Oleh Atmakusumah
Astraatmadja
Pengamat Pers & Pengajar
Lembaga Pers Dr
Soetomo (LPDS) di Jakarta
KURANG dari satu setengah bulan sejak Presiden Joko
Widodo menganjurkan agar rakyat Papua ”didengarkan dan diajak bicara,” harian
”Sydney Morning Herald” yang berpengaruh di Australia, memuat laporan Michael
Bachelard, ”High tension in Papua and West Papua.”
Selama beberapa dasawarsa
terakhir, Bachelard seorang dari sangat sedikit wartawan dan akademisi peneliti
dari luar negeri yang mendapat visa bekerja untuk melakukan penelitian atau
peliputan pers di pulau paling timur Indonesia itu.
Namun, Human Rights Watch,
lembaga internasional pengamat hak asasi manusia yang berpusat di New York,
mencatat bahwa Joko Widodo telah berkomitmen untuk mencabut pembatasan
peliputan oleh pers asing di Papua. Komitmen ini dikemukakan dalam kampanye
pemilihan presiden tahun 2014.
Wartawan media Australia itu
berkelana di pegunungan Papua Barat ”untuk mencari kisah yang lebih mendalam di
kawasan yang terpencil dan indah ini”.
”Saya ingin menguji komentar
Presiden Joko (Jokowi) Widodo yang disampaikan kepada saya, bahwa kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur ekonomi yang lebih baik akan mengurangi agitasi
menjadi negara Papua merdeka,” demikian bagian dari laporannya yang dimuat pada
edisi 7 Februari 2015.
Ia tidak menguraikan, apakah
wartawan asing yang akan meliput di Papua masih sesulit yang diceritakan
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, dalam wawancara bulan Desember
2014. Menurut Andreas, wartawan internasional yang berniat meliput di Papua
harus mendapat persetujuan dari 18 instansi clearing house di Kementerian Luar
Negeri, termasuk izin dari Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen
Strategis.
Bachelard hanya mengatakan,
Kemlu mengingatkan bahwa ia tidak boleh mencari kelompok masyarakat yang
mendukung kemerdekaan. Tetapi, ternyata merekalah yang mencari wartawan itu.
Selama ini, sedikit sekali
yang kita ketahui tentang situasi di Papua karena sangat terbatasnya informasi
faktual yang mendalam—baik dari pemberitaan pers internasional maupun dari pers
Indonesia. Pemberitaan menyebar luas paling ketika petugas keamanan Indonesia
menewaskan warga sipil, kata Bachelard.
Akan tetapi, dalam
peliputannya di pegunungan Papua Barat itu, masalah yang ditemukan lebih
kompleks. Menurut pengamatannya, ”ancaman paling penting bagi penduduk Papua
agaknya bukanlah berasal dari moncong senjata Indonesia, melainkan dari kaum
elite yang kleptokratik di kalangan suku Papua itu sendiri.” Mereka, katanya,
menyalahgunakan anggaran ”yang dengan sembrono disalurkan oleh (pemerintah
pusat di) Jakarta.”
Seorang birokrat senior di
Wamena berkata blak-blakan, ”Saya khawatir, dalam waktu 5-10 tahun, semua
bupati di Papua masuk penjara.”
Pelayanan terbengkalai
Dalam Perayaan Natal Nasional
di Jayapura, 27 Desember 2014, Presiden Joko Widodo mengatakan: ”Rakyat Papua
juga butuh didengarkan, diajak bicara.” Mereka ”tidak hanya membutuhkan layanan
kesehatan, layanan pendidikan, dan pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan
saja.”
Dalam pengamatan Bachelard,
pelayanan dasar dari pemerintah itu ternyata sangat menyedihkan karena
terbengkalai.
Misalnya, suatu kabupaten
dengan angka HIV/AIDS tinggi, memiliki banyak gedung untuk pelayanan kesehatan.
Peta yang terpampang di dinding menunjukkan ada 25 gedung. Namun, hanya tiga
gedung yang masing-masing mempunyai seorang dokter berpraktik di klinik itu.
Agaknya gedung-gedung baru ini dibangun bukan karena tujuan yang mendesak,
melainkan untuk memenuhi kontrak kongkalikong antara para pejabat dan kelompok
marganya.
Contoh lain, sebuah desa
membanggakan satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama. Keduanya
adalah sekolah negeri, yang kabarnya memiliki sembilan guru dengan gaji sebagai
pegawai tetap. Tetapi, tidak seorang pun dari para guru itu pernah datang ke
sekolah.
