Dosen
HAM dan Filsafat Politik di STFK Ledalero, Flores;
Alumnus
Hochschule für Philosophie, Muenchen, Jerman
”Die
Erinnering ist die hÖchste Form der Gerechtigkeit” — "Ingatan adalah
bentuk keadilan tertinggi" - Roger Errera (1933-2014) Pemikir
Perancis
Awasan etis Errera hendaknya
menjadi panduan bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam membentuk Tim Gabungan
Rekonsiliasi Pelanggaran HAM Berat sebagai bukti kesungguhan pemerintah untuk
menyelesaikan persoalan HAM masa lalu.
Keputusan pemerintah untuk
menempuh jalur ”rekonsiliasi”menuai kritik dari masyarakat. Kritik atas
rekonsiliasi versi negara ini dapat dipahami sebab rekonsiliasi pada
prinsipnya adalah hak korban.
Rekonsiliasi bukan sekadar
membebaskan orang dari hukuman dan memberikan amnesti. Luka-luka masa silam
hanya dapat disembuhkan jika kebenaran sungguh terungkap dan mendapat
pengakuan. Masyarakat luas dan terutama para korban berharap bahwa rekonsiliasi
bukan berarti membangun perdamaian di atas kubur tertutup sejarah masa lalu.
Demokrasi
dan kenangan
Persoalan Indonesia adalah khas
bagi setiap bangsa demokratis yang relatif muda dan harus menjembatani kultus
akan kenangan masa lalu dan pembangunan masa depan bangsa yang lebih
demokratis. Membiarkan kebenaran sejarah masa lalu berbicara, sering dianggap
membahayakan persatuan dan menghambat masa depan sistem politik yang lebih
demokratis.
Alasan ini sering disampaikan
pemerintah untuk menjelaskan sulitnya pengungkapan kebenaran sejarah
pembantaian massal tahun 1965, penghilangan paksa periode 1997-1998, dan
pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya pada masa Orde Baru. Membongkar luka masa
lalu dianggap membahayakan stabilitas nasional dan menghambat proses
pembangunan tatanan Indonesia. Penguakan kebenaran sejarah masa lalu lebih
dipersulit lagi ketika para pelaku kejahatan masih mengendalikan kekuasaan.
Sulitnya mempertemukan kenangan
masa lalu dan penataan demokrasi disadari Thomas Jefferson, penulis deklarasi
kemerdekaan dan presiden ketika Amerika Serikat. Pemikir Prancis, Ernest Renan,
bergerak satu langkah lebih jauh lagi ketika mengatakan: ”Lupa atau lebih tepat kekhilafan historis memainkan peran penting
dalam konstruksi sebuah nation (bangsa) dan karena itu kemajuan penelitian
sejarah sering menjadi bahaya bagi sebuah bangsa” (Renan, 1993).
Kedua pemikir kebangsaan di atas
tidak sedang memberikan apresiasi terhadap politik lupa atau politik amnesia.
Keprihatinan Jefferson berkaitan dengan penataan demokrasi, sedangkan fokus
perhatian Renan berhubungan dengan konstruksi negara-bangsa. Keduanya
mengetahui persis pentingnya makna masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan
jebakannya. Karena itu, sangat dibutuhkan pembentukan strategi hukum,
politik, dan kultural sebuah politik ingatan.
Melampaui
lupa
Negara-negara yang baru keluar
dari rezim otoritarian dan memasuki era demokratisasi memiliki macam-macam
strategi untuk mengelola pengalaman masa lalunya. Strategi-strategi itu
bergerak dari metode menghukum berat terhadap para pelaku genosida pada masa
silam hingga strategi tutup buku atau melupakan kejahatan masa lalu.
Jokowi-JK dalam menyelesaikan pelbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu di
Indonesia harus bergerak di arena antara dua sistem ini.
Persoalan amnesti menjadi sulit
terpecahkan karena posisinya yang berada di antara dua sudut pandang ekstrem
di atas. Kebingungan sudah mulai dengan makna kata amnesti. Carl Schmitt,
ahli hukum Jerman awal abad ke-20, mengartikan amnesti sebagai sumber perdamaian.
Secara etimologis, demikian Schmitt, amnesti berarti ”Politik des gegenseitigen Vergessens”—”politik saling melupakan”
(Schmitt, 1995).
Praksis amnesti sesungguhnya lebih
dari sebuah arsoblivionis politis
atau strategi politik lupa. Amnesti memberi makna pada distingsi antara
memaafkan dan melupakan. Amnesti melukiskan momentum di mana kepentingan
kolektif membatalkan prinsip hukum. Jadi praksis amnesti bergerak dalam ruang
tanpa tuan antara tuntutan keadilan dan kebutuhan akan stabilitas perdamaian
sosial. Amnesti adalah konsep hukum minus substansi hukum yang secara
paradoksal membatalkan norma-norma hukum dalam proses transisi menuju negara
hukum.
Paradoks
amnesti
Kodrat paradoksal ini membuat
konsep amnesti sulit dipahami. Pada momen transisi menuju sebuah sistemhukum
dan politis di mana tanggung jawab berperan sebagai prinsip dasar, justru
amnesti merancang pembatalan tanggung jawab.
Konsep amnesti melahirkan
pertanyaan fundamental seputar keadilan pada masa transisi politis menuju
demokrasi. Amnesti menyentuh persoalan mendasar tentang legitimasi dan
koherensi keadilan hukum dan restropectivejustice. Dari sudut pandang etis
persoalan amnesti menampilkan kebinekaan wajah.
Hal itu menjadi terang-benderang
jika amnesti diberikan dalam rangka komisi kebenaran yang secara prinsipiil
tujuannya adalah amnesti tanpa amnesia. Di sini actus menguak kebenaran,
membongkar kejahatan politis dan pelecehan hak-hak asasi manusia masa lalu
berlaku sebagai syarat pengampunan. Kejahatan masa lalu dibongkar, pelecehan
HAM menjadi terang-benderang dan mengambil bagian dalam memori kolektif
bangsa.
Dalam rekonsiliasi
pertanggungjawaban etis mendapat prioritas di hadapan solusi hukum. Metode
penyelesaian seperti ini didasarkan pada sebuah keyakinan akan kekuatan revolusioner
kebenaran.
Amnesti adalah donum atau hadiah
yang diberikan oleh para korban. Lewat keikhlasan memberikan absolutio
(pengampunan) korban meninggalkan posisinya sebagai korban dan menunjukkan
kekuasaan moralnya di hadapan pelaku kejahatan.
Pengakuan akan kebenaran sejarah masa lalu dapat diungkapkan dalam bentuk rekonsiliasi politis dan pemulihan hak-hak korban oleh negara (rehabilitasi). Pengakuan juga dapat mengambil bentuk tradisi ingatan kolektif, museum, monumen, hari-hari raya khusus dan seremoni. Dengan demikian bahaya lupa yang melekat pada setiap amnesti dapat dikurangi.
Sumber: Kompas, 11 Juli 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!