PADA era modern
saat ini, ternyata masih ada pasar yang menerapkan sistem barter barang dalam
transaksi bisnis. Hal itu bisa disaksikan di Pasar Wulandoni, Nusa Tenggara
Timur. Uang di pasar tradisional tersebut seperti tidak laku.
Bertangkai-tangkai
buah pisang dipajang di atas karung plastik yang dibeber di tanah. Pisang yang
dibawa Siti itu merupakan hasil panen di kebun sendiri di Desa Puor, Kecamatan
Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Siti tidak sendiri.
Puluhan perempuan lain juga duduk berjajar memasarkan barang dagangan
masing-masing. Bukan hanya buah-buahan dan sayuran, ada juga ikan dan
bumbu-bumbuan.
”Biasanya kalau
mama (ibu-ibu, Red) dari Lamalera banyak cari pisang. Di sini banyak yang
jual,” ujar Siti saat bertemu Jawa Pos
di Pasar Wulandoni Sabtu lalu (3/5).
Pasar Wulandoni
termasuk pasar langka di NTT. Sebab, pasar tersebut masih menerapkan sistem
barter dalam transaksi antara penjual dan pembeli. Pasar itu terletak sekitar
47 km dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Di situlah tempat
berkumpulnya warga dari Pegunungan Puor, Imulolong, dan Posiwatu serta warga
dari pesisir Pantai Lamalera, Lebala, maupun Wulandoni sendiri. Jawa Pos yang saat itu berada di
Lamalera, desa pemburu paus, menyempatkan diri mengunjungi Pasar Wulandoni.
Berada tepat di
depan kantor kecamatan, pasar barter tersebut menempati sebidang tanah
berukuran setengah lapangan sepak bola. Transaksi dilakukan di tanah kosong
tanpa atap dengan dua pohon asam rindang yang meneduhkan para pedagang dan
pengunjung pasar yang mayoritas perempuan itu.
Tidak banyak yang
tahu sejak kapan Pasar Wulandoni mulai beroperasi. Siti sendiri berjualan di
Wulandoni sejak remaja. Dia menuruni jejak ibunya. ”Karena ibu sekarang sudah
terlalu tua, saya yang melanjutkan berdagang,” ujarnya.
Pemerintah
Kecamatan Wulandoni sengaja tetap mempertahankan pasar tersebut sebagai pasar
barter karena menjadi ciri khas daerah itu. Memang, tak jauh dari lokasi tersebut,
pemerintah setempat juga membangun pasar ”normal” di tempat beratap dan
transaksinya menggunakan uang. Letaknya berada di pinggir pantai. Meski begitu,
Pasar Barter Wulandoni tetap ramai dikunjungi orang untuk bertransaksi.
Untuk mencapai
Pasar Wulandoni, para perempuan itu harus berangkat subuh dari desa
masing-masing. Warga dari pegunungan biasanya menggunakan ”bus”, yakni sebuah
truk bak terbuka yang telah dimodifikasi dengan bangku panjang untuk tempat
duduk. Sementara untuk para perempuan di pesisir pantai, selain menggunakan
”bus”, ada yang naik perahu.
Misalnya, para
perempuan dari Lamalera menggunakan johnson, istilah perahu dengan motor tempel
di bagian buritannya. Mereka membuka lapak dagangan sejak pukul 09.00. Namun,
aktivitas jual beli baru resmi dimulai setelah terdengar bunyi peluit dari
petugas pasar.
Tidak banyak jenis
hasil bumi yang dijual di Pasar Wulandoni. Selain pisang, perempuan dari
pegunungan membawa ubi, pinang sirih, tuak, bayam, tembakau, sedikit wortel,
serta buah-buahan lain seperti avokad.
Ada sebagian kecil
perempuan yang membawa beras dan jagung giling serta minyak goreng. Sementara
itu, perempuan dari pesisir membawa ikan segar, ikan asin, garam, dan hasil
laut lainnya.
Mama Rosa misalnya.
