Perintis & Pendiri Kompas
PADA hari ulang tahun
setengah abad harian ini, selain rasa syukur juga terima kasih kepada berbagai
pihak, secara khusus kepada Saudara PK Ojong almarhum -rekan perintis dan
pendiri Kompas- juga kesempatan melakukan introspeksi khusus. Seberapa jauh Kompas
teguh menghidupi panji-panji pengabdian Amanat Hati Nurani Rakyat?
Kompas didasarkan
atas kondisi kemajemukan Indonesia, manifestasi Indonesia. Indonesia Mini.
Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, satu dalam keanekaan. Indonesia yang
majemuk, tidak dalam arti masing-masing bagian serba soliter, melainkan
komplementer, saling memperkaya dan merekat. Kompas sesuai dengan namanya
"penunjuk arah", fotokopi kemajemukan Indonesia, terus berusaha ikut
memberi kontribusi dalam pengembangan negara dan bangsa Indonesia. Kompas
merajut Nusantara.
Kompas yang sejak
awal dilandasi sikap humanisme transendental, percaya akan peranan Ilahi dalam
kehidupan dan karya manusia yang berkehendak bebas, di bawah payung Pancasila
sebagai batu sendi sekaligus batu penjuru, tidak bisa tidak terlibat dalam
jatuh-bangun kehidupan negara dan bangsa Indonesia, Indonesia merdeka yang
hampir berusia 70 tahun.
Saksi sekaligus
pelaku
Sebagai bagian integral masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, Kompas berada dalam peristiwa besar, menengah, dan kecil sejarah bangsa-negara Indonesia. Selama 1965-2015, prinsip utama komunikasi saling memberi dan menerima berlangsung serentak. Kompas memberikan kontribusi bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Setelah ditutup
pada 20 Januari 1978-5 Februari 1978, memilih, memilah, dan memberi makna jadi
pekerjaan yang tidak lagi sederhana, pun dengan penyangga politics of values
sebagai sikap dan pandangan. Pilihan perlu disertai pertimbangan akal sehat,
kepekaan, dan komitmen. Untuk berbagai persoalan dan peristiwa tertentu yang
supersensitif, dalam melakukan pekerjaan jurnalistik, mengutip kata-kata filsuf
Soren Kierkegaard, perlu dilakukan dalam keadaan in fear and tremblingin
anguish (dalam rasa takut dan cemas).
Industri media
sebagai usaha idealisme sekaligus bisnis yang masuk akal dibayangi rasa takut
dan cemas -pada era 1978-1998- tampak menonjol, terus coba diurai dengan segala cara.
Ketakutan sewaktu-waktu ditutup semasa pemerintahan Orde Baru, bagi media,
termasuk Kompas, merupakan adrenalin senantiasa cerdas-cerah menemukan katup
pelepas. Kecemasan menjadi bagian dari vitalitas, dan kreativitas, berlangsung
sampai tumbangnya pemerintahan represif Soeharto lewat Reformasi 1998.
Peristiwa-peristiwa
besar lain yang menggerus hak asasi manusia, termasuk peristiwa-peristiwa
dunia, seperti terorisme, globalisasi, konflik, termasuk musibah yang silih
berganti menimpa di dalam negeri maupun di berbagai belahan dunia, tidak
terlewat dari amatan Kompas. Tidak kalah penting lewat liputan, tulisan, dan
tajuknya Kompas berkontribusi Indonesia terbebas dari ketidakadilan, kemiskinan,
kebodohan, dan ketertinggalan.
Rumusan klasik
media sebagai watch dogtidak bisa disampaikan secara hitam-putih.
Representasinya perlu disertai sikap tenggang rasa dan tahu diri. Critics with
understanding, yang terjemahannya kadang tegas, kadang terkesan miyar-miyur,
menunjukkan kearifan mengambil posisi sebagai guru yang tidak memaksakan,
tetapi menawarkan. Kompas berada di tengah dengan ngono yo ngono, ning apike
ngene bae (begitu ya begitu, tetapi sebaiknya begini), termasuk dalam hal
membedakan dependensi dan independensinya.
Pengalaman Kompas
yang lahir tiga setengah bulan sebelum peristiwa 1965 berkembang dalam represi
Orde Baru, bersamaan dengan perubahan besar dunia industri media di Indonesia.
