Guru Besar Filsafat STF
Driyarkara Jakarta
IBARRURI Puteri Alam atau akrab disapa Iba, adalah nama anak
sulung Dipa Nusantara Aidit, ketua terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI).
Nama Ibarruri dipilih Aidit karena kekagumannya terhadap Dolores Ibarruri,
pendekar legendaris Partai Komunis Spanyol dalam perang saudara Spanyol
1936-1939. Dan buku ini adalah otobiografi (bukan "roman biografis"
seperti ditulis penerbit) Ibarruri Puteri Alam ini.
Untuk
mengatakannya langsung: Ini buku bagus luar biasa. Ditulis dengan gaya menarik,
enak dibaca, tanpa uraian-uraian teoretis berat, dalam bahasa yang lancar,
tanpa nada-nada pahit, faktual, dan menarik dari permulaan sampai akhir, dalam
bahasa yang hidup-personal, tetapi tak pernah emosional. Buku ini termasuk buku
yang bisa dibaca dari permulaan sampai akhir tanpa mau berhenti.
Bagi saya yang
mengasyikkan adalah melalui buku ini saya bisa menyaksikan bagaimana seorang
anak tokoh komunis, yang sejak kecil sudah di luar negeri, kemudian tak bisa
kembali ke Indonesia karena orang-orang komunis di tanah air dikejar, ditahan
atau dibunuh, merasakan diri dan berkomunikasi.
Berkomunikasi
biasa dengan anggota keluarga, dengan kawan-kawan yang kebanyakan berlatar
belakang komunitas Partai Komunis Indonesia juga. Dia sebagai puteri Ketua
Partai Komunis terbesar di dunia non-komunis. Dan meskipun sikapnya tegas yakin
bahwa partai ayahnya adalah partai yang pro-rakyat, suatu keyakinan yang tak
pernah goyang -kiranya ia mewarisinya dari ibunya Soetanti, -tetapi Iba tanpa
pernah menjadi ideologis, tak pernah menggurui, tak pernah menegaskan bahwa ia
memiliki kebenaran sejarah (yang menjadi keyakinan dasar Marxisme-Leninisme).
Membaca buku
Iba kita mulai mengerti sesuatu yang saya anggap teramat penting: bahwa orang
Komunis pun orang normal-biasa-tidak biadab-manusiawi dalam arti baik dan juga
dengan segala kelemahannya. Dalam arti ini buku Iba, meskipun itu kiranya sama
sekali di luar pikirannya, merupakan sebuah demitologisasi terhadap sosok
identitas komunis-ngeri sebagaimana disuntikkan oleh Orde Baru Suharto ke dalam
kesadaran kolektif bangsa Indonesia.
Kita bisa jadi
bertanya: kalau pun kita (saya) menolak partai komunis karena alasan politik,
tetapi kok bagaimana sampai kita jadi mengucilkan, menahan sambil menyiksa
serta memperkosa selama bertahun-tahun, mempersetan dan membunuh orang-orang
itu? Setan apa yang merasuk ke hati bangsa sehingga sampai bisa berbuat biadab
begitu terhadap jutaan saudara dan saudari?
Tahun 1970
mereka sampai di Beijing. Tiongkok masih dalam suasana Revolusi Kebudayaan
tetapi suasana fanatik semula sudah surut, ekses-eksesnya sudah tidak mencolok.
Iba terkesan dengan perbedaan cara ia dan Ilya disambut di Beijing daripada di
Moskow.
Pengalaman
paling mengesan didapatinya pada hari buruh tanggal 1 Mei 1970. Iba dan Ilya
diundang menyaksikan kembang api di Tian An Men dari tribun VIP. Mendadak ada
petugas memanggil mereka, mereka naik lift. Di lantai paling atas mereka
ternyata sudah ditunggu oleh Perdana Menteri "kawan" Zhou Enlai yang
membawa mereka langsung menemui Mao Zedong Sang Ketua Agung sendiri
(Pembesrevnya Revolusi Kebudayaan) yang antara lain didampingi oleh Pangeran
Sihanouk, raja Kamboja (yang baru saja dikudeta oleh Jenderal Lonnol dengan
dukungan Amerika Serikat), dan istrinya Ratu Monique.
