Oleh Jakob Sumardjo
Budayawan
KEKUASAAN negara di tangan orang-orang
bodoh dan bebal akan mendatangkan musibah, baik rakyatnya bodoh maupun
rakyatnya pintar.
Kekuasaan apa pun
di tangan orang-orang pintar dan bijaksana akan mendatangkan berkah, baik
rakyatnya bodoh maupun rakyatnya pintar. Kuasa adalah wewenang untuk
menentukan, baik pemerintahan maupun pengadilan. Yang punya kuasa selalu jauh
lebih sedikit daripada mereka yang di bawah kekuasaan. Maka, mereka yang
berkuasa memiliki hak-hak istimewa dan berbagai kewajiban yang juga istimewa.
Kalau negara tidak
aman, kalau negara kelaparan, kalau negara semrawut, alamat kesalahan pada
penguasa, bukan pada rakyat. Rakyat tidak pernah salah, yang salah penguasa.
Sebaliknya, kalau
rakyat hidup makmur dan tercukupi kebutuhannya, yang berjasa adalah para
penguasa. Rakyat akan memasang potret diri mereka di kamar depan rumah dan
membikin patung-patungnya.
Rakyat memilih
penguasa untuk memenuhi kebutuhan esensialnya, yakni hidup sehat walafiat,
serba kecukupan, dan aman tenteram hidup bersama. Kewajiban para penguasa
adalah menghadirkan ketiga kebutuhan dasar rakyat itu. Kekuasaan berkhianat
kalau bekerja sebaliknya, misalnya berobat ke luar negeri ketika rakyatnya tak
mampu berobat, memiliki banyak rumah, kendaraan pribadi dan kebun-kebun luas,
sementara rakyat digusur rumahnya dan berdesakan dalam bus transportasi umum.
Kekuasaan demikian
bukan hanya bodoh, melainkan juga buta-tuli dan berhati batu. Kekuasaan yang
cerdas senantiasa melihat dan mendengar suara rakyat dan peka terhadap
kegagalan menyejahterakan rakyatnya.
Kekuasaan yang
bodoh tidak malu dirinya super sejahtera sementara rakyat yang menjadi tanggung
jawabnya ada di bawah garis kemiskinan. Penguasa-penguasa yang demikian itu
adalah predator yang rakus menghabisi bagian rakyatnya.
Pemimpin cerdas
Singapura baru saja
kehilangan bapak bangsanya, Lee Kuan Yew. Negara pulau kecil ini berhasil
menyejahterakan rakyatnya jauh di atas Indonesia yang kaya raya sumber alamnya.
Seluruh rakyat Singapura mengakui kekuasaan cerdas tokoh ini. Jelaslah bahwa
kegagalan negara dan bangsa kita disebabkan oleh berkuasanya yang bodoh.
Lebih baik memiliki
kekuasaan cerdas meskipun rakyatnya bodoh atau kekuasaan bodoh meskipun
rakyatnya cerdas?
Akhir-akhir ini
tampak kegeraman rakyat Indonesia yang cerdas terhadap mereka yang memegang
kekuasaan, tetapi pamer kebodohan. Kekuasaan yang bodoh ini sangat berbahaya
ketika mereka keras kepala mempertahankan otak udangnya sebagai satu-satunya
kebenaran.
Di masa lampau
wewenang kekuasaan negara bersifat ilahiah. Kekuasaan itu suci. Sampai sekarang
pun samar-samar kepercayaan itu masih hidup, misalnya setiap calon penguasa
diambil sumpah di bawah kitab suci. Namun, kesucian kekuasaan itu sudah amat
tercemar di Indonesia. Mulut tidak sejalan dengan hati dan perbuatan. Mereka
menafikan wewenang yang ilahiah itu. Kekuasaan tidak hanya bodoh, tetapi juga
penuh cemar.
Semua perbuatan
kekuasaan itu berakar dari niat kekuasaan. Meskipun niatnya baik, tetapi bodoh
dalam pemikiran, hasil kerjanya tidak baik.
Sebaliknya, apabila
sejak awal niat kekuatannya tidak baik, tetapi pemikirannya cerdas, kegagalan
dapat dicari dalihnya. Yang paling celaka kalau niatnya sudah tidak baik dan
pemikirannya juga bodoh. Maka, kegagalan dibela mati-matian. Itulah yang terjadi
sekarang.
Berawal dari niat
Akar kekuasaan ada
di niat. Niat baik hanya dapat dibuktikan dengan hasil kerja kekuasaan, bukan
pada kata-katanya. Mengingat kegagalan demi kegagalan kekuasaan di Indonesia
selama ini, apakah niat para penguasanya memang tidak baik (tidak untuk
menyejahterakan rakyat) ditambah pemikirannya juga bodoh atau niatnya
sebenarnya baik hanya pemikirannya bodoh (tidak membumi dalam realitas)?
Kalau niat
kekuasaan sejak awal sudah tidak baik, dengan pemikiran apa pun hasilnya tentu
tidak baik. Namun, kalau niat kekuasaannya baik, meski gagal, jelas
pemikirannya yang jelek. Ini akibat tak percaya pada hasil pemikiran bangsa
sendiri.
Kita cenderung
meniru keberhasilan bangsa-bangsa lain. Padahal, kesuksesan tiap negara dan
bangsa bertolak dari realitas persoalan mereka. Kita tidak bisa meniru negara
dan bangsa lain.
Mungkin kebodohan
jenis inilah penyebab bangsa ini gagal.
Sumber: Kompas, 11 Juli 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!