Oleh Max Regus
Rohaniawan & Kandidat Doktor The Graduate School
of Humanities, Tilburg University, The Netherlands
ADA suatu masa,
Indonesia hadir sebagai ‘momok’ menakutkan bagi sebagian komunitas politik
global. Di masa itu, banyak orang sepakat untuk mengatakan bahwa ‘peradaban’
bisa berawal dan berakhir dari negeri ini. Hal itu terjadi sejak lama, bahkan
jauh sebelum negeri ini mengumumkan kemerdekaan. Untuk alasan itu, dengan
kekuatan dan kebanggaan yang masih membekas di ingatan, sebagian orang sedang
tekun menabur mimpi masa depan meski sebagian pihak mungkin sedang menertawakan
beberapa kisah yang belum menyenangkan hati.
Dua buku lama
karya Noam Chomsky, Professor linguistik dari Massachussets Institute of
Technology, diterbitkan lagi pada tahun ini. Buku pertama yang ditulisnya
bersama Edward S Herman berjudul The Washington Connection and Third World
Fascism yang terbit pertama kali pada 1979. Sementara itu, buku kedua yang
berjudul Year 501 terbit pertama kali pada 1993. Dengan ringkas, buku itu
menceritakan hegemoni Amerika Serikat (AS) di seluruh dunia. Yang cukup
penting, di kedua buku itu, Chomsky juga secara khusus mengulas Indonesia.
Barometer
kawasan
Saya mulai
dengan buku kedua. Pada bab kelima dari buku itu, Chomsky mengulas kerisauan AS
di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia. Terutama, kedekatan Indonesia dengan
blok Uni Soviet beberapa tahun setelah itu. Chomsky mengutip pendapat George
Frost Kennan (1904–2005) yang mengatakan, “The problem of Indonesia is the most
crucial issue of the moment in our struggle with the Kremlin.” Sejarah AS
mengenang Kennan sebagai otak terpenting negara itu dalam meladeni panasnya
Perang Dingin.
Dia (Kennan)
melakoni peran itu selama 42 tahun, dari 1947 hingga 1989, saat kebangkrutan
Uni Soviet. Sebagai penanggung jawab perang melawan komunisme, Kennan menulis
kerisauannya pada 1948. Dalam tulisan itu, dia juga secara tegas menyebut
Indonesia (is the anchor) ialah ‘jangkar’ dari rantai kepulauan yang membentang
dari Hokaido hingga Sumatra. Dalam laporan itu, jelas terlihat AS ingin
menjadikan negeri ini sebagai kekuatan ekonomi-politik kontra blok komunis di
kawasan Asia Pasifik.
Namun,
ketegangan internal antara Soekarno, Partai Komunis, dan petinggi Angkatan
Darat meniadakan kekompakan nasional. Indonesia yang baru berumur 20 tahun
harus merasakan kepedihan luar biasa akibat ‘kecolongan politis’ mematikan.
Chomsky menyimpulkan konflik elite di Tanah Air sebagai jalan lapang bagi AS
untuk menancapkan pengaruh politik. Komunitas politik internasional dengan
mulus meraup hegemonisme politik.
Selama ini,
merujuk pada buku itu, tidak salah juga dugaan yang menyebutkan bagaimana AS
dengan CIA-nya secara sengaja meminjam tangan ‘Jenderal Soeharto’ yang kurang
diperhitungkan pada waktu itu untuk mengendalikan ‘situasi’. Barangkali dengan
itu, ‘agenda tersembunyi’ AS tidak mudah terlacak ketika memanfaatkan posisi
internal militer yang dipandang ‘sebelah mata’ oleh sesama elite jenderal masa itu. ‘Situasi’,
yang menurut Guy Pauker, tokoh RAND Corporation pada era 1960an, tidak pernah
terbayangkan akibat pembantaian ratusan ribu anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI).
(Bukan) surga
bagi rakyat
Tentang
kepekatan di seputar sejarah 1965, Chomsky telah membahasnya secara terbuka
pada buku pertama. Dia menulis soal itu pada satu bab tentang ‘teror’ yang
dihubungkan dengan hasrat AS dalam mengincar sumber-sumber ekonomi di
Indonesia. Dia menulis pembahasan itu dengan judul yang sangat jujur,
Indonesia; mass extermination and investor’s paradise. Itu menjadi salah satu
tragika sejarah paling pengap. Indonesia menjadi ruang dari kepedihan sebagian
warga sekaligus sukacita kaum pemilik modal global.
Dengan jumlah
korban di pihak PKI, yang menurut Amnesty International menembus angka satu
juta orang, cukup beralasan apa yang dilukiskan Chomsky dan Edward S Herman
dengan sebutan pembasmian massal (mass extermination). Jumlah itu belum
ditambah dengan ratusan ribu lainnya yang mendekam dalam kabut kesepian di
sekian banyak penjara di seluruh Indonesia.
Runtuhnya
militer nasionalis, terkucilnya Soekarno, yang diikuti dengan pembersihan
negeri ini dari antek-antek komunis, dalam kurun waktu yang sangat cepat,
menyediakan jalan lancar kedua bagi AS untuk memimpin invasi mesin kapitalisme.
Tidak ada lagi kekuatan utama di Indonesia yang menahan kemaruk kuasa AS untuk
melibas setiap sumber kekayaan alam terbaik. Itulah yang disebut dengan sangat
terbuka sebagai surga bagi para investor (investor’s paradise) dalam ulasan
Chomsky.
Membangun
Kebersamaan Politik
Beberapa waktu
lalu, publik Indonesia terkejut dengan sinyal yang dikirim Presiden Jokowi
tentang tekad politiknya mengambil alih beberapa perusahaan trans-nasional.
Jokowi, dalam artian ini, sedang menggagas proyek politik, yang mungkin hanya
bisa ditanggapi dengan ‘geleng-geleng kepala’. Alasannya sangat jelas.
Indonesia harus melawan kekuatan ekonomi politik yang memiliki sejarah panjang
dalam menghisap sekaligus merusak. Belum lagi, kekuatan mereka sudah menjalar
ke dalam jaringan kekuasaan politik domestik.
Sungguh, jika
serius, niat itu akan menjadi jalan terjal dan penuh risiko yang harus dilewati
Indonesia. Niat politik paling fundamental menjadikan negeri ini sebagai surga
bagi rakyat Indonesia (people’s paradise). Bagaimanapun, harapan itu akan
memudar dan menguap begitu saja ketika kita tidak memiliki ‘kebersamaan
politik’ yang tangguh akibat perselisihan kelas elite kekuasaan yang
berlarut-larut.
Editorial
Media Indonesia dengan judul Menyalakan Harapan di Tengah Kelesuan (26/08/2015)
menjadi ‘energi sosial dan politik’ yang sangat dibutuhkan pada hari-hari ini.
Karena itu, sebetulnya, bukan hanya persoalan finansial, seperti melemahnya
rupiah yang merisaukan kita, melainkan juga tentang akhlak sebagian warga atau
elite yang memanfaatkan situasi semacam ini untuk menyoraki ketidakberdayaan
politik pihak lain.
Selain tentang
masa silam yang merekam heroisme membekap imperialisme, kita juga mencatat egoisme
politik kaum elite yang memberikan jalan lapang bagi ‘neokolonialisme’ ekonomi.
Persoalan kedua ini sedang menjadi tantangan nyata bagi Indonesia.
Sumber:
Media Indonesia, 1 September 2015.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!