Oleh Bambang Widodo Umar
Guru Besar Sosiologi Hukum Fisip
UI &
Pengamat Kepolisian
POLISI ojo dumeh, ojo rumongso biso, nanging biso
rumongso (polisi jangan sok, jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasakan).
Merasakan dalam arti tidak meremehkan orang ataupun lingkungannya. Demikian
pepatah Jawa mengingatkan.
Setelah Kepala
Bareskrim Komjen Suhardi Alius diganti oleh Komjen Budi Waseso, panggung media
banyak diwarnai oleh "aksi kepolisian". Penangkapan demi penangkapan
dilakukan terhadap koruptor, juga terhadap bandar narkotik, terorisme,
membongkar kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, dan sebagainya.
Suatu perubahan yang mengesankan dari kemampuan polisi yang semula biasa-biasa
saja menjadi progresif dan militan.
Kiprah polisi
Fantastis!
Siapa yang tak bangga kalau punya polisi yang tanggap, tanggon dan trengginas.
Dalam arti benar-benar melembaga, bukan sekadar pencitraan. Isu profesionalisme
yang selama ini masih diragukan seperti ditebas, muncul jago-jago polisi dalam
aksinya yang memukau. Kita salut jika hal itu dilandasi profesionalisme dan
integritas moral, apalagi disertai dengan perbaikan lembaganya.
Keberhasilan
polisi harus dipertahankan, dan ke depan harus lebih baik. Setidaknya
mempertahankan hasil yang sudah dicapai. Jangan sampai kiprah polisi-terutama
dalam menindak kejahatan korupsi-menurun, apalagi kalau ada yang main
"86". Citra polisi pasti terpuruk lagi.
Aksi polisi
dalam mengungkap kejahatan terus bergulir, seakan tidak ada yang bisa
menghalangi. Sejak penangkapan komisioner KPK Bambang Widjojanto alias BW,
perhatian masyarakat terhadap polisi makin meningkat. Dari peristiwa itu
istilah kriminalisasi menjadi populer. Istilah yang cenderung memberi arti
"mencari-cari kesalahan" orang, "bukan perbuatan yang bukan
pidana dipidanakan". Tidak peduli dengan arti istilah tersebut, aksi
kepolisian terus menggeliat dan mencemaskan orang ataupun sekelompok orang, tentunya
yang bersalah.
Dari kiprah
polisi yang menggebu-gebu, Syafii Maarif mengingatkan agar aparat penegak hukum
tidak bertindak sewenang-wenang. Sebab, ada kecenderungan aparat penegak hukum
melukai hati masyarakat karena dengan mudah menjadikan seseorang sebagai
tersangka. Terhadap hal itu, Buya Syafii berharap Presiden bertindak tegas.
Pernyataan
Buya Syafii itu tak sekadar bertolak dari penetapan dua komisioner Komisi
Yudisial menjadi tersangka, tetapi terkait kasus-kasus sebelumnya dalam
rangkaian konflik KPK-Polri. Sebutlah seperti cara penangkapan BW yang
"diborgol" hingga ditetapkan sebagai tersangka; juga penetapan AS,
DI, dan NB sebagai tersangka, serta eskalasi teror terhadap penyidik KPK.
Peristiwa
terakhir, penggeledahan di kantor PT Pelindo II. Lepas dari dugaan ada
intervensi atau tidak terhadap kasus pengadaan crane, Dirut Pelindo II RJ Lino
mengancam mengundurkan diri karena "cara" tim Bareskrim dalam
menggeledah kantornya tidak memberi tahu lebih dulu kepada dirinya. Menurut ketentuan
KUHAP, polisi harus minta izin lebih dahulu kepada ketua pengadilan negeri
setempat dan tentunya harus memberitahukan kepada penanggung jawab kantor yang
akan digeledah.
Menangkap
fenomena tersebut, masalahnya tentu bukan sekadar menyangkut hal yang bersifat
"teknis" dan "taktis" kepolisian dalam penegakan hukum.
