Oleh
Syamsuddin Haris
Profesor
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MESKIPUN
dalam beberapa hari ini arah koalisi partai politik pendukung calon presiden
mulai agak jelas, keputusan final sebenarnya baru diambil di menit-menit
terakhir. Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akhirnya
menjadi dua pasangan pengantin Pemilu Presiden 2014. Mengapa begitu alot?
Mengapa Partai Golkar justru memilih mendukung Prabowo-Hatta?
Sulit
dimungkiri bahwa pembentukan poros koalisi pengusungan capres 2014 cenderung
lebih alot dibandingkan Pilpres 2004 dan 2009. Ada beberapa faktor penyebabnya.
Pertama, tak satu pun parpol yang memperoleh mandat untuk mengusung pasangan
capres-cawapres tanpa kewajiban berkoalisi dengan parpol lainnya, termasuk bagi
parpol pemenang pemilu, PDI-P, yang ternyata hanya memperoleh 18,95 persen
suara.
Artinya,
tak satu pun parpol yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden—yakni
memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara hasil pemilu
legislatif secara nasional—tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain.
Kedua,
peta kekuatan 10 parpol hasil pemilu legislatif menyebar sedemikian rupa
sehingga hampir semua parpol di luar PDI-P yang mengusung Jokowi dan Gerindra
yang menominasikan Prabowo memiliki posisi tawar relatif tinggi dalam
berkoalisi. Akibatnya, muncul situasi saling menjajaki sekaligus saling
menunggu satu sama lain. Jadi, meskipun komunikasi politik, silaturahim, dan
saling berkunjung antar-petinggi parpol sangat intens, mereka cenderung saling
mengunci satu sama lain.
Ketiga,
sejak awal Jokowi selaku capres yang diusung oleh PDI-P sudah membuat
rambu-rambu koalisi yang diinginkannya, yakni koalisi berbasis kesamaan haluan
(platform) politik dan "ramping" dari segi jumlah parpol yang turut
berkoalisi. Konsekuensi logis dari rambu-rambu Jokowi ini adalah munculnya
tarik ulur dukungan karena harapan petinggi parpol akan kompensasi kekuasaan
atas dukungan politik yang diberikan tidak kunjung diperoleh dari Jokowi dan
PDI-P.
Bisa
jadi, soal "siapa mendapat apa, bagaimana, dan mengapa" merupakan
bagian yang paling alot dari negosiasi koalisi, termasuk di kubu Prabowo dan
Partai Gerindra. Tidak mengherankan jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat mengancam untuk tidak bergabung ke
poros Gerindra apabila Prabowo secara sepihak memutuskan Ketua Umum Partai
Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa sebagai cawapres.
Keempat,
sejumlah lembaga survei sudah mengonfirmasi jauh-jauh hari sebelumnya, hanya
ada dua capres yang bisa menjadi "magnet" dalam Pilpres 2014, yakni
Jokowi dan Prabowo.
Oleh
karena itu, sejak awal tidak ada petinggi parpol yang berminat berkoalisi
dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat. Walaupun Golkar merupakan pemenang
kedua pemilu legislatif dan Aburizal Bakrie sebagai capres sudah diputuskan
sejak Rapat Pimpinan Nasional 2012, para politisi tidak melihat potensi Ketua
Umum Golkar ini bersaing dengan Jokowi dan Prabowo. Apalagi, hasil-hasil survei
menunjukkan elektabilitas Aburizal cenderung stagnan.
Nasib
yang sama dialami Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Meskipun Partai Demokrat menyelenggarakan konvensi untuk
menentukan capres yang akan diusung, sejak awal konvensi ala SBY tersebut
diragukan mampu mewadahi seleksi capres secara bermutu. Dahlan Iskan yang
memenangi konvensi bahkan harus gigit jari karena tidak dihargai oleh SBY dan
internal Demokrat. Betapa tidak, para petinggi Partai Demokrat justru
mewacanakan hendak mengusung Sultan Hamengku Buwono X atau Pramono Edhie Wibowo
sebagai capres kendati akhirnya kandas juga.
Berbagai
faktor yang dikemukakan di atas akhirnya menggagalkan munculnya poros koalisi
yang ketiga. Semula berbagai kalangan berharap Golkar dan Demokrat bisa saling
berkoalisi agar tersedia pilihan selain Jokowi dan Prabowo. Namun, tidak ada
antusiasme di Demokrat, khususnya SBY, dalam mengajak Golkar berkoalisi,
mungkin karena berkali-kali merasa tertipu oleh "Partai Beringin".
Sebaliknya,
Golkar juga tidak begitu berharap berkoalisi dengan Demokrat. Bukan hanya
karena popularitas "Partai Segitiga Biru" yang benar-benar anjlok,
melainkan juga karena SBY tampaknya cenderung menawarkan sang adik ipar,
Pramono Edhie Wibowo, ketimbang pemenang konvensi.
