Direktur YPPS Flores Timur;
Anggota Dewan Pengarah
Perhimpunan Bantuan Hukum Nusra
BEBERAPA waktu yang
lalu, Harian Flores Pos melaporkan
perkembangan perkara Pemalsuan Dokumen di DPRD Lembata dengan terdakwa Philipus
Bediona dan Fransiskus Limawai. Keduanya anggota DPRD Kabupaten Lembata yang
dikenal bersuara kritis.
Singkat cerita,
DPRD kabupaten Lembata setelah melakukan sejumlah kajian hukum atas pelaksanaan
tata pemerintahan di kabupaten itu memutuskan untuk mengajukan usulan
pemberhentian Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur ke Mahkamah Konstitusi.
Setelah final di
tingkat Dewan, Pimpinan DPRD Lembata kala itu Yohanes De Rosari menugaskan
Philipus dan Fransiskus untuk merumuskan usulan pemberhentian bupati tersebut.
Namanya Dokumen Uji Pendapat DPRD yang terdiri dari (1) Surat Permohonan Uji
Pendapat DPRD, (2) Keputusan DPRD no. 2/2014, dan (3) Laporan Pansus.
Yang dituduhkan
kepada keduanya adalah point 2 dan 3 karena telah melakukan perubahan
redaksional, walau bukan substansi. Hal ini dilakukan keduanya dengan alasan,
(1) sesuasi mandat yang diberikan Ketua DPRD untuk finalisasi dan (2) Sesuai
tuntutan Pasal 29 UU no. 32/2004 tentang pemberhentian Kepala Daerah. Karena
tugas yang diberikan Ketua DPRD itulah, keduanya diakukan oleh bupati Lembata
ke polres Lembata dengan tuduhan pemalsuan dokumen.
Awalnya ketika
kasus ini merebak, saya pernah menulis di Flores
Pos mempertanyakan langkah polisi di Lembata mengakomodir laporan bupati
dengan tuduhan seperti disebutkan di sini. Saya mempertanyakan sebuah keanehan
pemikiran di situ bahwa DPRD yang punya dokumen tapi tidak merasa ada
pemalsuan, sementara Bupati yang orang luar lembaga DPRD justru mempersoalkan
keaslian dokumen itu malah melapor ke polisi. Dan polisi menerima dan memposes
laporan itu. Akibat tulisan saya itu, maka saya mendapat SMS dari Kasat Reskrim
Polres Lembata saat itu. Terkesan mengancam akan memanggil saya untuk menjadi
saksi ahli dokumen palsu di persidangan nanti. Karena saya tidak jawab SMS itu
maka dia SMS lagi minta kepastian agar mereka mengagendakan jadwal saya sebagai
saksi ahli. Saya tidak juga meresponnya karena saya mengerti apa itu saksi ahli
dan saya bukan saksi ahli. Seharusnya seorang penyidik tahu kualifikasi seorang
saksi ahli. Tidak semua orang yang beropini di media wajib jadi saksi ahli. Itu
yang saya mengerti saat itu. Karena itu saya menganggap ini terror.
Intinya adalah,
dokumen itu milik DPRD Lembata maka mestinya DPRD yang berkepentingan
mengatakan bahwa dokumen itu benar palsu atau tidak. Yang kedua, jika ada
konsekuensi hukum maka itu menjadi taggungjawab lembaga DPRD bukan
tanggungjawab oknum anggota DPRD atas nama Philipus Bediona dan Fransiskus
Limawai. Sebab keduanya melakukan finalisasi atas mandat ketua DPRD, dan lebih
lagi dokumen itu resmi produk lembaga DPRD, bukan milik individu. Atau jika
DPRD secara kelembagaan mengelak, maka yang mesti bertanggungjawab dan menjadi
obyek hukum adalah Ketua DPRD yang telah memberi mandat itu.
Itu cerita masa
lalu ketika kasus ini mulai diproses di meja Polres Lembata. Kini kasus itu
sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Lewoleba. Yang mau saya bahas di sini
adalah fakta persidangan yang tengah berlangsung di PN Lewoleba itu.
