Oleh Max Regus
Kandidat doktor di The Graduate School
of
Humanities, Universitas Tilburg, Belanda
KOMISI Pemilihan Umum sudah sejak awal
tahun ini menyatakan kesiapan untuk menyelenggarakan pilkada secara serentak.
Sebanyak 269 daerah, termasuk provinsi, kabupaten, dan kota, akan terlibat
dalam perhelatan politik ini.
Jika
dikalkulasi, jumlah itu setara dengan 30-an persen dari semua daerah di seluruh
Indonesia. Bahkan, jumlah ini dapat saja bertambah jika pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak diundur pada 2016 (Channel
NewsAsia, 30 Juli 2015).
Di awal, ada
810 pasangan yang mendaftar sebagai kandidat dalam pilkada. Beberapa hari lalu,
KPU Daerah sudah mengumumkan pasangan calon tetap. Dan, terhitung mulai pekan
kedua September ini, para petahana meletakkan jabatan mereka. Bayangkan, hampir
sebagian wilayah Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas. Mereka hadir di
panggung kekuasaan dengan batasan kewenangan.
Berhubungan
dengan ini, tak bisa dimungkiri, kita masuk dalam jebakan serius. Hal ini cukup
mencemaskan, senada dengan pemikiran Tofail Ahmen —profesor politik dari BRAC
University, Daka— yang melakukan evaluasi kritis terhadap "sesi
transisional" dalam dinamika politik lokal (NewAge, The Outspoken Daily, 2014). Dalam catatan Tofail Ahmen,
politik lokal bisa saja mencapai dinding kebuntuan akibat kehadiran caretaker
pemerintahan yang bersifat sementara.
Ruang kosong
Persoalan ini
dapat muncul dalam dua sisi. Pertama, mesin birokrasi segera mengalami
pergantian suasana politik. Sejak jabatan di ruang lingkup birokrasi sedikit
banyaknya juga ditentukan oleh "investasi ekonomi-politik" dalam
pilkada, elite birokratik di daerah condong membangun koalisi kekuasaan.
Di sini,
pembelahan birokrasi ke dalam blok-blok politik, memang tidak mengherankan,
selalu jadi "ulang tutur" dalam pilkada. Sepertinya, peringatan
pemerintah pusat agar para birokrat lokal bersikap netral dalam pilkada hanya
akan bertuah di atas kertas.
Kedua, kehadiran pelaksana tugas secara signifikan akan memengaruhi kondisi daerah. Selain para pejabat ini dituntut untuk mampu mengelola ketegangan-ketegangan birokrasi lokal, mereka juga mesti mampu mengawal pelaksanaan pilkada bermutu. Berhubung demokrasi tidak hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan, para pelaksana tugas ini mesti memiliki kecerdasan komprehensif dalam membaca anatomi sosial dan politik daerah.
Kedua, kehadiran pelaksana tugas secara signifikan akan memengaruhi kondisi daerah. Selain para pejabat ini dituntut untuk mampu mengelola ketegangan-ketegangan birokrasi lokal, mereka juga mesti mampu mengawal pelaksanaan pilkada bermutu. Berhubung demokrasi tidak hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan, para pelaksana tugas ini mesti memiliki kecerdasan komprehensif dalam membaca anatomi sosial dan politik daerah.
Kelambanan
membaca dua sisi jebakan di atas akan memperbesar volume ruang kosong
keberdayaan politik (political efficacy)
lokal. Soal ini dapat dibaca dengan sederhana dan ringkas. Terutama, banyak
daerah langsung berhadapan dengan persoalan yang sedang menjadi sumber
kerisauan (pemerintah pusat) sekarang ini. Efektivitas pembangunan menghadapi
ujian serius ketika penyerapan anggaran belanja negara/belanja daerah tidak
mencapai titik yang maksimal/optimal.
Para
"Leviatan"
Tentu saja,
ada kepelikan lain yang cenderung muncul dari problematika pilkada serentak
ini. Ini lebih daripada sekadar keguncangan politik. Pilkada berpeluang jadi
arena cari untung dari kekuatan politik (nasional) yang sedang menghadapi
keterjepitan di pusat. Salah satu cara untuk menghadapi kerumitan ini adalah kehadiran
pemerintah pusat dalam mengawal pilkada (yang) pro-publik lokal. Pemerintah
pusat seharusnya memiliki informasi yang akurat tentang peta politik lokal.
Hingga pada muaranya, pusatmampu menunjukkan pendekatan politik berbeda sesuai
dengan karakter berbeda setiap daerah.
Pusat, seperti
KPK dan segenap lembaga ad hoc lainnya yang bertugas menjamin pemenuhan hak-hak
sosial politik warga, harus merasa perlu untuk memperlihatkan kehadiran
politik.Ini akan menjadi salah satu instrumen strategis untuk mengawal pilkada.
Sebab,
ketiadaan peran kunci pusat akan menuntun politik lokal ke dalam cengkeraman
mafia politik yang mengincar dan memanfaatkan pilkada sebagai batu loncatan
untuk mengokohkan hegemoni politik jangka panjang. Di sini, awasan J Eric Oliver
dalam buku Local Election and the
Politics of Small-Scale Democracy (2013), bahwa politik lokal dapat menjadi
ruang persembunyian para "Leviatan" (di/dari) pusat, akan menjadi
jebakan berikut dan paling mematikan bagi pilkada, demokrasi, dan masa depan Indonesia.
Sumber: Kompas, 9 September 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!