Lebih dari itu adalah bagaimana sesungguhnya "kebijakan" pemerintah
dalam menanggulangi korupsi yang masih marak di Indonesia. Bagi polisi, tidak
mudah memahami rangkaian peristiwa itu karena posisinya dalam
"pemerintahan". Dari aksi-aksi kepolisian, ada kecenderungan polisi
terseret pada kepentingan subyektif dalam kontroversi penanggulangan korupsi.
Dengan leluasa dan semangat tinggi, polisi menindak koruptor, tetapi tidak
ingat ia berada dalam konstelasi politik.
Polemik
kepolisian pun terus merebak. Euforia aksi kepolisian sampai membuat Menko
Polhukam angkat bicara, mungkin khawatir bisa punya efek terhadap bidang
pembangunan yang lain. "Penegak hukum tidak boleh gaduh. Bukan berarti
tidak boleh memberantas korupsi. Tangkap silakan, tapi enggak perlu gaduh, bisa
diambil, tidak usah pakai wartawan." Dari sini seolah ada pesan buat
polisi: "ojo dumeh".
Adalah Kepala
Polri periode 1986-1991 Jenderal (Pol) M Sanusi yang mengangkat ojo dumeh
menjadi simbol polisi. Ia mengingatkan kepada semua aparat kepolisian agar
dalam menjalankan tugas bersikap ojo dumeh. Nasihat itu masih relevan dan
penting bagi sepak terjang polisi saat ini, dan tentunya tidak hanya ditujukan
kepada bawahan, tetapi juga bagi para petinggi polisi di seluruh kesatuan.
Ojo dumeh
merupakan falsafah Jawa yang sangat populer. Dalam kehidupan sehari-hari
filosofi ini bersifat aplikatif dan sudah digunakan kalangan luas, tidak
terbatas pada orang Jawa. Dalam bahasa sehari-hari ojo dumeh bisa diterjemahkan
sebagai 'jangan mentang-mentang' atau 'jangan sok'. Secara kata per kata, ojo
berarti 'jangan', dan dumeh berarti 'sombong'. Jadi, ojo dumeh mengandung makna
jangan sombong dan merasa sudah hebat sendiri karena hal itu bisa jadi bumerang
pada diri sendiri, tetapi berbagilah rasa dengan sesama dan saling mencinta.
Ingat dan
waspada
Selain itu,
ojo dumeh memiliki makna luas, seperti: (1) ojo dumeh kuwoso, jangan
mentang-mentang jadi penguasa, lalu tingkah laku menjadi sombong dan congkak;
(2) ojo dumeh menang, jangan mentang-mentang bisa mengalahkan lawan lalu
tindakannya sesukanya; (3) ojo dumeh kuat lan gagah, jangan mentang-mentang
kuat dan gagah lalu tindakannya gegabah dan semaunya; (4) ojo dumeh pinter,
jangan mentang-mentang pintar lalu kelakuannya menyimpang dan tidak bijaksana
dari aturan yang ada; dan (5) ojo dumeh sugih, jangan mentang-mentang kaya lalu
tidak peduli kepada yang lemah.
Sikap ojo
dumeh sering merasuki manusia yang suka menyimpang dari kepatutan. Ia merasa
lebih daripada yang lain, terjadi karena ia tidak lagi mengabdikan dirinya pada
praksis moral, melainkan tenggelam dalam pikiran sendiri yang melihat realitas
manusia sebagai potensi yang bisa ditundukkan, bisa dimanipulasi dan dikuasai
(Hadiwardoyo, 1984).
Meremehkan ojo
dumeh bisa bermuara pada penyalahgunaan kekuasaan. Ada korelasi antara
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan besar yang dilekatkan pada suatu
organisasi (polisi). Seperti kata Lord Acton, "power tends to corrupt and
absolute power corrupts absolutely". Karena itu, polisi dituntut selalu
"ingat dan waspada", memahami benar-benar setiap tindakannya dan
berani menanggung risiko atas perbuatannya. Tidak lepas tanggung jawab, tak
berkelit, tak berbohong terutama pada diri sendiri, bersih dalam nurani, dan
konsisten menjalankan tugas.
Sumber: Kompas, 21 September 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!