Oleh Bambang Widjojanto
Komisioner KPK
DRAMA
serta pertarungan ide, gagasan, intrik, dan muslihat di DPR seputar pilkada
langsung versus tak langsung usai sudah. Anggota Dewan yang terhormat telah
menjatuhkan pilihannya untuk mengusung pilkada tak langsung melalui DPRD. Salah
satu alasan penting yang selalu dikemukakan untuk mendelegitimasi pilkada
langsung adalah maraknya korupsi akibat pilkada langsung.
Korupsi kepala daerah
Kesimpulan itu seolah masuk
akal. Faktanya, ada begitu banyak kepala daerah dicokok penegak hukum dalam 10
tahun terakhir. Per Januari 2014, Direktur Jenderal Otonomi Daerah mengeluarkan
data yang menyatakan tak kurang dari 331 kepala daerah/wakil kepala daerah dari
524 kabupaten/kota seluruh Indonesia terlibat korupsi selama kurun 2004-2014.
Pertanyaan reflektif yang
perlu diajukan, apakah betul korupsi yang dilakukan kepala daerah itu secara
langsung disebabkan oleh pemilihan langsung? Bukankah biaya politik yang tinggi
itu juga disebabkan partai yang memaksa untuk minta uang ”mahar” kepada calon,
jorjoran biaya kampanye untuk mendongkrak citra calon yang ”dijagokannya”,
serta pengeluaran dana yang berlebihan dan tidak masuk akal karena ingin
”membujuk” pemilih. Adilkan jika kesalahan itu dibebankan kepada pemilih dan
”direbutnya” hak konstitusional rakyat untuk memilih pemimpinnya.
Jika diajukan pertanyaan
sebaliknya, apakah pilkada melalui DPRD tidak ada korupsinya? Tidak ada satu
pihak pun dari kelompok pro pemilihan via DPRD yang bisa menjawab dan
memastikan bahwa pemilihan melalui DPRD bisa bebas dari korupsi. Seorang kolega
peneliti berujar, semua pilkada pada era Orde Baru dipastikan kolusif dan
koruptif karena semua calon sudah diatur sedari awal.
Kepala daerah adalah ”hamba
sahaya” dari penguasa dan elite partai yang sudah tentu bekerja untuk
kepentingan kekuasaan yang sebagian besarnya bersifat nir-kemaslahatan rakyat.
Ada pernyataan yang meloncat
dengan menyimpulkan bahwa pemilihan langsung adalah penyebab utama kepala
daerah korupsi. Dalam pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi, ada sekitar 52
kasus korupsi kepala daerah yang ditangani KPK sepanjang 2004-2014. Sekitar 81
persen kasus korupsi kepala daerah itu berupa perbuatan melawan hukum dan atau
penyalahgunaan kewenangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ada sekitar 13 persen
berkaitan dengan tindak penyuapan seperti tersebut dalam Pasal 5, Pasal 6 atau
Pasal 12 Huruf a dan b UU Tipikor. Sementara sisanya berkaitan dengan tindak
pemerasan yang dilakukan penyelenggara negara.
Kasus Annas Maamun, Gubernur Riau,
beberapa hari lalu ditangkap dan dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK.
Kasusnya diduga berkaitan dengan penerimaan suap atas pengalihan kawasan hutan
tanaman industri (HTI) menjadi kebun kelapa sawit. Kasus kepala daerah lainnya,
seperti Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, Wali Kota Palembang Romi Herton, dan
Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang, berkaitan dengan penyuapan pasca
pemilihan dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Kementerian Dalam Negeri
menyatakan, sejak 2004 hingga Agustus 2014 atau 10 tahun sejak orde Reformasi
dilahirkan, ada sekitar 3.169 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang
terjerat hukum, yang sebagian besar didominasi kasus-kasus korupsi. Fakta ini
hendak menegaskan bahwa korupsi yang dilakukan anggota Dewan tersebut sekitar
10 kali lipat jauh lebih banyak daripada korupsi yang dilakukan oleh kepala
daerah.
Apabila menggunakan pendekatan
fenomena ”puncak gunung es” dan diajukan pertanyaan reflektif atas fakta di
atas, apakah kita meyakini bahwa dari 20.257 anggota Dewan terhormat yang
mewakili daulat rakyat lebih dari 240 juta orang, jumlah riil pelaku korupsinya
hanya 3.169 orang?
Akuntabilitas kewenangan
Yang agak mengerikan, ada
fakta tantangan struktural yang harus dihadapi oleh parlemen. Akuntabilitas
penggunaan kewenangan anggota Dewan belum dapat ditegakkan secara optimal
karena sifat dan karakter kekuasaan yang cenderung kolusif dan koruptif belum
bisa dikelola dan dikontrol melalui sistem yang ada di parlemen. Untuk urusan
sumir manajerial, seperti ”daftar presensi kehadiran” saja, parlemen masih
belum sepenuhnya punya kemampuan mengelola.
Belum lagi menghadapi masalah
fundamental lain, seperti tak adanya indikator serta mekanisme dan sistem yang
mengatur potensi ”konflik kepentingan” dalam penggunaan kewenangan utama
parlemen. Hal ini untuk memastikan bahwa kewenangan publik yang dimiliki
anggota Dewan ditujukan hanya guna kepentingan kemaslahatan rakyat yang
diwakilinya. Karena faktanya, selalu ada kesenjangan yang cukup lebar antara
kepentingan konstituen atau rakyat yang diwakilinya dan seluruh sikap serta
perilaku anggota Dewan.
UU No 17/2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang juga baru disahkan tidak cukup maksimal mengatur
sistem untuk meningkatkan akuntabilitas anggota Dewan guna meminimalkan potensi
sikap dan perilaku koruptif dan kolusif anggota Dewan.
Lingkup dan indikator
penggunaan kewenangan tidak cukup jelas dan tegas dirumuskan sehingga potensi
diskresi yang berlebihan dan tak terkontrol masih dapat dilakukan anggota Dewan
untuk mendesakkan kepentingannya sendiri seolah-olah kepentingan institusi.
Majelis Kehormatan yang awalnya bernama Badan Kehormatan belum dapat dilihat
kemampuannya dan tidak bisa diandalkan menjaga serta menegakkan citra dan
kewibawaan DPR.
Bilamana keseluruhan tantangan
di atas tidak dapat dikelola dan dikendalikan parlemen secara baik dan
bertanggung jawab, dapat dipastikan transaksi dan pasar gelap kekuasaan yang
bersifat sistemik, terstruktur, dan masif serta berkelanjutan akan terjadi
dengan sempurna.
Hal inilah yang disebut
sebagai korupsi politik yang potensial dipakai untuk mengorupsi hak-hak
konstitusional rakyat. Salah satunya, hak fundamental rakyat sebagai pemilik
daulat rakyat yang sejati untuk memilih sendiri kepala daerahnya.
Sumber:
Kompas, 2 Oktober 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!