Oleh Max Regus
PhD Candidate the Graduate School of
Humanities University of Tilburg, the Netherlands
PARA pemikir
elite teori masa lalu memiliki kepercayaan filosofis tentang sejarah, politik,
dan kekuasaan sekadar sebagai sirkulasi elite belaka. Vilfredo Pareto, sebagai
salah satu penganjur dari teori ini, secara gamblang membedakan dua tipe elite
politik. Pertama, elite politik `para rubah' (foxes). Kelompok ini memerintah
dengan manipulasi dan propaganda. Kedua, elite politik `singa' (lions).Untuk
mencapai dan mempertahankan kekuasaan, mereka selalu siap menggunakan
kekerasan. Intimidasi dan kekasaran ialah domain kelompok ini. Baik secara
sendiri-sendiri maupun secara bersama, keduanya sama-sama merusak tatanan
peradaban politik.
Analisis sirkulasi elite cukup tepat untuk
melukiskan faksi-faksi politik yang berkeliaran di pentas kekuasaan Indonesia.
Cukup jelas bahwa kita belum memiliki mekanisme dan lembaga yang bisa menahan
cengkeraman elite-elite yang berwajah ganda dengan hasrat tunggal, yakni
dominasi, hegemoni, dan korupsi.
Bumerang Personifikasi
Kita pada hari-hari ini, hampir tiba pada kesimpulan
yang menyakitkan ini. Apa yang disebut dengan the abuse of power tidak pernah
meninggalkan trauma politik. Rasa terluka secara politis yang pada gilirannya
menumbuhkan kesadaran mendukung tekad demokratis mengawal kekuasaan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk 2003 ialah salah satu lembaga yang
berhadapan dengan penjelasan paling konkret dari penyalahgunaan kekuasaan.
Bahkan, dalam hitungan lima tahun belakangan, KPK telah menjadi salah satu lembaga
ad hoc yang menempati sentrum perhatian dan harapan publik.
Harian Umum Media Indonesia, pada beberapa edisi
mengulas posisi terakhir dari lembaga yang mampu merontokkan bintang-bintang
baru politik nasional, seperti Anas Urbaningrum dan Andy Mallarangeng. Lembaga
yang membekap jenderal polisi dan sederet petinggi politik, tetapi melengkung
secara mendadak di tangan mereka.
Hingga sejauh ini, applause panjang dan sorak-sorai
untuk rentetan kisah kekalahannya, bahkan secara cepat muncul dari ruang publik,
menunjukkan secara sangat sederhana bagaimana gelombang ketidaksukaan terhadap
semangat mengawal penyelenggaraan kekuasaan ada di banyak level. Tidak
terbantahkan. Butuh waktu satu dekade menjadikan KPK sebagai lembaga yang
disegani. Namun, kerapuhan internal yang dimilikinya akibat personifikasi yang
terlalu overdosis, seolah KPK ialah representasi dari penampilan
individu-individu, jadi bumerang yang mematikan.
Di sejumlah negara, yang disebut dengan new emerging
democracy, dengan nama yang beragam pada tiap negara, lembaga pemberantasan
korupsi memiliki tugas mengawal proses penyelenggaraan politik yang sedang
berada di jalur transisional. Kehebohan KPK selama ini menghantam sejumlah
tokoh politik, di satu pihak, dan ketertarikan politik pemimpin KPK justru pada
akhirnya menjadi bumerang. Argumentasi yang ditaruh di belakang pembentukan KPK
semestinya juga diperkuat.
Lembaga ini tidak hadir sekadar untuk memberantas
kejahatan korupsi. Tugas yang kemudian, baik oleh orang-orang KPK sendiri bisa
dijadikan sebagai alat untuk mengaktualisasikan interes politik dan ambisi
kekuasaan, maupun sebagai mesin saling bunuh di antara lingkaran elite
kekuasaan.
Tongkat ajaib di tangan pansel
Di sekitar kekelaman ini, publik sedang menunggu
hasil kerja Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK yang muncul secara
mengejutkan. Kita tidak tahu apa yang ada di benak Presiden Jokowi. Namun,
tidak salah untuk mengatakan harapan terakhir untuk melihat KPK yang berwibawa,
yang disegani dan konsisten, yang tidak terbius hasrat untuk berkuasa dari para
pimpinannya, ada di tangan kesembilan anggota Pansel.
Tentu saja, Tim Pansel-searah dengan gagasan
Editorial Harian Umum Media Indonesia - Pansel Hebat untuk KPK Hebat (26/5) -
ialah orang-orang terbaik untuk menjalankan tugas mahapenting ini. Belajar dari
persoalan yang membelit KPK selama ini. Sekurang-kurangnya ada dua persoalan
paling penting yang patut menjadi perhatian Pansel dan pemerhati pemberantasan
korupsi di Tanah Air. Pertama, persoalan personal.
Tim Pansel harus benar-benar meneliti rekam jejak
dari setiap kandidat yang masuk dalam radar mereka. Paling tidak, mereka harus
memiliki rekam jejak dari setiap calon dalam hitungan 15 atau 10 tahun ke
belakang. Hal ini penting untuk mendeteksi jaringan yang dimiliki setiap
kandidat pimpinan KPK. Kandidat sudah semestinya harus benar-benar bersih dari
sengkarut politik dan hukum yang kemungkinan dapat merusak kinerjanya di
kemudian hari.
Kedua, persoalan struktural-kelembagaan. Sejak semua
keputusan politik utama ada di tangan lembaga perwakilan rakyat, keberadaan KPK
juga tidak terlepas dari afiliasi politik di Senayan.
Adalah hal yang sangat berbahaya ketika penentuan
pimpinan KPK berlandaskan asas tukar-menukar kepentingan politik atau pembagian
jatah kekuasaan. Di sini, Tim Pansel harus mengawal keseluruhan proses hingga
titik kandidat terakhir ditentukan menjadi pimpinan kolektif KPK. Tim Pansel
kiranya dapat menggunakan tongkat wewenang untuk menghadirkan keajaiban baru
pemberantasan korupsi.
Merancang perlawanan baru
Menarik apa yang ditulis oleh Tony Robinson di
Pressenza, International Press Agency (6/4/2015), dalam kesaksiannya tentang
pemberantasan korupsi di Kenya. Dia menulis dengan judul, `In Kenya's war on
corruption: some you win, some you lose.' Sangat benar bahwa tentang perang
melawan korupsi, ada saatnya kita menang, tapi mungkin sebagian besar belum
mencapai kemenangan, bahkan mengalami kekalahan secara tragis.
Namun, apakah perang itu harus dihentikan hanya
karena cerita satu kekalahan dalam pertempuran?
Jika kita berpikir bahwa siapa yang sedang dihadapi
KPK yang sedang gontai ini, dalam bahasa Pareto, dua kelompok elite yang hanya
sedang berganti jam berkuasa, perang melawan kejahatan akibat the abuse of
power tetap jadi jalan sunyi bagi kaum prodemokrasi di negeri ini. Jika
pemaknaan semacam ini tidak menempati titik kesadaran Tim Pansel Pimpinan KPK,
perang suci melawan korupsi akan terus memburai hingga menjadi buih-buih yang
melenyap di himpitan kemaruk kekuasaan. Tim Pansel harus mengawal perang baru
melawan elite fasis di negeri ini.
Sumber: Media Indonesia, 3 Juni 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!