Oleh Budiman Sudjatmiko
Dewan Pengarah Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa
dan Kawasan (BP2DK); Fraksi PDI-P DPR
dan Kawasan (BP2DK); Fraksi PDI-P DPR
“Saya ingin
dana yang diterima desa bisa menjadi modal pembangunan desa serta uang itu bisa
berputar, berkembang, dan kembali ke desa dan kawasan perdesaan. Jangan lari ke
mana-mana.” Itu adalah kata-kata yang pernah disampaikan Joko Widodo kepada
penulis di sela-sela kampanye pemilu presiden lalu.
Sebagai
konsekuensi dari kata-kata itu, pemerintahan Jokowi-Kalla akhirnya meningkatkan
dana desa dari Rp 9,1 triliun (dalam APBN 2015) menjadi Rp 20,8 triliun (dalam
APBN-P 2015). Suatu peningkatan sangat signifikan guna mewujudkan amanat Pasal
72 UU No 6/2014 tentang Desa.Penjelasan Pasal 72 Ayat 2 memang memungkinkan
jumlah dana desa dari APBN dilaksanakan bertahap, menunggu kesiapan aparat
desa.
Jika pemerintah
benar-benar menjalankan amanat UU Desa, setiap desa nantinya akan memperoleh
rata-rata Rp 1,4 miliar dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/kota.
Artinya, akan ada sekitar Rp 103,6 triliun dana yang mengalir langsung ke desa.
Ini peningkatan jumlah yang sangat besar, yaitu mencapai 5 persen dari total
belanja APBN (atau 1 persen dari produk domestik bruto Indonesia).
Pendapatan
wilayah
Apa faedah
alokasi dana desa yang begitu besar bagi perekonomian nasional? Pertanyaan ini
penting untuk dijawab mengingat besarnya anggaran dan jumlah masyarakat yang
terkena langsung kebijakan tersebut. Namun, sayangnya, kajian makro ekonomi
terhadap kebijakan ini masih sangat minim. Untuk itu, dalam tulisan ini
diusulkan sebuah telaah makro ekonomi terhadap kebijakan tersebut.
Ada perkara
serius dalam sistem pengukuran ekonomi di negeri ini. UU Desa berusaha
menggugat sistem tersebut. BPS, Bappenas, dan Bappeda selama ini rupanya
mengukur matriks ekonomi dengan menggunakan ”pendekatan wilayah”, yaitu dengan
menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB). Pendekatan ini mengukur
nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu wilayah pada periode tertentu.
Pendekatan ini memiliki bias yang sangat besar dalam mengukur kesejahteraan
masyarakat.
Misalnya, ada
satu perkebunan sawit di Desa Y. Pendapatan perkebunan sawit itu akan masuk
dalam PDRB Desa Y. Namun, pada kenyataannya mayoritas pendapatan perkebunan sawit
justru mengalir kepada pemilik modal dan pekerja kerah putih yang berdomisili
di kota dan di luar negeri. Sangat kecil bagian pendapatan perkebunan sawit
yang dinikmati warga Desa Y.
Menghadapi soal
ini, penulis percaya, seharusnya yang dimaksudkan ”pendapatan wilayah” adalah
”total pendapatan penduduk di wilayah tersebut”, bukan ”total pendapatan pada
wilayah tersebut”. Untuk itu, tulisan ini tidak menggunakan ”pendekatan
wilayah”, tetapi ”pendekatan manusiadalam wilayah”. Artinya, pendapatan wilayah
diukur dari total nilai barang dan jasa yang diproduksi penduduk di wilayah
tersebut.
Perhitungan
semacam ini dilakukan dengan metode ekstrapolasi distribusi pendapatan, yang
dikembangkan Rolf Aaberge, ahli statistik dari Universitas Oslo, Norwegia. Berdasarkan
perhitungan yang dikembangkan Aaberge ini, penulis menggunakan data demografi,
kemiskinan, serta kesenjangan antara kota dan desa, dari BPS tahun 2014.
Dari hasil
perhitungan diketahui, pendapatan penduduk desa 32,08 persen dari PDB nasional
atau sekitar Rp 3.381,8 triliun. Mengingat persentase penduduk desa dan kota
tahun 2014 berimbang, 50-50, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendapatan
penduduk kota 2,11 kali lebih besar daripada di desa.
