Oleh Syamsuddin Haris
Profesor Riset LIPI
TAK ada angin tak ada
hujan, Partai Amanat Nasional tiba-tiba menyatakan resmi bergabung ke
pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ada apa? Bagaimana masa depan
Koalisi Merah Putih setelah PAN pindah ke pangkuan Koalisi Indonesia Hebat?
Pernyataan
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di Istana Negara tersebut cukup mengejutkan.
Sebab, PAN selama ini dikenal sebagai parpol yang jadi basis politik Koalisi
Merah Putih (KMP), koalisi politik yang semula dibentuk untuk mengusung Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dalam Pemilu Presiden 2014. Seusai Kongres IV PAN di
Bali, yang dihadiri segenap elite politik KMP, Zulkifli yang menggantikan Hatta
Rajasa masih mengatakan PAN tetap akan berada di luar pemerintahan bersama-sama
dengan KMP.
Perombakan
kabinet jilid II?
Tanda-tanda
perubahan sikap politik PAN sudah tampak menjelang Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) PAN, 6-7 Mei 2015. Sebelum rakernas Zulkifli telah menyatakan untuk
mendukung pemerintah meskipun masih berada di lingkungan KMP. Karena itu,
rakernas yang turut dihadiri oleh Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDI Perjuangan
(PDI-P) Megawati tersebut akhirnya jadi momentum politik bagi PAN di bawah
kepemimpinan Zulkifli untuk meninggalkan KMP dan bergabung ke Koalisi Indonesia
Hebat (KIH), koalisi longgar pendukung Jokowi-JK.
Momentum lain
yang mengindikasikan perubahan sikap politik PAN adalah kehadiran Zulkifli
dalam Kongres PDI-P, yang juga berlangsung di Bali setelah Rakernas IV PAN,
pada pekan kedua April 2015. Indikasi berikutnya yang kurang dicermati oleh
banyak kalangan adalah fakta bahwa Zulkifli sendiri sebenarnya jarang hadir
dalam rapat-rapat petinggi KMP seperti para ketua umum parpol anggota koalisi
lain.
Lalu, apa yang
diperoleh PAN dengan bergabung ke pemerintah? Seperti dijelaskan secara formal
oleh Zulkifli, PAN ingin membantu pemerintah karena turut prihatin dengan
kondisi perekonomian nasional yang melambat beberapa bulan terakhir. Dalam
bahasa Zulkifli, PAN bergabung untuk ”menyukseskan program-program pemerintah”.
Akan tetapi, apakah benar obsesi Zulkifli hanya untuk membantu pemerintah yang
tengah kesulitan mengelola ekonomi?
Sebagai parpol
yang pernah berada di dalam pemerintahan bersama-sama dengan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono selama dua periode (2004-2014), wajar jika PAN juga berharap
memperoleh bagian kue kekuasaan di bawah Presiden Jokowi. Hanya saja karena tak
kunjung ada sinyal dari Jokowi terkait keterlibatan PAN dalam Kabinet Kerja
hasil perombakan yang lalu, Zulkifli akhirnya mengumumkan perubahan sikap
politik PAN tanpa kompensasi politik apa pun dari Jokowi-JK.
Dukungan
politik tanpa konsesi apa pun tentu sangat positif. Jika benar tidak ada
transaksi politik soal PAN mendapat apa, kapan, dan bagaimana, realitas ini
tentu patut diapresiasi. Meski demikian, dalam kehidupan politik bangsa kita
yang masih keruh dewasa ini, banyak orang percaya: tidak ada makan siang gratis
dalam politik. Karena itu, sebagian kalangan menduga, Presiden Jokowi mungkin
saja tetap akan memberikan kompensasi politik kepada PAN, yakni melalui
perombakan kabinet jilid II. Kapan waktunya, mungkin hanya Jokowi yang tahu
saat yang tepat untuk itu.
Jika benar
demikian, kelak akan muncul soal baru bagi Jokowi. Kehadiran PAN, bagaimanapun,
bakal memicu munculnya resistensi parpol KIH yang telah mendukung Jokowi selama
ini. Masalahnya, setiap bagian kue kekuasaan yang diberikan bagi anggota baru
koalisi tentu berdampak pada pengurangan jatah kekuasaan bagi parpol anggota
lama. Mungkin faktor resistensi anggota lama ini pula yang menjelaskan mengapa
hanya Ketua Umum Partai Hanura Wiranto yang hadir di Istana Negara ketika PAN
mengumumkan bergabung ke pemerintahan Jokowi. Bukankah KIH mencakup pula
Megawati (PDI-P), Surya Paloh (Nasdem), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Sutiyoso
(PKPI)?