Politik
dua kaki
Pilihan
Aburizal yang memperoleh mandat Rapimnas 2014 untuk membawa Golkar berkoalisi
dengan Prabowo dan Gerindra sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sebagaimana
pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar adalah parpol "licin"
yang tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkuasa.
Pada
2004, meskipun Wiranto-Salahuddin Wahid selaku capres-cawapres Golkar gagal
dalam pilpres putaran pertama, begitu pula Koalisi Kebangsaan yang mengusung
Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan didukung Golkar kalah pada putaran
kedua, Golkar tetap memperoleh bagian kekuasaan melalui Jusuf Kalla yang
berpasangan dengan SBY. Sementara itu, pada 2009, Golkar mengusung Jusuf
Kalla-Wiranto sebagai capres-cawapres, tetapi lagi-lagi takluk oleh pasangan
SBY-Boediono. Namun, hampir semua orang tahu, Golkar yang kalah pilpres justru
memperoleh jatah menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 yang tak kalah
banyak dibandingkan dengan parpol lain yang benar-benar berkeringat.
Pada
Pilpres 2014, Golkar tampaknya tak mau kehilangan kesempatan memperoleh
"kue kekuasaan" kendati gagal mencapreskan Aburizal. Karena itu,
pilihan paling aman bagi Golkar adalah mendukung pengusungan kader sekaligus
mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla sebagai cawapres Jokowi di satu pihak dan
berkoalisi dengan Gerindra yang mengusung Prabowo-Hatta Rajasa di pihak lain.
Dengan demikian, siapa pun pemenang Pilpres 2014, entah Jokowi atau Prabowo,
Golkar turut andil di dalamnya, dan tentu saja berharap memperoleh bagian
kekuasaan seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Keputusan
Golkar bergabung dengan Prabowo dapat dikatakan sebagai strategi jitu untuk
tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Aburizal selaku pemegang mandat
Rapimnas Golkar 2014 tampaknya tidak mau tenggelam dalam kebimbangan seperti
dialami oleh SBY dan Partai Demokrat yang akhirnya memilih tidak turut ambil
bagian dalam salah satu poros koalisi.
Implikasi
format koalisi
Bagaimana
implikasi format dua poros koalisi Pilpres 2014? Secara jumlah, koalisi
"ramping" yang dibayangkan Jokowi barangkali memang terwujud karena
selain PDI-P (109 kursi), hanya ada Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi),
Nasdem (35 kursi), dan Hanura (16 kursi) sebagai partner koalisi. Dengan
demikian, sebuah kabinet ahli atau profesional bisa dibentuk jika Jokowi-Jusuf
Kalla memenangi pilpres. Artinya, Jokowi dan PDI-P tidak harus menghitung
bagi-bagi kekuasaan secara berlebihan sebagai "balas jasa" bagi
parpol yang berkeringat. Pengalaman selama 10 tahun pemerintahan SBY
memperlihatkan Kabinet Indonesia Bersatu yang didominasi wakil parpol berdampak
terhadap kinerja pemerintahan yang tidak maksimal.
Namun,
yang kurang dihitung oleh Jokowi adalah relatif kecilnya jumlah kursi PDI-P
sebagai basis politik Jokowi di DPR. Dengan dukungan Nasdem dan PKB, koalisi
pendukung Jokowi di parlemen nasional hanya 207 kursi atau 36,96 persen dari
kekuatan DPR (560 kursi). Itu artinya, jika Jokowi-Jusuf Kalla menang Pilpres
2014 dan format koalisi tidak berubah, pemerintahannya kelak harus berjuang
keras di Senayan agar kebijakan-kebijakan pemerintah tidak "diganggu"
parpol oposisi di DPR.
Hal
serupa berpotensi akan dialami Prabowo-Hatta Rajasa jika memenangi pilpres
karena total kursi Gerindra, PAN, PKS, dan PPP hanya 201 kursi atau sekitar
35,8 persen dari kekuatan DPR. Namun, ketika Golkar turut serta dalam koalisi
mendukung Prabowo-Hatta, total potensi kekuatan di Senayan menjadi 292 kursi
atau 52,1 persen. Akan tetapi, angka-angka ini bukanlah jaminan bahwa pasangan
capres-cawapres yang satu lebih menjanjikan dibandingkan dengan pasangan yang
lain. Apalagi, politik bukan semata-mata soal hitungan suara atau kursi belaka.
Apabila presiden terpilih kelak membuat kebijakan yang benar-benar berpihak
pada kepentingan bangsa kita demi kejayaan Ibu Pertiwi, jumlah kursi atau suara
bukan faktor yang menentukan. Di situ yang menentukan adalah sukacita rakyat
menyaksikan pemimpinnya yang bekerja tulus untuk mereka.
Sumber:
Kompas, 20 Mei 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!