Sebagaimana
dilaporkan Flores Pos, menanggapi
eksepsi Penasehat Hukum Achmad Bumi, SH yang mempersoalkan mengapa dalam
perkara yang sama berkas kedua terdakwa displit, jaksa yang mendakwa perkaara
ini mengaku dalam jawabannya bahwa itu dilakukan karena dalam perkara ini
“Tidak Cukup Bukti” serta mereferesikan diri pada keputusan pengadilan
sebelumnya tentang hal yang sama.
Saya bukan jaksa,
bukan polisi, dan tidak pernah sekolah hukum satu SKS sekalipun. Tapi dalam
berbagai informasi dan referensi, ada perkara yang bolak balik berkas
pemeriksaan dari jaksa ke polisi bahkan ada perkara yang beku dan tak
dilimpahkan ke pengadilan lantaran “Kurangnya Bukti”.
Dari pengalaman
seperti ini saya sedikit mengerti bahwa sebuah perkara atau berkas laporan bisa
diterima dan dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan selanjutnya jika cukup
bukti dan saksi. Jika tidak cukup bukti dan saksi maka laporan itu gugur atau
tidak bisa diteruskan. Jaksa punya kewajiban meminta polisi melengkapi bukti.
Namun dalam kasus ini, jaksa bukan meminta polisi melengkapi bukti tetapi jaksa
justru berupaya meloloskan berkas perkara yang tidak cukup bukti ini ke pengadilan
dengan cara berkas dipisahkan untuk kedua terdakwa ini agar keduanya saling
menjadi saksi mahkota. Alasannya karena telah ada referensi putusan pengadilan
sebelumnya. Jaksa juga mengaku bahwa memisahkan berkas kedua terdakwa untuk
satu kasus yang sama ini bertentangan dengan KUHAP.
Sekali lagi, saya
yang tidak sekolah hukum ini mendapat kesan bahwa dalam sebuah kesulitan untuk
melimpahkan berkas perkara dua orang anggota DPRD ini ke pengadilan, para jaksa
dan tentunya polisi bekerja keras mencari cela agar dua berkas perkara ini bisa
lolos dilimpahkan. Artinya bekerja keras mencari cela agar Bediona dan Limawai
yang terkenal kritis di DPRD Lembata itu bisa dijerat. Sementara dalam kasus
lain, ada beras ditolak karena tidak cukup bukti.
Sebetulnya ada
jalan yang sangat gampang oleh jaksa dan itu dibenarkan oleh aturan, yakni
karena bukti tidak cukup maka laporan itu dapat ditolak. Dan polisi juga
begitu, karena bukti tidak cukup maka laporan bupati ini bisa ditolak. Tetapi
itu tidak dilakukan oleh kedua lembaga penegak hukum ini. Bahkan berita
terakhir, Majelis Hakim yang mengadili perkara ini telah membuat putusan sela yang
mengabulkan perkara ini untuk diteruskan ke tahap berikutnya.
Untuk perkara
semacam ini, patutlah masyarakat yang tidak sekolah hukum seperti saya
bertanya, “Apakah penegak hukum yang menangani perkara ini profesional dan
independen?”. Dengan kata lain, apakah tidak sedang menjadi alat di tangan
pelapor yakni bupati Lembata?” Bahkan jika menempatkan pelapor dalam hal ini
bupati Lembata yang punya kuasa besar atas birokrasi dan keuangan berdasarkan
mandat UU, tidak salah jika membaca proses perkara ini muncul dugaan buruk “jangan
sampai penegak hukum yang menangani perkara dua orang anggota DPRD ini sudah
dibeli oleh bupati”. Dugaan-dugaan seperti ini bukan tanpa referensi.
Keterbukaan informasi di masa sekarang telah dengan telanjang membuka berbagai praktek
suap di pengadilan. Bahkan dalam zaman Orde Baru yang represifpun ada cerita
seorang terdakwa perempuan melempari hakim di pengadilan dengan salah sepatu
usai membaca putusan sebuah perkara.
Mengakhiri tulisan
ini, saya sekadar menghimbau masyarakat, apalagi kalangan kita-kita yang miskin
tanpa duit ini untuk jangan sekali-kali berurusan dengan hukum karena tidak
akan mampu “membeli kebenaran yang palsu” di sebuah pengadilan di dunia yang
fana ini.
Sumber: Flores Pos, 13 Agustus 2015.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!