicara sekaligus mempertahankan hutan itu. Almarhum
mati-matian menolak menyerahkan hutan hujan tropis itu kepada siapapun,
termasuk Pemkab Lembata. Ia menginginkan tanah itu tetap menjadi hutan kota.
Pemkab diberi kesempatan mengelola hutan itu menjadi
kawasan ekowisata tanpa harus membangun hotel atau membabat hutan. Hutan Keam
saat ini menjadi salah satu hutan terbaik di kawasan pesisir di pulau itu. Di
hutan itu terdapat sekitar 167 jenis tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis, 65
jenis burung (11 jenis endemik Lembata), dan 3 sumber mata air.
Marthen Keam, salah satu menantu almarhum,
mengatakan, AL Wadu selalu berpesan kepada anak-anaknya, hutan itu tidak boleh
dijual. Uang dapat diperoleh kapan pun, tetapi tanah dan hutan sulit diperoleh.
Jika hutan habis, pesisir Lewoleba terancam abrasi luar biasa.
Sementara Pemkab Lembata tetap berupaya memiliki
lahan itu untuk berbagai kegiatan. Mereka membujuk AL Wadu menyerahkan lahan,
tetapi tidak berhasil. Padahal, Pemkab telah memberikan jabatan kepada
anak-anak dan saudara kandung almarhum yang kini menjadi salah satu terdakwa.
Pertemuan antara Pemkab, beberapa anggota DPRD, dan
PNS berlangsung di Lewoleba dan Makassar, membahas bagaimana upaya medapatkan
tanah itu dari AL Wadu. Jika tanah itu telah dikuasai, akan segera dibangun
hotel bintang lima oleh Kalla Group.
Langkah terakhir yang ditempuh Pemkab Lembata selama
adalah membebaskan jalan sepanjang hampir 1 kilometer yang melintasi kawasan
hutan itu dengan nilai ganti rugi sekitar Rp 275 juta. Dana pembebasan jalan
telah diserahkan kepada para pemilik lahan, termasuk AL Wadu.
“Tanah darah”
Anton Lawe Miten (54), salah satu pemilik lahan
Hutan Keam, mengatakan, tanah itu telah menelan korban. Secara adat, tanah itu
telah dikuasai darah dan menjadi “tanah darah”. Karena itu, tanah tidak dapat
dikuasai siapa pun. Kawasan itu harus dibiarkan menjadi hutan lindung.
“Almarhum tinggal di dalam hutan itu dan sampai mati
dibunuh pun dia tetap di kawasan itu. Dia dibunuh pada Sabtu, 8 Juni, sekitar
pukul 19.30 Wita secara beramai-ramai,” kata dia.
Terlepas dari kasus kriminal yang melibatkan
sejumlah unsur Pemkab dan eksekutif di Lembata, perjuangan AL Wadu
mempertahankan Hutan Keam patut diberi penghargaan dan dukungan moral. AL Wadu
paham tata ruang kota di masa datang serta bagaimana menjaga dan merawat sebuah
kota yang sejuk, asri, dan tetap hijau.
Hatatan harian yang ditulis AL Wadu sebelum kematian
mengatakan, “Saya menginginkan hutan itu menjadi pusat pembelajaran generasi
muda mengenai keanekaragaman hayati, tumbuhan, dan hewan endemik Lembata. Di
sini terdapat tanaman obat-obatan tradisional warisan leluhur yang masih
dipercaya sebagian besar masyarakat Lembata.”
Atas dasar itu, AL Wadu menginginkan kawasan hutan
seluas 10 hektar itu dikelola menjadi ekowisata. Namun, pemahamannya tidak
selajan dengan rencana Pemkab Lembata.
DPRD setempat pun belum mendapat laporan resmi
Pemkab terkait rencana pengelolaan Hutan Keam. Akan tetapi, beberapa di antara
mereka telah memiliki proposal perencanaan tata ruang kota Lewoleba, di
antaranya mengubah Hutan Keam menjadi kawasan perhotelah, gedung serbaguna, dan
lainnya.
Paskalis Da Cunha, salah satu pengacara terdakwa,
membenarkan, kehadiran mereka sebagai pengacara di PN Lembata atas undangan
Bupati Lembata. Meski demikian, ia sendiri tidak paham apakah undangan Bupati
itu secara pribadi atau atas nama Pemkab Lembata.
“Kami sudah bertemu Bupati. Kami diminta membantu
mendampingi anggota DPRD Lembata, Tolis Ruing dan Omy Wuwur, dan tiga PNS yang
terlibat dalam kasus pembunuhan itu. Tetapi belum tahu apakah permintaan Bupati
secara pribadi atas atas nama Pemkab Lembata,” kata Da Cunha.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Ajun Komisaris Besar
Okto George Riwu mengatakan, proses sidang terkait kematian AL Wadu sedang
berlangsung. Apakah masih ada pelaku lain atau tidak, itu tergantung
persidangan.
Sumber: Kompas, 8 Mei 2014
Ket foto: Almarhum Aloysius Laurensius Wadu
Sumber foto:Koleksi pribadi
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!