Oleh JJ Rizal
Sejarawan
PADA hari Ahok naik pangkat menjadi Gubernur DKI
Jakarta, seorang kawan mengirimkan saya rekaman acara diskusi di salah satu
stasiun televisi nasional pada 14 Oktober 2014 yang bertema "FPI Menyerang
Ahok Melawan".
Kawan saya ini
menutup catatannya dengan mewanti-wanti agar saya memperhatikan ucapan Wakil
Sekjen FPI, Ja'far Shodiq, dan menjelaskan bagaimana cara memahaminya. Ia juga
meminta saya melihat kaitan ucapannya dengan FPI yang terus menolak Ahok meski
sudah resmi menjadi Gubernur DKI.
Dalam rekaman itu,
Wasekjen FPI menyatakan, "Dalam hukum adat Betawi, orang Betawi tidak
boleh dipimpin oleh orang luar karena orang Betawi mayoritas Islam."
Lantas disambung lagi, "Dulu, soal sejarah, kalau ada orang kafir datang
ke rumah orang Betawi diterima baik-baik, tapi begitu pulang diceletukin
najis." Wasekjen FPI mengatakan ini adalah sejarah yang dia tahu dari
orang-orang tua Betawi.
Pernyataan Wasekjen
FPI itu memperjelas fakta bahwa basis berpikir FPI dalam menolak Ahok
semata-mata sentimen agama dan ras. Namun, yang mengagetkan, dalam usahanya
menjegal Ahok, rupanya Wasekjen FPI tidak cukup percaya kepada kekuatan dalil
agama Islam, sehingga perlu membawa-bawa dalil hukum adat Betawi. Celakanya,
dalil hukum adat Betawi itu bermasalah karena bertolak belakang dengan tradisi
budaya orang Betawi yang menyejarah. Malah ia bisa dianggap melecehkan karena
membunuh karakter sejarah dan budaya orang Betawi.
Entah hukum adat
budaya tradisi sejarah Betawi mana yang diungkapkan Wasekjen FPI itu. Sebab,
menurut sejarah, orang Betawi justru memiliki tradisi dan budaya inklusif.
Mereka memberi penghargaan tinggi kepada pluralisme seraya mengolahnya menjadi
basis kebudayaan yang mencerminkan multikulturalisme. Sifat ini tumbuh dari
sejarah panjang Jakarta-paling tidak sejak abad ke-15-sebagai kota bandar
kosmopolitan yang mensyaratkan toleransi atas kebinekaan.
Dengan latar
belakang itu, kebudayaan Betawi tak memperlihatkan sifat anti terhadap ras,
etnis, kepercayaan, dan agama tertentu. Kontak dan persilangan budaya, terutama
dengan etnis Cina, telah terjadi lama sebelum orang Arab dan Eropa tiba.
Kebudayaan Arab dengan Islam diterima dan memainkan peran penting dalam
kebudayaan Betawi. Namun, bersamaan dengan itu, orang Betawi tak menolak
kebudayaan Eropa dan Kristen.
Kolonialisme
menyisakan luka perih penindasan, tapi juga kemesraan perkawinan budaya
Betawi-Cina-Arab-Eropa. Saking mesranya perkawinan budaya itu, buah hasilnya
sangat banyak sehingga mudah sekali ditemukan jejaknya. Bahkan, orang Betawi
menempatkan kemesraan silang budaya itu dalam rites de passages atau ritus
hidup mereka yang terpenting: perkawinan.
Di dalam perkawinan
Betawi, pengantin perempuan berdandan ala Cina dengan siangko atau tirai wajah.
Sedangkan pengantin lelaki berdandan ala haji dengan jubah panjang, sorban, dan
sepatu kapal kolek. Sebelumnya, saat melamar, ia memakai jas dan kemeja serta
sepatu Eropa yang dipadu dengan kain sarung serta peci. Ia diarak rombongan
tanjidor, musik brass band Eropa, bersama rebana ketimpring. Lalu ada atraksi
buka palang pintu yang mempertontonkan tradisi "main pukulan" atau
silat aliran beksi dari budaya Cina. Mereka pun beradu pantun yang penuh dengan
bahasa Betawi dari serapan bahasa Cina dan Eropa, seperti gue, elu, goceng,
ceban, cukin, reken, sterk, soak, serta bangkrut.
Lebih menarik lagi,
orang Betawi, yang mayoritas beragama Islam, dalam perayaan keagamaan terbesar
mereka, yaitu Idul Fitri, memberikan tempat istimewa bagi tampilnya aneka
produk budaya Natal dan Imlek. Perhatikan hidangan utamanya: kue nastar,
semprit, dan keju, yang merupakan kue Natal. Kue keranjang, sagon, kue satu,
dan aneka manisan berasal dari perayaan Imlek. Tapi keliru besar jika budaya
Betawi dianggap hanya menerima. Sebab, saat Imlek, hidangan Idul Fitri ala
Betawi pun ada di dalamnya, seperti dodol, wajik, dan sambel godok ketupat.
Bahkan, makanan ini ditempatkan dalam posisi istimewa sebagai hidangan
persembahyangan Imlek.
Demikianlah, salah
satu identitas kuat Betawi memang Islam, tapi cara ber-Islam Betawi tidak
mendemonstrasikan semangat primordial. FPI memang mempromosikan syariah, tapi
seharusnya tetap menampakkan diri sebagai nasionalis yang tak menentang negara
Indonesia. Sayang, sebagai nasionalis, FPI sibuk dengan xenophobia atau
kebencian membabi-buta terhadap apa pun yang berasal dari luar lingkup mereka,
sedangkan orang Betawi sibuk merayakan nasionalisme Indonesia yang tanpa
disadari sama seperti mereka, yakni produk gado-gado-sesuatu yang tumbuh di
taman sari aneka budaya dunia.
Kini, karakter
budaya Betawi dicemarkan oleh kepentingan yang entah menguntungkan siapa, tapi
jelas bukan orang Betawi. Mereka cuma bakal dapat citra negatifnya saja.
Setelah orang Betawi dihina dan dilecehkan via aneka sinetron berkedok
"Betawi", kini ditambah pelecehan secara terang-terangan lewat
penyataan Wasekjen FPI. Ironisnya, saya belum mendengar satu pun organisasi
Betawi dan kaum elite Betawi yang tergerak untuk melawan penghinaan ini, bahkan
berkata pun tidak. Hening. Sepi. Mengutip kata-kata M.H. Thamrin,
"Mudah-mudahan segera pada mendusin."
Sumber: Koran Tempo, 4 Desember 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!