Oleh Yasraf Amir
Piliang
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
SETIAP pergantian rezim selalu
menjanjikan harapan perubahan masa depan. Gagasan "revolusi mental"
yang diusung Joko Widodo-sebagai panduan perubahan, dan menjadi agenda Kabinet
Kerja-telah membentangkan jutaan harapan rakyat Indonesia bagi perubahan cepat,
segera, dan radikal di aneka bidang: penegakan hukum, pemberantasan korupsi,
pembangunan kualitas manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Akan
tetapi, setiap perubahan menuntut "kekuasaan nyata", yaitu pemimpin
yang dituruti, diikuti, dan dipatuhi secara nyata, bukan sekadar simbolik.
Kekuasaan semacam ini diharapkan mampu menciptakan kedisiplinan, kepatuhan, dan
loyalitas terhadap otoritas kekuasaan sebagai syarat mutlak perubahan. Bila
kekuasaan nyata ini tak bekerja, perubahan akan bergerak seperti bola liar,
yang dapat membawa kepada situasi ketakpastian dan kaos.
Sayangnya kekuasaan nyata itu tak
mampu ditunjukkan Jokowi. Berbagai ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan
ketaktaatan diperlihatkan bawahannya, yang menunjukkan degradasi kekuasaan
tertinggi negara. Di pihak lain, ada semacam "kekuasaan tak tampak",
yang meski tak terlihat, tetapi mampu menunjukkan efek kekuasaannya dalam
"mengendalikan" dan "mengarahkan" perubahan.
Anomali kekuasaan
Kekuasaan sangat sentral dalam
setiap perubahan karena perubahan perlu kekuatan pendorong, energi dan mesin
penggerak. Makna kekuasaan paling luas adalah "potensi bagi
perubahan", yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama, baik pada tingkat
keluarga, kelompok, organisasi, lembaga keagamaan, perusahaan, partai politik,
dan negara-bangsa. Kekuasaan adalah "kapasitas' untuk mengubah potensi
menjadi kenyataan. (Boulding 1989).
Kekuasaan "normal" dalam
sistem demokrasi ditunjukkan oleh kemampuan otoritas kekuasaan merealisasikan
segala potensi bagi perubahan, yang ditampakkan pula oleh kedisiplinan,
kepatuhan, dan ketaatan aparat-aparat negara yang terlibat di dalamnya, serta
berfungsinya aparatus negara yang ada. Dalam hal ini, "kapasitas"
bagi perubahan ditunjukkan efektivitas relasi tiga unsur perubahan: pemimpin
tertinggi, aparat, dan aparatus.
"Aparatus" adalah segala
sesuatu yang memiliki kapasitas mengarahkan, menentukan, memodelkan,
mengendalikan atau mengamankan gestur, perilaku, opini atau wacana yang
berkaitan dengan perubahan. Di antara aparatus ini adalah sekolah, ruang
pengadilan, penjara, tempat ibadah, ruang rehabilitasi, istana presiden,
persenjataan, UU, bahkan tulisan, filsafat, karya seni, media, dan bahasa. Aparatus
adalah "kendaraan" di mana kekuasaan dimanifestasikan. (Agamben
2009).
"Anomali kekuasaan" adalah
penyimpangan dari relasi kekuasaan yang "normal", ke arah yang
"abnormal". Di sini ada distorsi kepada otoritas kekuasaan, ketika
fungsi kekuasaan nyata diambil alih kekuatan-kekuataan tak tampak, di mana,
ironisnya, para aparat negara justru patuh kepada kekuatan tak tampak ini.
Kondisi ini menyebabkan aparatus negara tak berfungsi normal karena digerogoti
kekuatan-kekuatan tak tampak itu.
Fungsi "normal" aparat
hukum seperti kepolisian adalah menegakkan aturan hukum demi kebenaran. Anomali
hukum adalah penyimpangan fungsi aparat hukum, yang alih-alih menegakkan hukum,
justru melindungi kepentingan korps mereka, khususnya atas tuduhan keterlibatan
korupsi. Anomali tingkat aparat ini menggiring pula kepada anomali di tingkat
aparatus hukum, yang kini tak lagi mengarahkan perilaku, opini atau wacana ke
arah pengungkapan kebenaran, tetapi malah memalsukan kebenaran.
Di dalam sistem pemerintahan
demokratis, sistem kekuasaan tak hanya terbagi secara horizontal sebagai
manifestasi prinsip check and balance(legislatif, eksekutif, dan yudikatif),
juga secara vertikal bersifat hierarkis. Fungsi aparat adalah menjalankan
tugasnya sebatas otoritasnya, dengan mematuhi otoritas kekuasaan lebih tinggi.