Keuntungan
Jokowi
Sebaliknya, apa
yang diharapkan Jokowi dari bergabungnya PAN? Pertama, keputusan Zulkifli,
bagaimanapun, akan mengubah peta formasi koalisi pendukung pemerintah (KIH) dan
koalisi oposisi (KMP) di DPR Senayan. Bergabungya PAN (48 kursi) akan menambah
kekuatan KIH, yakni PDI-P (109 kursi), PKB (47), Nasdem (36), dan Hanura (16),
menjadi total 256 kursi DPR. Itu pun dengan catatan, Partai Golkar dan PPP yang
tengah mengalami konflik internal dimasukkan sebagai pendukung KMP. Apabila
Partai Demokrat (61) tidak masuk ke dalam salah satu koalisi, kekuatan KMP di
DPR tinggal 243 kursi.
Kedua, melalui
formasi baru koalisi pendukung pemerintah yang keanggotaannya bertambah
tersebut, Presiden Jokowi kini lebih percaya diri dalam mengambil keputusan,
terutama berkaitan dengan pembenahan kehidupan ekonomi nasional bangsa yang
tengah melambat akhir-akhir ini. Presiden Jokowi tentu berharap agar tak ada
lagi hambatan politik di DPR dalam memutuskan kebijakan-kebijakan strategis
yang diambil. Melalui tambahan dukungan PAN, Jokowi mungkin juga berharap agar
kebijakan pemerintah tidak dipenjara oleh parpol pendukung pemerintah itu
sendiri.
Ketiga, dengan
bergabungnya PAN, Jokowi kini dapat ”sekutu” sekaligus partner politik baru
dalam menghadapi friksi internal KIH yang cenderung didominasi oleh Ketua Umum
PDI-P Megawati dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Kehadiran Zulkifli dan PAN
akan memberi ruang yang lebih lebar bagi Jokowi untuk mempertahankan
pilihan-pilihan politik sendiri di tengah tekanan politik para ketua umum
parpol anggota KIH.
Sementara itu,
koalisi pengusung Prabowo-Hatta, KMP, dapat diibaratkan kapal besar di tengah
samudra yang tidak hanya kehilangan arah dan terombang-ambing ombak, tetapi
juga tidak kunjung berlabuh. Setelah gagal mengantar Prabowo-Hatta di Pilpres
2014 yang lalu, tidak begitu jelas siapa sesungguhnya nakhoda kapal KMP hingga
saat ini. Prabowo tidak lagi sempat turun langsung memimpin KMP, Hatta sudah
tidak memimpin PAN, sementara Aburizal Bakrie sibuk dengan urusan konflik
internal Partai Golkar.
Satu-satunya
partai yang komitmennya tetap utuh terhadap KMP bisa jadi hanya Gerindra yang
kini dipimpin sendiri oleh Prabowo sebagai ketua umum. Golkar dan PPP yang
semula mendukung KMP terbelah dalam konflik internal yang belum kunjung
terselesaikan. Sementara dukungan PKS di bawahpresiden baru, M Sohibul Iman,
mungkin saja tak lagi sekuat ketika partai Islam berbasis tarbiyah ini masih
dipimpin oleh Anis Matta.
Di tengah
ketidakjelasan arah dan nakhoda kapal KMP itulah, Zulkifli akhirnya memutuskan
segera meninggalkan kapal dengan sekoci sendiri menuju pelabuhan KIH. Bagi PAN
di bawah Zulkifli, berbuat untuk turut ”menyukseskan program-program
pemerintah” mungkin dipandang lebih nyata ketimbang bertahan dalam kapal tanpa
arah serta tanpa nakhoda yang jelas. PAN di bawah Zulkifli memilih
menyelamatkan diri sebelum turut karam bersama-sama dengan parpol KMP lainnya.
Jadi, terlepas
berbagai penilaian minor terhadap manuver Zulkifli, perubahan sikap politik PAN
di bawah kepemimpinannya patut diapresiasi. Perubahan sikap Zulkifli dan PAN
sekurang-kurangnya bisa mendorong para petinggi parpol KMP untuk berkaca: ke
mana sesungguhnya arah kapal koalisi yang tak kunjung berlabuh tersebut?
Bukankah tujuan akhir setiap kekuasaan adalah berbuat yang terbaik bagi negeri
ini tanpa harus dilabeli dengan ”KIH” ataupun ”KMP”?
Sumber: Kompas, 5
September 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!