PENASEHAT Hukum di Jakarta asal
Lembata, Petrus Bala Pattyona mengaku, sangat merasa aneh dengan praktek penegakan
hukum yang dilakukan aparat penegak hukum di Lembata terutama penyidik Polres
Lembata.
Pengkauan itu
disampaikannya melalui sambungan telepon dari Jakarta ke Kupang terkait
berbagai hal yang sedang terjadi di Lewoleba Lembata terutama penanganan kasus
pembunuhan almarhum Lorens Wadu hingga teror dan ancaman yang diberikan kepada
Pater Vande Raring, SVD.
Menurut pengacara
kelahiran Boto, Nagawutun, Lembata ini, apa yang sedang dipertontonkan penyidik
Polres Lembata terhadap kasus itu sungguh menjadi sebuah lelucon yang tidak
lucu tetapi menjijikkan.
“Bagaimana mungkin
ini bisa terjadi seorang penegak hukum bisa sewenang-wenang dan sesukanya
melanggar hukum dengan mengintimidasi saksi yang mau memberikan keterangan?
Bagaimana bisa seorang Kapolres berpangkat AKBP menggunakan cara-cara penegakan
hukum dengan cara tidak beradab dan melanggar hukum. Ini yang membuat saya
tidak habis pikir, apakah hukum di Lembata berbeda dengan hukum di tempat lain
di NKRI ini?” kata Petrus dengan nada tanya.
Dia mengatakan,
sesuai informasi yang diperolehnya dari Lembata, Kapolres Lembata menelepon
seseorang agar menghadirkan Polisi Lazarus dan Doni Sesa untuk membentak dan
mengintimidasi Surva Uran yang sedang memberikan keterangan. Selain itu polisi
itu bersikap kasar terhadap Pastor Vande Raring, SVD.
“Bukankah tugas pokok
setiap anggota Polri sudah jelas? Misalnya yang bagian Serse akan menyelidik
dan mengungkap suatu persistiwa hukum agar menjadi terang benderang?” tanyanya.
Lebih Lanjut Petrus
mengatakan, bila seorang polisi di bagian Serse yang tidak ikut menangani suatu
perkara di unit tertentu, sudah pasti tidak akan mengintervensi tim yang sedang
menangani kasus itu.
Misalnya yang di
unit narkoba tidak mungkin ikut-ikutan manakala bukan dalam hal satu tim
berdasarkan sprindik. Atau seorang polisi di bagian lalulintas tentu tidak
mungkin mengobrak-abrik pekerjaan rekannya di bagian Serse.
“Bagaimana bisa dua
anggota polisi sudah tidak lagi bertugas di Polres Lembata ikut-ikutan
membentak dan menyidik. Aneh sekali,” tandasnya.
Da juga mengatakan,
dari kejadian ini maka munculkan pertanyaan. “Kepentingan besar apakah yang
perlu dilindungi? Ataukah apakah ada kejahatan besar yang takut diungkap?
Penegak hukum tentunya mempunyai batas kewenangan agar seorang tidak sesuka
hati hanya karena badannya besar tetapi tidak mengerti wewenangnya. Zaman
sekarang tidak perlu intimidasi atau adu otot apalagi mengandalkan badan
besar,” tegasnya.
Menurut Petrus,
yang diperlukan saat ini adalah kecerdasan otak, memahami hukum dan
peraturan-peraturan sehingga bisa diterapkan dengan baik. Selain itu polisi
harus bersikap humanis agar dalam penegakan hukum dapat dilakukan dengan baik
dan benar bukan atas dasar kebencian tetapi atas nama hukum karena hukum di
atas segala-galanya.
“Saya analogikan
dengan seorang PNS yang tadinya bertugas di kabupaten. Pada suatu saat
terungkap kejahatannya, padahal PNS tersebut sudah mendapatkan SK sebagai camat
di sebuah kecamatan. Apakah yang bersangkutan bisa keluar-masuk kantor Bupati,
begitu kejahatannya sudah tercium untuk membungkam saksi-saksi. Ataukah apakah
bisa seorang anggota polisi yang sudah pensiun atau pindah tempat tugas dan
tidak punya kuasa atau wewenang lagi bisa datang ke kantor Polres untuk
membentak saksi-saksi yang akan mengungkap sebuah kejahatan kemanusiaan yang
akan ditutup rapat, padahal yang bersangkutan sudah pensiun atau pindah tugas
ke Polres atau Polsek lain. Ataukah bisakah seorang jaksa atau hakim yang sudah
mutasi bisa kembali ke kantor sebelumnya untuk membentak-bentak orang yang akan
membuka kejahatannya. Inilah salah satu hal yang membedakan penegakan hukum di
Lembata dan wilayah NKRI lainnya. Saya sangat prihatin dengan kerusakan yang
ditimbulkan di Lembata,” pungkasnya. (bop)
Sumber: nttsatu.com, 30 Juni 2015
Ket
foto: Petrus Bala Pattyona
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!