Perempuan paro baya dari Lamalera tersebut pagi itu memborong banyak pisang.
Untuk itu, dia mesti ”membayar” dengan beberapa ikan terbang tangkapannya di
laut. ”Satu ekor ikan bisa dapat 12 pisang (sekitar satu sisir, Red),” ujar
Rosa.
Tidak sampai satu
jam, Rosa sudah mendapatkan satu karung pisang. Dia juga ”membeli” pinang sirih
untuk kebutuhan sehari-hari. Di Wulandoni pinang sirih wajib ada di setiap
keluarga karena hampir semua perempuan di sana mengunyah sirih sebagai
kebiasaan. ”Biasanya, untuk mendapatkan satu bungkus pinang sirih, saya tukar
dengan ikan asin,” jelas dia.
Ikan di Pasar
Wulandoni memang dihargai lebih tinggi daripada hasil bumi dari pegunungan.
Lima potong kecil ikan terbang asin, misalnya, dihargai Rp 10 ribu. Uang
sebesar itu setara dengan harga sebotol kecap minyak goreng. ”Tapi, minyaknya
tidak mau ditukar ikan. Sehingga harus pakai uang dulu,” papar Rosa.
Fauziyah, penjual
ikan dari Lebala, juga gagal menjual ikan segarnya. Dia membawa ikan cucut
ukuran besar yang akan ditukarkan dengan beberapa sisir pisang. Namun, hampir
semua pedagang menolak ikan itu karena terlalu besar. ”Ini sulit diolah,” kata
seorang pedagang yang sempat ditawari Fauziyah.
Tidak putus asa,
Fauziyah terus berusaha menjual ikannya ke para pedagang lain. Tapi, tetap
tidak ada yang mau. Dia akhirnya membawa ikan tersebut ke pedagang yang mau
membeli dengan uang. ”Lumayan, dapat Rp 25 ribu,” ungkapnya gembira.
Harga barang yang
dipakai untuk transaksi sudah baku sehingga tidak pernah terpengaruh inflasi
seperti yang terjadi di pasar pada umumnya. ”Di sini kami tidak terpengaruh
harga minyak yang naik. Karena minyak juga dibuat secara alami sehingga kami
tinggal menukarnya dengan barang lain,” ujar Fauziyah.
Pasar barter
tersebut rupanya telah dijadikan komoditas wisata bagi pemerintah desa
setempat. Karena itu, pengunjung asing yang akan ikut dalam proses transaksi
maupun hanya melihat-lihat pemandangan langka tersebut perlu ”membayar” tiket
lebih dulu kepada petugas pasar. Biasanya pengunjung akan digiring ke kantor
kepala desa.
”Mister, mari ikut
saya ke kantor. Daftar nama dulu,” ujar petugas itu berulang-ulang kepada
seorang turis asing yang ingin mengabadikan kegiatan jual beli di pasar
tersebut.
Setelah didaftar,
si turis akan diminta memberikan sumbangan untuk pembangunan desa. Besarnya
bervariasi. Turis lokal membayar Rp 50.000, sedangkan turis asing Rp 75.000.
”Ini dana untuk pembangunan di sini.”
Aktivitas Pasar
Wulandoni bukan hanya proses barter antara penjual dan pembeli. Yang lebih
terlihat adalah proses interaksi di antara warga dari berbagai kawasan itu.
Meski dari desa yang berbeda dan belum saling kenal, mereka cepat akrab dan
guyub.
Padahal, warga dari
Lamalera kebanyakan beragama Nasrani. Sedangkan warga dari pegunungan umumnya
beragama Islam. ”Saya jadi punya banyak saudara di sini, padahal semula saya
tidak kenal,” ucap Rosa. (c9/ari)
Sumber: Jawa Pos, 8 Mei 2014
Ket foto: Suasana
transaksi jual beli di Pasar Wulandoni, Lembata, NTT. Di pasar ini pedagang dan
pembeli saling tukar barang yang diinginkan. Foto: Tri Mujoko/Jawa Pos
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!