Mao memandang
Iba dan Ilya dengan ramah dan hanya mengungkapkan kalimat "Melawan
revisionisme adalah baik, harus terus berjuang melawan revisionisme"
(revisionisme tentunya "dosa" PKUS).
Pertanyaan ini
adalah pertanyaan pembahas, Iba sendiri tidak menulis begitu. Iba memang juga
bertanya, ia suka menempatkan apa yang dialami rakyat Indonesia, ayah dan
ibunya dan rekan-rekan komunisnya ke dalam konteks Mahabharata, tetapi ia melakukannya
dengan tenang, seakan-akan (ya memang!) tidak bisa mengerti apa yang terjadi di
Indonesia. Justru karena buku ini tidak ideologis, dan karena buku ini bebas
dari segala nafsu dendam dan dari keinginan membuat perhitungan, buku ini
begitu mengesan.
Kita jadi tahu
tentang pemuda D. N. Aidit yang belum berumur 30 tahun, yang bersama dua pemuda
lain, Nyoto dan Sudisman, membangun kembali PKI yang hancur sebagai akibat
peristiwa Madiun (1948). Ibarruri lahir 1949. Ia menceriterakan bagaimana
keluarga Aidit beberapa kali pindah rumah di Jakarta dan selalu hidup
sederhana. Kita membaca tentang adik-adik Aidit dan keluarga lain. Dan tentu
tentang ibunya, Sutanti, yang oleh kawan dekat disebut Bolletje karena agak
sedikit gemuk dan bundar.
Tahun 1958, ia
belum berumur sembilan tahun, Iba disekolahkan orangtuanya di Moskow, jadi ia
hidup terpisah dari ayah dan ibunya -yang studi doktor di Korea Utara, -namun
ada anggota keluarga Aidit juga di Moskow. Kadang-kadang ayahnya datang ke
Moskow dengan delegasi PKI. Iba disusul oleh Ilya, adik perempuannya, Ilya,
yang juga disekolahkan di Moskow. Bulan Mei 1965 Iba dan Ilya memakai libur
sekolah untuk ke Moskow. Iba terkesan oleh semangat PKI dan Pemuda Rakyat.
Ia masa
terakhir di mana ia melihat ayah dan ibunya. Pada permulaan bulan September
1965 Iba dan Ilya kembali ke Moskow karena libur sekolah sudah selesai. Iba
tidak melupakan bahwa waktu ia berpisah dari ayahnya, ayah kelihatan sepertinya
cemas, menyindir kemungkinan akan ada "teror putih" sangat
mengerikan. Iba tidak mengerti.
Di Moskow Iba
mengikuti dengan rasa ngeri berita-berita dari Jakarta. Semula ia tidak mau
percaya bahwa ayahnya dibunuh -dan baru sesudah berkunjung ke Indonesia dengan
paspor Prancisnya 2003, ia mendengar dari seorang saksi penangkapan Aidit di
Solo bagaimana akhir hidup ayahnya. Dengan ibunya Iba juga tidak bertemu lagi.
Sutanti ditangkap 1966 dan karena ia keras kepala ia diperlakukan dengan kejam.
Ia baru dilepaskan 1980. Iba hanya beberapa kali bisa bertukar surat dengaan
ibunya. Ibunya meninggal 1991, sebelum Iba bisa pulang.
Yang menarik
juga tentu pengalaman dan hidup Iba di sekian banyak negara. Selama 12 tahun
Iba hidup di Uni Soviet bersama adiknya Ilya. Kita melihat hubungan akrab dalam
komunitas Indonesia di Moskow. Tetapi dengan konflik ideologis dan geopolitis
antara Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok semakin terbuka, dan sesudah
Gerakan 30 September di mana Aidit di Moskow dianggap gegabah karena berpihak
ke RRT, masyarakat Indonesia di Moskow mulai dicurigai aparat Soviet.
