Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
DI
luar dugaan para lawan politiknya, Ketua Umum Partai Golongan Karya Aburizal
Bakrie memajukan jadwal musyawarah nasional dari semula pada Januari 2015
menjadi akhir November 2014. Mengapa Aburizal kini justru ingin mempercepat
munas, padahal dulu menolaknya? Apa dampaknya bagi Golkar?
Dinamika Golkar
hampir selalu menarik sehingga tidak pernah sepi dari berita dan sorotan media.
Sebagai parpol tertua dengan segudang pengalaman politik, organisasi, dan
pemerintahan, serta sumber daya manusia relatif berlimpah, perilaku dan pilihan
politik Golkar sering kali menjadi rujukan parpol lain. Tak mengherankan jika
selama lebih dari 15 tahun reformasi, Golkar melahirkan ”golkar-golkar yunior”
dalam bentuk parpol baru dengan haluan politik serupa atau hampir mirip Golkar.
Gerindra, Hanura, Nasdem, Demokrat, dan PKPI pada dasarnya duplikasi Golkar
yang akhirnya menjadikan massa partai beringin sebagai basis elektoral mereka
setiap pemilu.
Kegagalan beruntun
Selain itu, sulit
dimungkiri, Golkar adalah parpol pelopor yang mengusung ideologi ”tengah”, tak
terperangkap ke dalam tarik-menarik ideologis yang bersifat ”kiri” atau
”kanan”. Tak heran parpol kepanjangan tangan tentara dan rezim otoriter
Soeharto ini bisa bertahan meski Orde Baru telah runtuh. Selama empat kali
pemilu legislatif pasca Soeharto, sejak 1999 hingga 2014, perolehan suara
Golkar dapat dikatakan relatif stabil. Pada Pemilu 2004 Golkar berhasil menjadi
pemenang pemilu legislatif meski gagal memenangkan Wiranto-Salahuddin Wahid
sebagai calon presiden-calon wakil presiden yang diusung partai berciri warna
kuning ini.
Sayang sekali modal
politik melimpah yang dimiliki Golkar tak dikelola secara cerdas, benar, dan
maksimal di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, ketua umum terpilih hasil Munas
Golkar di Palembang pada 2009. Akibatnya, Golkar tak hanya gagal memanfaatkan
peluang besar ketika Partai Demokrat ditinggalkan pemilihnya pada Pemilu
Legislatif 2014. Lebih jauh dari itu, Golkar juga gagal mengusung calon
presiden atau sekurang-kurangnya calon wakil presiden sendiri. Dalam Pemilu
Presiden 2014 yang lalu Golkar bergabung dengan Partai Gerindra, PKS, PPP, dan
PAN mengusung pencalonan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai calon presiden
dan calon wakil presiden.
Kegagalan beruntun
Aburizal inilah tampaknya yang menyebabkan dinamika internal Golkar memanas.
Perlawanan internal dari tokoh-tokoh tua dan muda muncul ke permukaan dan
menuntut penyelenggaraan munas pada Oktober 2014. Aspirasi itu ditolak Aburizal
dengan alasan Munas Palembang pada Oktober 2009 telah menetapkan jadwal munas
berikutnya pada Januari 2015. Para tokoh pesaing Aburizal berpandangan,
semestinya ketua umum tunduk pada konstitusi partai yang mengamanatkan munas
diselenggarakan setiap lima tahun. Atas usul dan mediasi Akbar Tandjung, Ketua
Umum Golkar periode 1999-2004, rapat pleno DPP Golkar akhirnya memutuskan
penyelenggaraan munas pada Januari 2015.
Perangkap oligarki
Kini, di luar
dugaan para lawan politiknya, Aburizal justru ingin memajukan kembali jadwal
munas pada akhir November 2014. Argumen yang digunakan adalah munculnya
aspirasi pimpinan dewan pimpinan daerah (DPD) I se-Indonesia dalam rapat
pimpinan nasional (rapimnas) yang digelar Golkar pekan ini, yang anehnya bisa ”seragam”
menghendaki percepatan penyelenggaraan munas.
Fenomena mutakhir
Golkar ini memang menarik meski agak mengkhawatirkan karena jelas
memperlihatkan kian melembaganya oligarki di tubuh parpol yang lahir sebagai sekretariat bersama pada
1964 ini. Betapa tidak, keputusan-keputusan kontroversial, dalam arti tidak
sesuai hasil rapat pleno DPP Golkar, pada umumnya dihasilkan oleh lembaga
rapimnas. Itu artinya, rapimnas yang merupakan lembaga pengambilan keputusan
tertinggi di bawah munas terperangkap sebagai organ kepanjangan tangan
Aburizal, bukan hanya untuk menolak aspirasi yang berbeda, melainkan juga untuk
mempertahankan kekuasaannya.
Perubahan jadwal
Munas Golkar yang sangat mendadak ini tampaknya berkaitan dengan keinginan
Aburizal maju kembali sebagai calon ketua umum periode 2014-2019. Meski
dianggap gagal pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, Aburizal
kelihatannya agak gamang kalau harus meninggalkan dunia politik. Karena itu,
satu-satunya cara bagi putra sulung keluarga pengusaha Achmad Bakrie
mempertahankan kekuasaan sebagai ketua umum partai beringin untuk kedua kali.
Keinginan pemilik
usaha Grup Bakrie ini tentu sah-sah saja. Hanya mungkin caranya tak sesuai
harapan serta visi-misi baru Golkar sebagai partai modern yang aspiratif dan
demokratis. Selain itu, sebagai wujud tanggung jawab moral atas kegagalan
beruntun Golkar akhir-akhir ini, melalui munas nanti Aburizal semestinya
memberikan peluang lebih besar akan hadirnya kepemimpinan baru, terutama dari
para tokoh muda potensial.
Sumur dasar
Di tengah meluasnya
kritik terhadap semakin melembaganya oligarki dan personalisasi kekuasaan di
sejumlah parpol, perkembangan mutakhir Golkar jelas suatu preseden sekaligus
pesan buruk bagi upaya demokratisasi internal parpol yang menjadi kebutuhan
obyektif bangsa kita hari ini. Persoalannya, Golkar sejauh ini dianggap sebagai
parpol yang relatif stabil, baik dalam mengelola dukungan elektoral maupun
dalam sirkulasi kepemimpinan.
Jika semangat
oligarkis lebih mewarnai dinamika Munas Golkar, sulit diharapkan parpol ini
menjadi penentu masa depan politik bangsa kita. Implikasi politik yang tidak
diperhitungkan oleh Aburizal dan para pendukungnya adalah kemungkinan
terpecahnya kembali Partai Golkar sehingga ”golkar-golkar yunior” dalam bentuk
parpol baru lahir kembali.
Sejarah sudah
mencatat, kekecewaan Wiranto terhadap Golkar pada 2004 melahirkan Partai
Hanura, kekecewaan Prabowo atas partai beringin melahirkan Gerindra, dan
kekecewaan Surya Paloh dalam Munas Golkar di Palembang melahirkan Partai
Nasdem. Haruskah kekecewaan baru melahirkan parpol baru yang pada akhirnya tak
lebih dari ”duplikat Golkar”? Karena itu, sebelum Golkar benar-benar terkubur
ke dalam sumur dasar sejarah, tak ada pilihan lain bagi Aburizal Bakrie kecuali
berlapang dada dan membiarkan lahirnya kepemimpinan baru dari rahim munas
mendatang. Jangan membiarkan oligarki menggerus tubuh Golkar.
Sumber: Kompas, 21 November 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!