Inilah yang
menjelaskan mengapa terjadi urbanisasi besar-besaran selama ini. Satu perkara
serius yang menimbulkan persoalan sosial di kota-kota, sementara di sisi lain
menyebabkan turunnya jumlah angkatan kerja pertanian di desa-desa.
Optimalisasi
dana desa
Lalu, seberapa
besar peningkatan kesejahteraan penduduk desa dengan adanya kebijakan dana
desa? Secara umum ada tiga jenis pertumbuhan yang terjadi.
Pertama,
pertumbuhan alamiah atau pertumbuhan yang terjadi secara natural tanpa
dipengaruhi kebijakan belanja dari pemerintah. Mengingat persentase dana
belanja langsung pemerintah ke desa sebelum adanya UU Desa sangat kecil, kita
anggap saja besarannya mengikuti pertumbuhan ekonomi nasional, antara 4 dan 8
persen.
Kedua,
pertumbuhan langsung atau pertumbuhan yang terjadi akibat langsung dari belanja
pemerintah. Jika total dana desa sudah dioptimalkan 100 persen (sesuai dengan
amanat Pasal 72 Ayat 2) hingga mencapai Rp 103,6 triliun (dari APBN dan APBD)
dan nilai pendapatan penduduk desa hasil penghitungan adalah Rp 3.381,8
triliun, potensi pertumbuhan langsung adalah 3,06 persen.
Ketiga,
pertumbuhan rentetan atau pertumbuhan yang terjadi akibat efek rentetan
(multiplier) dari belanja pemerintah. Masuknya dana ke desa dapat memacu usaha
baru di desa tersebut. Sebuah usaha baru dapat memacu timbulnya usaha baru
lainnya, demikian seterusnya.
Nilai
pertumbuhan rentetan yang dihasilkan sangat ditentukan tingkat produktivitas
penggunaan dana desa. UU Desa memberikan sejumlah panduan untuk meningkatkan
produktivitas melalui optimalisasi penggunaan dana. Di bawah ini adalah
beberapa di antaranya.
Peruntukan dana
harus melibatkan partisipasi masyarakat (Pasal 54). Sistem informasi desa
(e-budget) harus dibangun untuk meminimalkan kebocoran anggaran (Pasal 86).
Badan Usaha Milik Desa (Pasal 87-90) dan Badan Kerja Sama Antar-Desa (Pasal 92)
harus didorong untuk mengembangkan antardesa guna meningkatkan skala ekonomi usaha
produktif rakyat desa. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu melakukan
pembinaan (Pasal 112-115), khususnya yang berkaitan dengan peningkatan
kapasitas pemerintah dan masyarakat serta penerapan teknologi. Jika panduan ini
dilakukan dengan baik,angka pertumbuhan rentetan berpotensi lebih dari 1,5
persen atau setengah dari nilai pertumbuhan langsung.
Kombinasi
pertumbuhan alamiah, langsung, dan pertumbuhan rentetan berpotensi meningkatkan
pendapatan penduduk desa mendekati 10 persen per tahun. Kuncinya: optimalkan
tingkat pertumbuhan rentetan dengan memanfaatkan potensi desa yang begitu
besar. Apabila pertumbuhan desa dapat dipacu di atas rata-rata nasional,
diharapkan tingkat kesenjangan akan berkurang secara signifikan.
Pada akhirnya
optimalisasi dana desa merupakan sebuah peluru yang dapat menembak dua burung
secara bersamaan: mendorong pertumbuhan sekaligus mengurangi kesenjangan secara
bersamaan. Jika sudah demikian, ia bukan sekadar merupakan revolusi bagi desa,
tetapi juga revolusi ekonomi Indonesia secara nasional. Desa sebagai salah satu
pengungkit utama pertumbuhan sekaligus menyediakan sarana- sarana bagi
pemerataannya secara terorganisasi dengan baik.
Instrumen hukum, yaitu UU Desa, yang
memungkinkan turunnya anggaran dan pendampingan teknis serta pemberdayaan
masyarakat telah disiapkan. Untuk mencapai tujuan-tujuan ”memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”, hanya ada tiga syarat
tambahan: keberanian politik, keberanian politik, dan keberanian politik!
Sumber: Kompas, 10 Juli 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!