Aidit dianggap
musuh. Dan karena Iba dan Ilya tetap berpihak pada garis pro-RRT PKI mereka
semakin mengalami pelbagai pembatasan dan dimata-matai oleh intel-intel Soviet.
Akhirnya Iba dan Ilya memutuskan pindah ke Tiongkok.
Dengan tetap
menerima perlakuan istimewa sebagai anak Ketua PKI yang dianggap martir Iba dan
adiknya kemudian juga ikut bersama dengan pemuda-pemudi Indonesia lain yang
terdampar di Tiongkok komunis dikirim ke daerah untuk bekerja di desa. Iba
belajar akupunktur dan selama beberapa waktu bekerja dalam rumah sakit
pemberontak komunis di Myanmar. 1979 Iba nikah dengan Budiman Sudharsono
("Mas Bud"). Mereka memutuskan pindah ke Makao di mana mereka
betul-betul harus hidup dari pekerjaan tangan mereka. Akhirnya perjalanan Iba
sebagai pengungsi politik berakhir di Paris.
Buku ini
kadang-kadang mengharukan. Kita mendapat pandangan intim ke komunitas
orang-orang yang diasingkan karena tak dapat pulang ke tanah air. Iba adalah
pengamat yang tajam, dan seperti Ibunya ia tegas dan tidak bersedia berubah
haluan dan tetap yakin akan cita-cita ayah, ibu dan partainya. Ia tidak
berdebat.
Ia
sekali-sekali menyebutkan bahwa di negara-negara komunis juga terjadi hal-hal
yang buruk, misalnya dalam Revolusi Kebudayaan di Tiongkok pimpinan Mao. Namun,
barangkali ada yang kecewa karena Iba tidak pernah mendiskusikan
keberatan-keberatan orang-orang serius non-atau anti-komunis terhadap
komunisme, Marxisme-Leninisme, kepemimpinan Mao Zedong di Tiongkok komunis dan
lainnya. Iba tidak masuk ke dalam suatu debat teoretis.
Menurut saya
itu sebenarnya sesuai logika bukunya. Iba bicara sebagai manusia. Ia tidak
mempersoalkan nasib PKI di Indonesia dari sudut politik atau ideologi, tetapi
ia mengangkat kejahatan kemanusiaan, keherannya kok orang-orang komunis bisa
diperlakukan begitu. Ia kagum dengan sikap tegas ibunya Soetanti. Iba sendiri
-tanpa sedikit pun menonjolkan diri -muncul sebagai orang yang berbudi luhur,
kuat karakternya, dengan perhatian nyata mendalam untuk orang-orang lemah,
dengan rasa keadilan yang tak goyah.
Membaca buku
ini saya merasa diperkaya. Buku ini sangat tepat diterbitkan dan diharapkan
dibaca banyak orang. Buku ini tidak akan memperdalam perpecahan dalam bangsa
Indonesia, melainkan sebaliknya bisa membuat kita sadar bahwa sesuatu seperti
yang terjadi sesudah peristiwa Gerakan 30 September tidak boleh terulang lagi,
atau, lebih aktual, sadar agar sisa-sisa kecurigaan dan kebencian yang sampai
sekarang masih mengancam setiap usaha untuk bersama-sama merefleksikan
peristiwa-peristiwa mengerikan itu hendaknya kita lepaskan.
Justru karena
buku itu bebas dari segala hasutan dan kebencian serta tenang dan objektif
dalam bahasanya, buku ini merupakan sumbangan penting ke arah suatu
rekonsiliasi nasional yang hanya mungkin kalau kita berani melihat masa lampau
dengan mata, budi dan hati terbuka.
Data Buku
Judul :
Ibarruri Putri Alam, Anak sulung D.N. Aidit
Editor :
Joesoef IsakPengantar : Goenawan Muhamad
Penerbit : Ledalero 2015
Sumber: Pos
Kupang, 13 September 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!