Headlines News :
Home » , » Koalisi di Tikungan Terakhir

Koalisi di Tikungan Terakhir

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 20, 2014 | 3:12 PM


Oleh Syamsuddin Haris
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

MESKIPUN dalam beberapa hari ini arah koalisi partai politik pendukung calon presiden mulai agak jelas, keputusan final sebenarnya baru diambil di menit-menit terakhir. Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akhirnya menjadi dua pasangan pengantin Pemilu Presiden 2014. Mengapa begitu alot? Mengapa Partai Golkar justru memilih mendukung Prabowo-Hatta?

Sulit dimungkiri bahwa pembentukan poros koalisi pengusungan capres 2014 cenderung lebih alot dibandingkan Pilpres 2004 dan 2009. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, tak satu pun parpol yang memperoleh mandat untuk mengusung pasangan capres-cawapres tanpa kewajiban berkoalisi dengan parpol lainnya, termasuk bagi parpol pemenang pemilu, PDI-P, yang ternyata hanya memperoleh 18,95 persen suara.

Artinya, tak satu pun parpol yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden—yakni memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara hasil pemilu legislatif secara nasional—tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain.

Kedua, peta kekuatan 10 parpol hasil pemilu legislatif menyebar sedemikian rupa sehingga hampir semua parpol di luar PDI-P yang mengusung Jokowi dan Gerindra yang menominasikan Prabowo memiliki posisi tawar relatif tinggi dalam berkoalisi. Akibatnya, muncul situasi saling menjajaki sekaligus saling menunggu satu sama lain. Jadi, meskipun komunikasi politik, silaturahim, dan saling berkunjung antar-petinggi parpol sangat intens, mereka cenderung saling mengunci satu sama lain.

Ketiga, sejak awal Jokowi selaku capres yang diusung oleh PDI-P sudah membuat rambu-rambu koalisi yang diinginkannya, yakni koalisi berbasis kesamaan haluan (platform) politik dan "ramping" dari segi jumlah parpol yang turut berkoalisi. Konsekuensi logis dari rambu-rambu Jokowi ini adalah munculnya tarik ulur dukungan karena harapan petinggi parpol akan kompensasi kekuasaan atas dukungan politik yang diberikan tidak kunjung diperoleh dari Jokowi dan PDI-P.

Bisa jadi, soal "siapa mendapat apa, bagaimana, dan mengapa" merupakan bagian yang paling alot dari negosiasi koalisi, termasuk di kubu Prabowo dan Partai Gerindra. Tidak mengherankan jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat mengancam untuk tidak bergabung ke poros Gerindra apabila Prabowo secara sepihak memutuskan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa sebagai cawapres.

Keempat, sejumlah lembaga survei sudah mengonfirmasi jauh-jauh hari sebelumnya, hanya ada dua capres yang bisa menjadi "magnet" dalam Pilpres 2014, yakni Jokowi dan Prabowo.

Oleh karena itu, sejak awal tidak ada petinggi parpol yang berminat berkoalisi dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat. Walaupun Golkar merupakan pemenang kedua pemilu legislatif dan Aburizal Bakrie sebagai capres sudah diputuskan sejak Rapat Pimpinan Nasional 2012, para politisi tidak melihat potensi Ketua Umum Golkar ini bersaing dengan Jokowi dan Prabowo. Apalagi, hasil-hasil survei menunjukkan elektabilitas Aburizal cenderung stagnan.

Nasib yang sama dialami Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meskipun Partai Demokrat menyelenggarakan konvensi untuk menentukan capres yang akan diusung, sejak awal konvensi ala SBY tersebut diragukan mampu mewadahi seleksi capres secara bermutu. Dahlan Iskan yang memenangi konvensi bahkan harus gigit jari karena tidak dihargai oleh SBY dan internal Demokrat. Betapa tidak, para petinggi Partai Demokrat justru mewacanakan hendak mengusung Sultan Hamengku Buwono X atau Pramono Edhie Wibowo sebagai capres kendati akhirnya kandas juga.

Berbagai faktor yang dikemukakan di atas akhirnya menggagalkan munculnya poros koalisi yang ketiga. Semula berbagai kalangan berharap Golkar dan Demokrat bisa saling berkoalisi agar tersedia pilihan selain Jokowi dan Prabowo. Namun, tidak ada antusiasme di Demokrat, khususnya SBY, dalam mengajak Golkar berkoalisi, mungkin karena berkali-kali merasa tertipu oleh "Partai Beringin".

Sebaliknya, Golkar juga tidak begitu berharap berkoalisi dengan Demokrat. Bukan hanya karena popularitas "Partai Segitiga Biru" yang benar-benar anjlok, melainkan juga karena SBY tampaknya cenderung menawarkan sang adik ipar, Pramono Edhie Wibowo, ketimbang pemenang konvensi.