Anomali kekuasaan adalah ketika otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh
kepada otoritas di atasnya, seperti yang ditunjukkan aparat kepolisian.
Anomali kekuasaan pada rezim
pemerintahan Jokowi ditandai anomali kekuasaan horizontal dan vertikal
sekaligus. Di satu sisi, otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada
kekuasaan lebih tinggi, seperti ditunjukkan aparat kepolisian. Di sini lain,
ada intervensi sistem kekuasaan yang setara, seperti yang ditunjukkan Menteri
Hukum dan HAM terhadap lembaga yudikatif.
Skeptisisme politik
Relasi kekuasaan demokratis yang
ditunjukkan melalui aktivitas kepemerintahan menentukan kualitas demokrasi.
Otoritas kekuasaan tak saja harus ditunjukkan secara penuh, utuh, berkesatuan,
konsisten, dan berkelanjutan, tetapi juga tak mengandung unsur ambiguitas,
ambivalensi, dan kontradiksi. Kekuasaan tak mungkin mengandung dua sifat
kontradiktif sekaligus: berkuasa sekaligus tak berkuasa, memerintah sekaligus
diperintah, melarang sekaligus menyuruh.
Ambiguitas adalah kekacauan makna
dalam bahasa. Padanannya dalam perilaku adalah ambivalensi, yaitu keadaan
mengambang di antara dua tindakan. Kata-kata ambigu biasanya adalah turunan
dari perilaku ambivalen. Ironisnya, ambiguitas ucapan dan ambivalensi tingkah
laku ini yang menandai rezim sekarang ini: ucapan ambigu ("tidak akan
impor beras", tetapi "boleh impor beras') dan tindakan ambivalen
(meminjam ke Bank Dunia, tetapi meminta dihapuskan Bank Dunia).
Ambiguitas dan ambivalensi sangat
memengaruhi tingkat "keterpercayaan" kepada elite kekuasaan.
Keterpercayaan adalah ekspektasi masyarakat akan perilaku yang konsisten dan
benar berlandaskan norma-norma bersama. Sebaliknya, ambiguitas menunjukkan
inkonsistensi, yang dapat melunturkan kepercayaan. Ambiguitas ucapan dan
ambivalensi tindakan adalah dua aspek yang berpotensi menumpuk akumulasi
ketakpercayaan kepada rezim pemerintah sekarang.
Keterpercayaan adalah fondasi
politik demokratis karena ia merupakan akar dari keyakinan akan kapasitas,
kompetensi, dan kemampuan seorang elite politik. Karena itu, di dalam politik
ada semacam "politik keyakinan", yaitu semacam vitalitas yang memberi
masyarakat politik semacam optimisme kolektif akan kapabilitas dan kapasitas
sebuah rezim kekuasaan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama
masyarakat-bangsa, melalui otoritas kekuasaan yang dimiliki.
Sebaliknya, "politik
skeptisisme" menumbuhkan ekspektasi bahwa tujuan bersama tak mungkin
tercapai karena aneka prasangka, benturan, konflik, ketakharmonisan di antara
aparat dan institusi- insitusi politik tak mampu diselesaikan pemegang
kekuasaan tertinggi.
Tak berfungsinya otoritas tertinggi
kekuasaan tampak dalam pembiaran "kriminalisasi" kepada lembaga
negara, seperti KPK oleh kekuatan-kekuatan "tak tampak", yang tetap
terjadi hingga kini. Anomali kekuasaan dan ketakmampuan menunjukkan kekuasaan
nyata oleh pemimpin tertinggi, dikhawatirkan akan menyebabkan eskalasi dan
meluasnya sikap skeptisisme dan menumpuknya ketakpercayaan rakyat kepada
otoritas kekuasaan, yang pada gilirannya dapat mengancam kelanjutan rezim
pemerintah.
Untuk menghentikan eskalasi
skeptisisme dan akumulasi ketakpercayaan, Jokowi dituntut berpikir keras dan
serius untuk menemukan cara memulihkan kekuasaannya, khususnya untuk
menghentikan mesin-mesin kekuatan tak tampak yang merongrong otoritasnya. Hanya
dengan cara itu dapat ditunjukkan kharisma kekuasaannya dalam memimpin,
mengarahkan, memandu, menyelesaikan, memberi solusi, dan memutuskan berbagai
masalah negara-bangsa di atas kekuatan diri sendiri sebagai pemimpin tertinggi.
Sumber: Kompas, 3 Juni 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!