PERNYATAAN Menteri
Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang seolah menentang proyek pengadaan
listrik 35.000 megawatt dinilai berpotensi merusak iklim investasi. Investor
dinilai bakal kebingungan dalam menyikapi kelanjutan proyek yang menjadi
program utama pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
ini.
"Sangat
kebingungan investor itu sekarang, mana yang dipegang, menko-nya atau
presidennya? Rusak semua kita nanti. Kalau mau membaik negara ini, harus ada
one policies and one voices, satu suara dan satu kebijakan, satu komando. Tidak
bisa bicara seenaknya, memangnya ini negara apa, banana republic memang?"
kata Ketua Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi di Kantor Wakil Presiden Jakarta,
Selasa (8/9/2015).
Menurut
Sofjan, Presiden harus menertibkan suara-suara sumbang di kabinet. Seorang
menko, menurut dia, tidak bisa mengubah kebijakan yang menjadi keputusan seorang
presiden. Kendati demikian, seorang menko dapat menyampaikan masukannya kepada
presiden dalam forum tertutup.
"Dia
mungkin boleh meng-advice-kan, tetapi intern dengan Presiden dalam rapat
kabinet untuk mengubah bahwa ini ada persoalan, bicaranya di dalam, jangan
keluar. Seolah-olah dia lebih pintar dari Presiden kan kalau begini. Celaka
kita semua," kata Sofjan.
Mengenai
proyek pembangkit listrik 35.000 MW, Sofjan menyampaikan bahwa program
pemerintah tersebut akan terus berjalan. Ia tidak sepakat dengan Rizal yang
menilai target pembangunan listrik 35.000 MW tersebut bakal merugikan PT PLN.
"Buktinya,
PLN sendiri bilang bagaimana nanti, neraca baik, tetapi listrik kurang. Nanti
kalau terjadi apa-apa, kan tidak ada resource sama sekali. Di Singapura itu
sudah 100 persen resource harus ada sama banyaknya dengan kemampuan pembangkit.
Kita juga kan ada mesti ada maintanance, resource dimatikan sementara. Kalau
ada yang mati juga ada yang meledak trafonya. Jadi, tidak bisa menghitung
persis sama," tutur dia.
Sebelumnya,
Rizal menilai target pembangunan listrik 35.000 MW merugikan PLN karena akan
ada kelebihan tenaga listrik (excess power) lebih dari 21.000 MW yang harus
dibayarkan PLN, meskipun kelebihan itu tidak terserap oleh konsumen PLN. Hal
ini disampaikan Rizal seusai memimpin rapat koordinasi dengan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diwakili Direktur Jenderal
Kelistrikan Jarman dan Direktur Utama PLN Sofyan Basyir.
Menurut
perhitungan Rizal, PLN harus membayar excess power tersebut sebesar 10,763
miliar dollar AS. Dia pun menyebut, dalam lima tahun ke depan, target yang
paling mungkin direalisasikan dan tidak mengganggu keuangan PLN ialah sekitar
16.000 MW-18.000 MW.
"Sisa-sisanya
kita perlu revisi, misalnya bisa dilanjutkan dalam lima tahun yang akan datang.
Tetapi, yang paling penting, program ini tidak boleh membuat PLN rugi. Karena
kalau ada excess kapasitas, PLN harus bayar," kata Rizal.
Sementara itu,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku sudah mengecek kepada Direktur Utama PT PLN
Sofyan Basir mengenai proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Dari informasi yang
disampaikan Sofyan, menurut Kalla, tidak ada rencana menurunkan target
pembangunan pembangkit listrik menjadi 16.000 MW.
"Enggak
benar. Saya sudah cek ke Dirut PLN, enggak ada pembicaraan itu," kata
Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, siang tadi.
Nada suara
Kalla terdengar meninggi ketika disinggung soal pendapat Ramli yang menilai
target pembangkit listrik 35.000 MW justru akan merugikan PLN. Kalla kembali
menegaskan bahwa pembangunan proyek 35.000 MW merupakan keputusan Presiden yang
tidak bisa diubah di tingkat kementerian koordinator.
Sumber: Kompas.com, 8
September 2015
Ket foto: Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sofjan
Wanandi
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!