Politik dua kaki

Pilihan Aburizal yang memperoleh mandat Rapimnas 2014 untuk membawa Golkar berkoalisi dengan Prabowo dan Gerindra sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sebagaimana pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar adalah parpol "licin" yang tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkuasa.

Pada 2004, meskipun Wiranto-Salahuddin Wahid selaku capres-cawapres Golkar gagal dalam pilpres putaran pertama, begitu pula Koalisi Kebangsaan yang mengusung Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan didukung Golkar kalah pada putaran kedua, Golkar tetap memperoleh bagian kekuasaan melalui Jusuf Kalla yang berpasangan dengan SBY. Sementara itu, pada 2009, Golkar mengusung Jusuf Kalla-Wiranto sebagai capres-cawapres, tetapi lagi-lagi takluk oleh pasangan SBY-Boediono. Namun, hampir semua orang tahu, Golkar yang kalah pilpres justru memperoleh jatah menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 yang tak kalah banyak dibandingkan dengan parpol lain yang benar-benar berkeringat.

Pada Pilpres 2014, Golkar tampaknya tak mau kehilangan kesempatan memperoleh "kue kekuasaan" kendati gagal mencapreskan Aburizal. Karena itu, pilihan paling aman bagi Golkar adalah mendukung pengusungan kader sekaligus mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla sebagai cawapres Jokowi di satu pihak dan berkoalisi dengan Gerindra yang mengusung Prabowo-Hatta Rajasa di pihak lain. Dengan demikian, siapa pun pemenang Pilpres 2014, entah Jokowi atau Prabowo, Golkar turut andil di dalamnya, dan tentu saja berharap memperoleh bagian kekuasaan seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Keputusan Golkar bergabung dengan Prabowo dapat dikatakan sebagai strategi jitu untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Aburizal selaku pemegang mandat Rapimnas Golkar 2014 tampaknya tidak mau tenggelam dalam kebimbangan seperti dialami oleh SBY dan Partai Demokrat yang akhirnya memilih tidak turut ambil bagian dalam salah satu poros koalisi.

Implikasi format koalisi

Bagaimana implikasi format dua poros koalisi Pilpres 2014? Secara jumlah, koalisi "ramping" yang dibayangkan Jokowi barangkali memang terwujud karena selain PDI-P (109 kursi), hanya ada Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Nasdem (35 kursi), dan Hanura (16 kursi) sebagai partner koalisi. Dengan demikian, sebuah kabinet ahli atau profesional bisa dibentuk jika Jokowi-Jusuf Kalla memenangi pilpres. Artinya, Jokowi dan PDI-P tidak harus menghitung bagi-bagi kekuasaan secara berlebihan sebagai "balas jasa" bagi parpol yang berkeringat. Pengalaman selama 10 tahun pemerintahan SBY memperlihatkan Kabinet Indonesia Bersatu yang didominasi wakil parpol berdampak terhadap kinerja pemerintahan yang tidak maksimal.

Namun, yang kurang dihitung oleh Jokowi adalah relatif kecilnya jumlah kursi PDI-P sebagai basis politik Jokowi di DPR. Dengan dukungan Nasdem dan PKB, koalisi pendukung Jokowi di parlemen nasional hanya 207 kursi atau 36,96 persen dari kekuatan DPR (560 kursi). Itu artinya, jika Jokowi-Jusuf Kalla menang Pilpres 2014 dan format koalisi tidak berubah, pemerintahannya kelak harus berjuang keras di Senayan agar kebijakan-kebijakan pemerintah tidak "diganggu" parpol oposisi di DPR.

Hal serupa berpotensi akan dialami Prabowo-Hatta Rajasa jika memenangi pilpres karena total kursi Gerindra, PAN, PKS, dan PPP hanya 201 kursi atau sekitar 35,8 persen dari kekuatan DPR. Namun, ketika Golkar turut serta dalam koalisi mendukung Prabowo-Hatta, total potensi kekuatan di Senayan menjadi 292 kursi atau 52,1 persen. Akan tetapi, angka-angka ini bukanlah jaminan bahwa pasangan capres-cawapres yang satu lebih menjanjikan dibandingkan dengan pasangan yang lain. Apalagi, politik bukan semata-mata soal hitungan suara atau kursi belaka. Apabila presiden terpilih kelak membuat kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan bangsa kita demi kejayaan Ibu Pertiwi, jumlah kursi atau suara bukan faktor yang menentukan. Di situ yang menentukan adalah sukacita rakyat menyaksikan pemimpinnya yang bekerja tulus untuk mereka.
Sumber: Kompas, 20 Mei 2014
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger