Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Kampanye
hitam marak lagi menjelang Pilpres 2014. Seingat saya, maraknya sejak Pemilu
2004. Baik dalam rangka pilcaleg, pilkada, maupun pilpres seperti sekarang ini.
Saya jadi penasaran.
Apa
sih yang menyebabkan kampanye hitam? Mengapa orang getol sekali berkampanye
hitam setiap menjelang pemilihan umum? Karena saya peneliti (selain mbahnya
empat cucu saya), saya browsing internet. Pertama sekali saya mengarah ke
website Proquest yaitu website berisi artikel-artikel akademik, hasilhasil
penelitian, buku-buku ilmiah, dan lain-lain yang merupakan salah satu fasilitas
penting yang harus ada di universitas-universitas yang bonafid sedunia,
termasuk Universitas Indonesia.
Website
itu bisa diakses oleh dosen dan mahasiswa yang bersangkutan dengan menggunakan
password tertentu. Awalnya saya tidak menemukan satu pun artikel tentang
kampanye hitam seperti yang saya maksud, ketika saya memasukkan key words
”black campaign”. Yang banyak muncul justru artikel-artikel tentang black
campaign dalam bidang marketing (persaingan dalam pemasaran).
Karena
itu, saya balik dulu ke Google untuk mencari deskripsi kampanye hitam seperti
yang saya maksudkan untuk dibicarakan di rubrik ini. Maka itu, saya mendapatkan
dari Wikipedia bahasa Indonesia rumusan seperti ini: ”Kampanye hitam adalah
penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumor yang tersebar
mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar
menimbulkan persepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam kebijakan publik.
Komunikasi
ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih.
Kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak
lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang
salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para
pemilih agar akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya”.
Dari
kutipan di atas, kita bisa tarik satu kata kunci yang terkait kampanye hitam
dalam artian politik, bukan pemasaran (walaupun sangat mungkin prinsip yang
sama terjadi juga dalam persaingan pemasaran) yaitu: permainan emosi. Artinya,
kampanye hitam dengan sengaja mempermainkan emosi calon-calon pemilih sehingga
mereka risau, galau, atau cemas (anxious) sehingga akhirnya tidak jadi memilih
calon sudah dibom dengan kampanye hitam itu.
Dari
temuan kata kunci itu, saya kembali ke Proquest dan masuk ke sektor Social
Sciences dan menemukan sebuah disertasi yang ditulis oleh Ronald Andrew
Holbrook, dari The Ohio State University, yang bertajuk ”Emotion and Campaign
Advertising: Causes of Political Anxiety and Its Effects on Candidate Evaluation”
(2005). Dalam disertasi itu dikemukakan bahwa seorang pemilih menghadapi ribuan
informasi yang diterimanya melalui berbagai media dalam proses ia memilih calon
(kandidat) dalam pemilu.
Di
antara ribuan informasi itu memang ada yang bisa menimbulkan kerisauan, bahkan
amarah pada pemilih, sehingga ia raguragu atau bahkan batal memilih kandidat
tertentu. Tetapi dalam penelitiannya, Ronald menemukan bahwa banyak kampanye
yang dibuat untuk memanipulasi emosi yang seperti itu (dia tidak menyebutnya
sebagai kampanye hitam sehingga saya tidak langsung menemukannya dalam browsing
saya) tidak memenuhi sasaran.
Si
pemilih tetap saja memilih calon yang sudah dikampanyehitamkan. Ternyata,
faktor penyebabnya adalah emosi itu, terutama yang terkait kerisauan dan kemarahan,
bersifat spesifik, tidak general (umum). Kita kebanyakan percaya pada mitos
bahwa kampanye hitam dengan sendirinya akan memicu kecemasan dan keraguan
terhadap calon yang dijadikan sasaran oleh kampanye hitam tersebut.
Padahal,
menurut Ronald, ada dua kecemasan yang bisa ditimbulkan oleh kampanye yang
memanipulasi emosi yaitu threat based anxiety (TBA/kecemasan karena ada sesuatu
yang bersifat ancaman) dan novelty based anxiety (NBA/kecemasan karena ada
ihwal baru yang belum diketahui sebelumnya). Kampanye yang menimbulkan TBA
seperti keterlibatan kandidat pada kejahatan masa lalu atau sejarah hidup yang
pernah kecanduan alkohol dan sebagainya akan memicu pemilih untuk menggali
ingatannya tentang masa lalu calon yang bersangkutan.
Kalau
tidak ada sesuatu yang mencemaskan dalam ingatannya, ia tidak terpengaruh.
Tetapi, kalau ia menemukan dalam ingatannya bahwa memang calon itu terlibat
seperti yang dikhawatirkan, akan timbul keraguan dan kemungkinan besar tidak
akan memilih calon yang bersangkutan. Dalam TBA pengaruh media massa dan media
sosial akan sangat kecil karena orang lebih percaya pada memorinya.
Sebaliknya,
jika yang ditimbulkan adalah NBA seperti calon belum berpengalaman dalam
politik, wajah baru, kebijakan baru, pemilih akan terdorong untuk mencari
informasi lebih banyak dan lebih mendalam lewat media massa atau media sosial.
Keputusan
memilih akan bergantung pada apa yang diperoleh melalui informasi media. Ketika
Presiden Obama akan mengikuti Pilpres AS untuk yang pertama kalinya misalnya ia
harus menghadapi isu tentang dirinya yang bukan Kristen dan nonwarga negara AS.
Tetapi, isu ini segera pupus karena tidak ada data di media yang bisa
mengukuhkan isu tersebut.
Tentu
saja penelitian Ronald (sekarang sudah menjadi Dr Holbrook) tidak serta-merta
bisa diterapkan di Indonesia karena Amerika bukan Indonesia. Di Amerika
misalnya isu SARA bukan lagi isu sentral seperti di Indonesia. Hal yang ingin
saya sampaikan sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah kita tidak perlu terlalu
cemas dengan kampanye hitam selama kampanye hitam itu dilakukan secara
asal-asalan, apalagi oleh orang-orang yang tidak profesional, seperti yang
selama ini kita lihat di pemilu-pemilu Indonesia.
Saya
rasa kita perlu lebih waspada pada upaya adu domba antargolongan, antarsekte,
dan antaretnik ketimbang kampanye hitam itu sendiri. Kampanye-kampanye adu
domba yang biasanya disertai dengan politik uang dan intrikintrik fisik itu
lebih berbahaya karena bangsa kita memang masih rentan pada golonganisme dan
sektarianisme.
Hasilnya
bukan hanya menyebabkan kegalauan terhadap calon tertentu, melainkan juga bisa
sampai mengancam kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber: Koran Sindo, 1 Juni 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!