Di desa itu juga ada gedung
untuk pelayanan kesehatan, yang tampaknya belum lama dibangun. Kepala klinik
itu seorang pria dari desa setempat dan memperoleh gaji dari pemerintah, Namun,
ia tinggal di kota yang jaraknya jauh dari desa. Ia tidak pernah muncul untuk
meresmikan pusat kesehatan ini.
Memang, ada warga yang takut
bila Papua terlepas dari Indonesia sebagai negara merdeka yang mereka impikan.
Mereka khawatir bahwa para pemimpin dari kalangan penduduk asli akan mengatur
kekuasaan pemerintahan, seperti berlaku pada adat kesukuan. Mereka masih
percaya pada takhayul dan terpecah belah oleh topografi, bahasa, dan permusuhan
sejak dahulu.
”Dengan kemerdekaan, kami akan
mengalami Perang Dunia III,” kata seorang kepala sekolah yang sebenarnya
menginginkan kemerdekaan. ”Kami akan saling berkelahi, saling membenci. Kami
akan mempunyai 25 negara di satu pulau,” katanya.
Akan tetapi, keadaan tata
pemerintahan di Papua dewasa ini—yang dibiarkan tidak terkelola dengan
baik—menimbulkan pendapat bahwa situasi akan membaik bila Papua menjadi negara
merdeka. Menurut Bachelard, suara di pegunungan Papua yang menyerukan
kemerdekaan sekarang semakin nyaring.
Pers kita hanya menonton
Agak panjang saya mengutip laporan
wartawan Sydney Morning Herald tentang kegelisahan dan gejolak masyarakat di
pegunungan Papua Barat, karena tidak seluruh hasil pengamatannya pernah
terungkap dalam arus informasi pers kita.
Sebenarnya, informasi yang
diperoleh Bachelard sudah sama-sama diketahui wartawan Indonesia di Papua,
tetapi tidak pernah diungkapkan media karena keterbatasan kebebasan pers di
negeri ini.
Ketika kita kian percaya bahwa
kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi sangat penting untuk menegakkan
demokrasi dan mendorong kemajuan, maka pers kita perlu memperluas peliputan
mendalam. Terutama di wilayah yang selama ini dianggap sensitif, seperti
Papua—yang peliputan pemberitaannya sudah setengah abad dibatasi.
Dengan demikian, publik
kita—pembaca, pendengar, dan penonton media komunikasi massa—memperoleh haknya
berupa informasi yang mungkin penting dalam memajukan kehidupan dan
kesejahteraan mereka.
Perlu juga kita dengarkan
pendapat teman saya, seorang wartawan senior dan pemilik surat kabar, tentang
kelangkaan pemberitaan masalah-masalah kritis dari Papua dalam pers kita.
Menurut pendapat dia, hambatan bagi peliputan pers di kedua provinsi paling
timur itu bukan hanya berupa tekanan dari para pejabat setempat—yang
mempersulit verifikasi fakta yang diperoleh wartawan—melainkan juga biaya.
Dalam pengalamannya, mengirim wartawan dari luar Papua untuk meliput wilayah
itu juga memerlukan anggaran tinggi dan waktu lama karena letak pulau itu jauh
dari kebanyakan pulau di negeri kita.
Selain itu, ada kekhawatiran
karena dalam pengamatannya pers kita sedang mengalami kecenderungan (tren)
menggemari talk show bersama elite politik dan elite LSM—yang mau bolak-balik
menjadi pembicara. Dalam kegiatan ini, para wartawan hanya berperan sebagai
penanya—bahkan sekadar penonton.
Bahkan dengan kata lain,
menurut teman saya yang lain, seorang pengamat pers dan wartawan senior pula,
pers kita sekarang lebih reaktif daripada kreatif. Maksudnya ialah bahwa pers
kita lebih banyak menunggu untuk meliput masalah atau peristiwa yang sudah
terjadi, bukan membangun program yang ”pre-emptive”—melacak dan mengungkapkan
persoalan-persoalan yang masih tersembunyi di balik layar.
Akan tetapi, kecenderungan apa
pun yang sedang terjadi dengan pers kita kini, para pengelola media tentunya
tidak melupakan kandungan idealisme pers—untuk selalu mendorong perbaikan dan
kemajuan dalam segala bidang.
Terkait situasi di Papua, pers
dapat dengan intens mendorong penyempurnaan tata pemerintahan di kedua provinsi
dan tidak membedakan perlakuan terhadap warga di pulau itu.
Sumber: Kompas, 9
Maret 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!