Perubahan tersebut terjadi sebagai hasil interaksinya dengan ideologi, politik,
dan ekonomi Orde Baru. Perubahan besar pasca Reformasi 1998 tidak membuat Kompas
berubah menjadi radikal dan drastis. Perubahan demi perubahan dihidupi secara
ugahari, tetap santun dan tahu diri, bukan euforia, dan tidak meledak-ledak.
Hadir dan semakin
gencarnya pengaruh media noncetak, belakangan blogger, disikapi bukan sebagai
pesaing, tetapi teman (socius), seiring dan seperjalanan. Apalagi kini semua
orang bisa menjadi wartawan dengan memiliki blog yang potensial menimbulkan
masalah verifikasi benar-tidaknya, santun-tidaknya, dan layak-tidaknya.
Persaingan semakin
sengit
Posisi Kompas, di
tengah kebisingan-semua orang menyampaikan informasi kepada publik, media pun
ibarat pasar serba ada. Dunia informasi menjadi riuh dan bising, termasuk oleh
kejadian dan informasi yang berseliweran liar. Dalam kondisi demikian, Kompas
terus mengantisipasi, menyeimbangkan jati dirinya secara cerdas sebagai lembaga
ideal sekaligus bisnis.
Visi dan komitmen
Kompas tetap, tetapi diaktualisasikan dan disampaikan lebih relevan dengan
perkembangan zaman. Begitu juga dalam menerjemahkan panji-panji Amanat Hati
Nurani Rakyat. Berlakulah seruan filsuf-kaisar Romawi kuno, Cicero, Otempora o
mores, bahwa dalam tiap zaman berlaku kebiasaan dan tabiat yang berbeda-beda.
Begitu juga roh kemanusiaan yang beriman (humanisme transendental), dalam hal
prinsip-prinsipnya tetap, tetapi dalam hal aktualisasi, pengayaan dan
perwujudannya perlu terus didialogkan dengan perkembangan zaman.
Senyampang
prasyarat ideal media yang terus-menerus menggoyang-goyangkan diri, sejalan
kedalaman dan pesan yang ingin disampaikan-"kemewahan" yang lebih
dimiliki media cetak-Kompas terus menggugat. Mengenal Tanah Air, salah satu
topik yang diluncurkan sejak lima tahun terakhir sebagai contoh, disampaikan
dalam berbagai liputan. Dijadikan kerja bersama seluruh media,mainstream maupun
nonmainstream. Tidak hanya dalam media cetak, tetapi juga elektronik, digital,
buku cetak, maupun e-book.
Peranan unit
lembaga Litbang Kompas menjadi keniscayaan, begitu juga unit-unit pendukung
lain, seperti unit Teknologi Informasi dan unit Sumber Daya Manusia,
bersama-sama menopang program kerja bareng Redaksi dan Bisnis. Media noncetak
dikembangkan untuk memperkuat cetak.
Dalam 50 tahun ke
depan, tantangan industri media cetak semakin besar. Persaingan antarindustri
media semakin sengit. Selain oleh hadirnya media non mainstream, juga berbagai
persoalan yang meliar, direcoki komentar dan cenderung memperkeruh persoalan,
yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi menimbulkan masalah baru. Lingkungan
yang dihadapi adalah lingkungan serba bising. Kompas yang berseru di tengah
kebisingan berusaha terus jadi suar.
Introspeksi dan
tindak lanjut pasca 50 tahun usia Kompas, selain ucapan syukur, juga terima
kasih atas kerja sama dan sumbangan berbagai pihak, seperti pembaca, pemasang iklan,
kontributor artikel, narasumber, Ombudsman Kompas, agen dan pengecer, termasuk
pemerintah yang memberikan kesempatan bagi Kompas dalam ikut serta menegara dan
memasyarakat. Juga kepada seluruh karyawan, termasuk wartawan, mereka yang
sudah purnakarya maupun masih berkarya.
Yang membentang di
depan tantangan semakin bervariasi, dan persaingan antarindustri media semakin
ketat. Yang tak putus kami usahakan adalah terus berseru di tengah kebisingan!
Tidak asal berteriak, tetapi secara cerdas, bernalar, serba tahu diri.
Nama Kompas lebih
mulia dan lebih besar daripada nama pendiri dan pengasuhnya. Kompas berusaha
membalikkan pernyataan bersayap pujangga Jerman, Johann von Schiller,
"Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini
hanya mendapatkan manusia kecil". Dalam 50 tahun ke depan, kita berusaha
semoga zaman besar menghasilkan manusia besar, bukan manusia kecil. Syukur dan
terima kasih kepada semua pihak!
Sumber: Kompas, 28 Juni 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!